Setelah mengetahui siapa orang di balik kegagalan kakak iparnya masuk ke perusahaan, Abi yang masih memiliki sedikit dendam tak suka pada Al segera pergi menemui pria itu di ruangannya begitu dirinya menginjakkan kakinya di kantor.Napasnya sempat naik turun dan uratnya terasa tegang namun berhasil ia kendalikan sebelum masuk ke dalam ruangan kaca tembus pandang yang bertuliskan nama Aldevaro.Sambil membenahi kemeja dan jasnya yang sedikit kusut, ia mengetuk pintu ruangan dan setelah ada sahutan dari dalam, ia pun masuk."Hai, selamat pagi Abisena. Bagaimana? Harimu bahagia setelah kembali bersama dengan Carla dan Adam? Di hari yang indah jangan dirusak dengan mood yang buruk. Ada apa kamu datang ke ruanganku? Bukankah divisi kita berbeda?" Al berdiri dari tempat duduknya. Senyumnya terasa sangatlah misterius, menyimpan sejuta makna."Aku ke sini untuk bicara sesuatu padamu." Al terkekeh mendengar pertanyaan yang ke luar dari mulut Abi. Al berhenti tepat di hadapan Abi dengan tangan
Risya masih membawa rasa kesal di hatinya hingga kembali ke rumah. Niatnya untuk bermanja-manja dengan sang suami musnah sudah saat melihat dan mendengar sendiri suara erangan erotis di dalam ruangan kerjanya.Tadi, saat Carla dan Abi sedang memadu kasih di dalam ruangan pribadi, Risya tak sengaja melihat adegan itu. Ia hanya terdiam di depan pintu sambil memegang erat tas makanan yang dibawanya.Risya merasakan dadanya berguncang hebat, matanya memanas dan hatinya terbakar api cemburu yang amat sangat. Di depan matanya, sang suami dengan mesranya mencumbui Carla yang juga istri pertama suaminya itu.Bagi Risya, itu sungguh seperti penghinaan baginya. Abi tak pernah menyentuhnya lagi saat berada di rumah setelah berita kehamilannya dan memilih mencumbui istri tuanya. Memang tidak masalah, tapi hati wanita mana yang tidak kesal melihat suaminya mencumbui wanita lain meskipun itu adalah istrinya juga?Bukankah wanita itu selalu merasa ingin memiliki sendiri prianya?Karena merasa kesal,
"Apa sih mas? Sakit tangan aku ditarik-tarik dari tadi."Carla meringis kesakitan. Lengan tangannya memerah akibat pegangan yang begitu kencang dari sang suami. Abi cemburu. Sangat jelas di matanya yang membara bagaikan api lahar panas. Abi melepasnya walau tak rela."Kamu lihat kan mata dia?" Carla menghela napas kesalnya. Baru kali ini ia melihat api kecemburuan di mata Abi. Biasanya, dia tak pernah masalah kalau Carla pergi dan bertemu pria lain."Mas, jangan seperti anak kecil. Aku saja tidak pernah marah kamu dekat dengan wanita lain," balas Carla.Abi membelalakkan matanya. Tak percaya jika Carla bisa membalas ucapannya."Apa kamu bilang?"Carla terdiam. Ia memilih masuk ke dalam mobil daripada harus berdebat dengan suaminya yang sedang emosi. Namun, sebelum sempat masuk ke dalam mobil tiba-tiba Abi menarik tangan Carla kembali. "Jawab dulu pertanyaan aku, Carla."Abi menyudutkan Carla di pintu mobil. Tangannya semakin mengerat di lengan Carla dan kini tak peduli lagi ringisan da
Carla terbangun di pagi buta. Setelah selesai mandi, ia duduk di depan kaca rias sembari merapikan rambutnya. Semalam Abi mengajaknya bermesraan sebelum akhirnya menuju kamar Risya untuk menemaninya tidur kembali.Rasa cemburu tiba-tiba menyeruak dalam dadanya. Dulu, hanya dirinya yang berhak atas cinta Abi. Namun kini, ada wanita lain yang juga menginginkannya.Carla berusaha menghilangkan rasa cemburunya itu. Saat akan berdiri, ponselnya berdering. Ada nama Vian tertera di sana.'Kenapa dia telpon pagi-pagi buta?'"Ada apa, Vian? Tumben pagi sekali telpon?" sapa Carla sambil mencari pakaian kerja di dalam walk in closet miliknya.[Aku hari ini ada kunjungan ke pabrikmu. Bisa temani aku?]"Oh, kamu ada kunjungan hari ini? Ehm, aku usahakan sebelum jam makan siang sudah ada di sana. Bagaimana?"[Baiklah, aku tunggu sekalian kita makan siang.]"Ok."Abi kembali ke kamarnya menjelang subuh. Ia terkejut melihat Carla yang tengah bersiap di depan meja riasnya. Tak biasanya istrinya itu be
Carla kembali ke kantor setelah makan siang. Setelah seharian berada di luar, iq ingin sekali beristirahat sebentar sebelum pulang menjemput anaknya di rumah Rayya sahabat baiknya.Dahinya berkerut tak nyaman saat melihat sekretaris Abi berdiri bolak-balik mencari sesuatu di meja kerjanya. Ia tampak sibuk sendiri dan sesekali terlihat kebingungan menghubungi seseorang di luar sana."Ada apa?" Fira, sekretaris Abi yang baru terbelalak melihat kedatangan Carla yang tiba-tiba. "Kamu terlihat kebingungan?""Bu Carla, bisa gantikan pak Abi buat rapat tidak? Hari ini ada rapat dengan bagian akunting tapi pak Abi tidak ada di tempat hampir setengah jam. Saya telpon ponselnya juga tidak ada jawaban." Fira menggigit bibirnya, tanda ia sedang bingung."Belum kembali? Memang dia kemana?" Carla mengambil ponsel dari tasnya dan coba menghubungi sang suami. Sama seperti Fira, tidak ada jawaban sama sekali dari Abi."Katanya ada perlu ke dokter kandungan tapi tidak ada kabar," jawab Fira."Rapatnya
"Bagaimana, dok?" tanya Carla sambil menekan perutnya yang masih terasa nyeri dan mual. "Apa semakin parah?""Bu Carla, sepertinya ibu harus kembali diendoskopi. Saya merasa tak yakin, tapi ini seperti gejala kelainan pada usus bagian dalam. Sebaiknya dilakukan endoskopi untuk pemeriksaan lebih lanjut," saran dokter Sinta."Baiklah, dok. Ada obat yang harus saya minum untuk sementara?""Nanti saya resepkan. Sebaiknya ibu hindari makanan dengan rasa ekstrim, asap rokok dan stress. Saya khawatir asam lambung bereaksi karena ibu sedang dilanda kecemasan," lanjut dokter Sinta yang diangguki oleh Carla."Saya mengerti, dok. Terima kasih atas sarannya."Setelah dokter pergi, Carla beristirahat di ruangan kecil yang disediakan kantor untuk karyawan yang kurang sehat. Ditemani Fira, ia memejamkan matanya sambil terus menahan rasa mualnya."Bu, saya beres-beres ruangan kerja dulu. Saya panggilan supir kantor untuk mengantar ibu pulang ya?" Carla yang masih lemas mengangguk. Niatnya yang akan p
Carla menatap tak percaya dengan lembaran surat yang didapatkannya dari dokter Arnold tadi. Bagaimana bisa dirinya didiagnosa dengan dua penyakit yang berseberangan hasilnya?Ada sedikit keraguan diantara diagnosa salah satu dokter. Namun yang membuat dirinya bingung, kedua penyakit itu sering mengintai kesehatannya selama ini.Carla pernah mengalami penyakit asam lambung dan sekitar dua tahun lalu juga didiagnosa ada kelainan dalam rahimnya.Tengah ia bergelut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Al datang membuyarkan lamunannya. Carla yang sedang duduk termenung di depan taman rumah sakit menoleh sambil menyerahkan lembaran surat dari dokter Arnold."Menurutmu bagaimana? Dokter kantor bilang ada masalah pencernaan, dokter Arnold bilang masalah di rahim." Carla kembali menoleh lalu menunduk sambil memainkan jarinya. "Hidup aku kenapa buruk sekali ya? Aku bahkan tidak mampu untuk menangisinya. Saking terlalu seringnya kesedihan datang.""Carla, tak ada kesedihan yang tak berujung. Sem
"Carla!"Abi keluar dari dalam kamar mandi setelah mendengar suara keributan dari luar. Tatapannya tertuju pada Carla dan Risya yang saling menunjuk satu sama lain lewat mata mereka. Carla memicing, seperti hendak menerkam Risya. Sedangkan Risya menggeletukkan giginya menahan kesal yang tertahan."Ada apa ini?" Abi mendorong Carla, memisahkan kedua istrinya. Walau tak akan mungkin Carla akan menyerang Risya, tapi tetap saja segala kemungkinan akan terjadi. "Carla, biarkan aku bicara. Kita hanya perlu berkomunikasi dengan baik. Aku tak tahu apa salahku. Selama ini aku bebaskan kamu bertindak sesukamu di luar sana. Apa itu masih kurang untukmu?""Kamu menanyakan hal itu padaku yang memang sudah mandiri sejak dulu?" Carla meninggikan suaranya. "Ada atau tidaknya pernikahan kita, tidak ada hubungannya dengan keseharianku.""Apa maksudmu? Apa aku salah jika menegur sikapmu?""Tidak, tidak salah. Aku yang salah karena terjebak dengan pernikahan tidak jelas denganmu," ujar Carla dengan nada
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri