Alarm di dekat telinga Livia sudah menjerit-jerit sejak tadi. Namun ia tetap meringkuk di bawah selimutnya. Kepalanya terasa sedikit berat. Livia butuh tidur sedikit lagi.Alarm yang terus berbunyi membuat tidur Rajendra jadi terganggu. Lelaki itu berdecak kesal.'Kenapa dia nggak bangun juga?'Merasa kesal, Rajendra turun dari tempat tidur lalu melangkah mendekati sofa."Livia, bangun! Matikan alarmmu."Livia bergeming. Sehingga akhirnya Rajendra mengambil ponsel Livia lalu mematikan alarm tersebut dengan tangannya sendiri. Tanpa sengaja Rajendra melihat wallpaper handphone Livia yang merupakan foto USG anaknya.Rajendra tertegun tapi tidak lama."Kalau pasang alarm tuh, bangun! Jangan cuma bikin berisik!" Rajendra mengomel dongkol.Livia tidak menanggapi ocehan Rajendra. Ia tetap meringkuk di bawah selimut. Ia merasa tidak enak badan."Livia, bangun! Kamu nggak masak? Aku mau sarapan. perutku lapar." Rajendra menarik-narik tangan Livia dan tidak sengaja ia menyentuh dahinya yang ter
Livia memandangi Rajendra dengan tatapan yang dipenuhi rasa heran. Apa benar ini Rajendra yang selalu bersikap dingin dan kasar padanya?Livia berusaha mencari celah, tanda lelaki itu hanya bersandiwara. Namun ucapannya tadi terdengar serius."Nggak perlu lah, Ndra. Saya hanya lagi nggak enak badan bukan sakit yang serius. Anak saya pasti akan baik-baik saja." Livia sengaja menggunakan kata 'anak saya' dan bukan lagi 'anak kita'."Jangan ngeyel, Livia. Kamu nggak bisa menjamin kondisi anak kamu kalau belum periksa ke dokter," paksa Rajendra. "Aku antar." Rajendra melanjutkan dengan nada lebih tegas. Tanpa persetujuan dari Livia ia mengambil kunci mobil dan bersiap-siap.Livia masih tertegun di tempatnya. Ada perasaan hangat yang tidak ia mengerti merambat di dadanya meskipun ia mencoba menahannya.Kenapa baru sekarang Rajendra bersikap begini?Pada Akhirnya Livia menyerah. Ia mencoba bangkit meskipun tubuhnya terasa lemah. Rajendra segera menghampiri lalu menyodorkan lengannya sebagai
Livia pandangi suaminya dengan ekspresi datar sambil menyembunyikan kekalutan di hatinya. Sulit untuk percaya bahwa Rajendra menolak panggilan dari Utary hanya karena ingin bersamanya."Ayo, Liv, tunggu apa lagi? Obatnya udah aku ambil," tegur Rajendra pada Livia yang termenung. Bahkan Livia tidak sadar bahwa namanya sudah dipanggil petugas apotik.Livia mengangguk dengan perlahan. Ia menggeser tongkatnya, berjalan pelan mengikuti langkah Rajendra yang sengaja memperlambat langkahnya agar bisa sejajar dengan Livia.Di dalam perjalanan ke toko alat kesehatan, suasana di dalam mobil penuh keheningan. Livia mengarah ke luar jendela, mencoba fokus pada pemandangan jalan dan membiarkan pikirannya tenggelam akan perubahan sikap Rajendra."Kenapa diam terus? Ada yang lagi kamu pikirin?" Rajendra akhirnya membuka suara."Nggak ada apa-apa," jawab Livia pendek."Jangan bohong, Livia. Aku bisa membaca ekspresi kamu. Let me know kalau ada yang mengganggu pikiran kamu."Livia membetulkan duduknya
"Cerai lagi, cerai lagi! Kenapa itu yang selalu kamu bicarakan?!"Livia tersentak mendengar Rajendra yang tiba-tiba membentaknya sambil menggebrak meja.Livia yang tadinya berbaring langsung duduk. Ia sungguh tidak paham pada sikap Rajendra. Rajendra yang tadinya lembut tiba-tiba berubah drastis."Apa nggak ada hal lain yang bisa kamu katakan selain cerai, hah?!" suara Rajendra semakin tinggi. Ada kilat amarah di matanya yang sulit untuk disembunyikan."Maksud saya baik, Ndra. Saya berkata begitu karena banyak pertimbangan." Livia mengambil jeda sejenak. Sementara Rajendra diam menatapnya dengan tatapan menusuk. Kemudian Livia kembali melanjutkan perkataannya."Yang pertama Randu terbukti sebagai anak kandung kamu. Jadi sebaiknya kamu dan Utary menikah. Biar saya yang mengalah karena percuma kita bersama. Kamu nggak mencintai saya dan nggak mau mengakui anak yang saya kandung adalah hasil hubungan kita berdua. Jadi apalagi yang harus dipertahankan? Perceraian bukanlah hal yang memalu
Rajendra mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya nyaris memutih. Rahangnya menegang mendengar pernyataan Livia yang menghujamnya. Emosinya meledak, tapi ia tidak berteriak. Rajendra mendekat ke arah Livia dengan langkah berat. Lelaki itu menundukkan wajahnya agar sejajar dengan Livia yang tetap duduk santai di sofa. "Jadi kamu pikir ini lelucon, lawakan. Begitu, Liv? ujarnya dengan suara rendah. "Dan untuk apa kamu membawa-bawa langit dan Ryuga? Buat memancing emosi aku?" Livia membalas tatapan rajendra tanpa gentar. "Saya pikir nggak ada yang salah. Toh mereka jauh lebih baik darimu. Setidaknya mereka tahu cara menghargai wanita." Mata Rajendra semakin merah. Amarah membara di hatinya. Sebelum ia menjawab perkataan Livia, wanita itu lebih dulu berbicara. "Satu hal lagi, Ndra. Jangan pikir dengan hinaan dan cacianmu saya akan hancur. Justru kalimat-kalimat kasarmu adalah pengingat bahwa saya berhak mendapatkan yang lebih baik. Jadi kalau kamu nggak mau menceraikan saya,
'Lelaki ini benar-benar sudah gila,' batin Livia sambil melihat seluruh pakaiannya yang berada di dalam koper kini berserakan di lantai.Ketika pandangannya beradu dengan pintu ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Rajendra mengunci pintu dan mengantongi di dalam sakunya.'Mungkin kejiwaannya perlu diperiksa,' batin Livia lagi.Bagaimana tidak? Sikap Rajendra berubah dengan cepat. Emosinya tidak stabil. Dan perbuatannya pun aneh. Siapa yang tidak heran kalau begitu.Dengan susah payah Livia mengemasi pakaiannya dari lantai kemudian menyusunnya kembali dengan rapi di dalam lemari. Sementara itu Rajendra berbaring di tempat tidur dengan mata tertutup. Livia tidak tahu apa laki-laki itu sudah benar-benar tidur atau masih tidur-tidur ayam.Yang Livia tahu, tadi ia melihat Rajendra mematikan ponselnya kemudian meletakkan di nakas. Sedangkan kunci kamar berada di saku celana laki-laki itu karena ia takut Livia akan kabur.***Livia terbangun sedikit lebih lambat pagi ini. Semalam sete
Livia menegakkan tubuhnya, merasa topik pembicaraan ini begitu penting. Ia juga meletakkan kaus kaki mungil rajutannya di pangkuan."Iya, Tante, gimana?""Sebelumnya Tante minta maaf karena harus membicarakan ini dengan kamu. Tapi Tante rasa kamu perlu tahu. Atau apa Rajendra sudah membicarakannya secara khusus dengan kamu?"Livia menjawab dengan gelengan kepala."Oh, mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan kamu."'Perasaan? Perasaan apa yang dia jaga? Yang terjadi dia hanya terus menyakitiku,' batin Livia.Livia menunggu sampai Lola menyampaikan apa yang hendak dikatakannya."Beberapa hari yang lalu Rajendra datang ke rumah untuk menemui Tante dan papinya. Rajendra membawa surat hasil tes DNA itu. Dan hasilnya dinyatakan kalau Randu adalah anak kandung Rajendra."Livia terdiam. Kalau soal anak kandung ia sudah tahu dari Rajendra. Ia hanya tidak tahu kapan tes itu dilakukan."Iya, Tante. Rajendra sudah bilang begitu kalau Randu adalah anak kandungnya.""Kamu yang sabar ya, Liv. Ini m
Langit datang sore harinya ke rumah Livia. Lelaki itu terkejut ketika ia dilarang masuk oleh lelaki yang katanya sekuriti rumah itu.Langit berdiri dengan alis mengernyit. Ia tidak pernah melihat sekuriti sebelumnya. Sekuriti itu menghalanginya masuk."Maaf, Mas, tapi siapa pun yang datang dilarang masuk tanpa izin dari pemilik rumah!" Danu berujar dengan nada tegas.Langit tertawa mendengarnya. "Saya ini saudara Rajendra, Pak. Saya sudah sering ke sini dan nggak ada masalah. Tolong panggil Livia, saya harus bicara dengan dia," ujar Langit dengan nada kesal."Sekali lagi maaf, Mas. Tidak bisa. Saya hanya menjalankan perintah."Langit mulai kehilangan kesabaran lantaran diperlakukan seperti itu. "Tolong jangan buat saya marah ya, Pak. Kalau Bapak nggak mau bukain pintunya saya akan telepon Rajendra sekarang."Nama Rajendra yang disebut membuat sekuriti itu terlihat ragu sejenak. Sebelum ia sempat memberi jawaban, suara lembut namun tegas terdengar dari arah rumah."Langit!" Livia seger
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha