"Ndra, kenapa nggak dijawab?" suara Livia mengagetkan Rajendra."Liv ..." Rajendra menatap Livia penuh arti. "Kamu pasti akan tahu ceritanya. Aku akan ceritakan semuanya tapi nggak sekarang. Dokter bilang kamu dilarang berpikir terlalu keras. Apalagi kamu sedang hamil.""Ayolah, Ndra. Aku hanya ingin tahu. Aku janji nggak akan berpikir terlalu keras. Aku hanya ingin tahu." Livia terus membujuk."Kalau nanti kepalamu sakit lagi, gimana, Liv?""Nggak akan. Aku janji," desak Livia lagi.Rajendra menatap Livia yang tampak begitu penasaran. Akhirnya ia memutuskan untuk bercerita sekadarnya mengenai dua wanita di masa lalunya."Lunetta lahir sebelum Randu, nama ibunya Sharon. Sharon sudah meninggal, Liv.""Kenapa?""Kanker otak."Livia terdiam memproses informasi itu. Ia mencoba mengingat tapi seperti sebelumnya ingatannya tetap kosong."Jadi Lunetta anak wanita yang bernama Sharon?" Rajendra mengangguk. "Iya. Dulu Sharon sangat menyayangi Lunetta, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya. Aku y
Malamnya Tasia iseng masuk ke kamar Livia. Ia mengetuk pintu dan mendapat sahutan. "Bu Livia, boleh saya masuk?""Masuk aja, nggak dikunci."Daun pintu terkuak, memperlihatkan sosok Livia yang tengah duduk di pinggir ranjang sambil membelai baby breath yang ada di tangannya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ada perasaan hangat yang menyelimuti dadanya."Wah, bunganya cantik ya, Bu," komentar Tasia dengan nada antusias. "Dari Pak Rajendra ya?"Livia mengiakan dengan anggukan. "Iya, dia juga mengirim Makanan favoritku."Mata Tasia tampak berkilat sekilas sebelum ia memasang senyum lembut. Ia duduk di sebelah Livia pura-pura mengamati bunga itu dengan penuh minat. "Baby breath ya, Bu? Pak Rajendra memang tahu cara menyenangkan hati perempuan."Livia tertawa kecil. "Iya, aku suka."Tasia menatapnya dengan ekspresi sedikit ragu seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Bu Livia, saya nggak tahu sebaiknya ngomong atau nggak. Tapi ..."Livia mengernyit. "Kenapa?"Tasia menggigit bibirny
Malam itu Livia tidak bisa tidur. Ia hanya membolak-balikkan badan di tempat tidur. Semua kata-kata Tasia tadi terngiang-ngiang di benaknya. Lelah hanya berguling-guling di kasur, Livia keluar dari kamar. Ia melihat ruang kerja Rajendra yang terang benderang lalu dilangkahkannya kaki ke sana. "Kamu belum tidur?" sapa Livia.Rajendra menoleh sedikit terkejut. "Eh kamu, Liv.Livia tersenyum samar. "Kamu lagi ngobrol sama siapa?" tanyanya dengan suara santai meski di hatinya ada kegelisahan memerhatikan ponsel di tangan Rajendra. Rajendra meletakkan ponselnya ke meja. "Nggak ada. Aku cuma baca laporan kerja.""Oh," ujar Livia pendek. Meski berkata begitu seakan-akan tidak masalah tapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Tasia.Ia lalu duduk di kursi di dekat Rajendra dan mencoba menggali kebenaran. "Rajendra," panggilnya pelan."Ya, Liv. Kamu butuh sesuatu?""Kamu pernah ngerasa kesepian nggak selama aku sakit?"Rajendra tidak tahu kenapa Livia bertanya seperti itu. Ditatapnya perempu
Sore itu Rajendra mengetuk pintu kamar Livia dengan pelan. Setelah mendengar sahutan dari dalam ia membuka pintu dan menemukan Livia sedang duduk membaca buku di atas tempat tidur."Liv," panggil Rajendra lembut.Livia menoleh. "Iya, kenapa?"Rajendra menyandarkan bahunya ke kusen pintu. "Aku mau ajak kamu dinner malam ini.""Dinner?" ulang Livia sambil mengerutkan keningnya.Rajendra menggangguk. "Aku pikir kita belum pernah makan malam berdua sejak semua kejadian itu."Livia terdiam sejenak. Sejujurnya ia tidak tahu bagaimana harus merespon. Setelah semua yang terjadi mereka masih berusaha mencari pijakan untuk kembali dekat. Dan sekarang Rajendra tiba-tiba mengajaknya makan malam."Kenapa mendadak?"Rajendra tersenyum tipis. "Nggak ada alasan khusus. Aku cuma ingin menghabiskan waktu sama kamu. Kita bisa makan di restoran favorit kamu.""Memangnya kamu masih ingat restoran favoritku?""Apa pun tentang kamu nggak bakal aku lupain, Liv," ucap Rajendra sambil memandang Livia penuh art
Restoran yang dipilih Rajendra adalah restoran Italia yang dulu sering mereka kunjungi sebelum semuanya berubah. Saat memasuki tempat itu Livia terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat berbagai kenangan yang pernah mereka bagi di sini tapi nihil. Ia tidak menemukan apa-apa di ingatannya."Kamu masih suka tempat ini, Liv? Ini spot favorit kita," ujar Rajendra saat mereka sudah duduk berhadapan di kursi yang terletak di dekat jendela.Livia mengangguk pelan. "Iya, aku suka." Rajendra tersenyum tipis. "Aku juga ingat kamu suka lasagna di sini.""Jadi kamu tahu semua tentang aku?" "Kenapa nggak? Tentu saja aku tahu. Kamu kan istriku."Livia tersenyum tipis. Ia harap semua kata-kata yang diucapkan Rajendra adalah kebenaran. Bukan semata-mata untuk menghibur hatinya.Obrolan mereka mengalir dengan ringan. Mereka membicarakan banyak hal. Livia tertawa jika ada yang lucu atau sekadar menimpali dengan senyumnya.Malam itu setelah mereka pulang makan bersama ternyata Erwin sudah menunggu di ruma
Livia mengernyit. Pandangannya tertuju pada sofa hitam di sudut kamar. Tetapi pikirannya melayang jauh. Ada sesuatu yang terasa familier seperti kenangan yang berusaha muncul ke permukaan namun tertahan di ambang kesadarannya.Seseorang pernah tidur di sofa itu setiap malam. Sosok itu ada di sana, dalam bayangannya, tetapi wajahnya kabur. Siapa dia? Jantung Livia berdetak lebih cepat. Ia mencoba mengingat lebih keras tetapi justru rasa pusing mulai menyerangnya. "Livia?"Suara Rajendra menariknya kembali ke realitas. Livia berkedip beberapa kali lalu menatap suaminya dengan kebingungan."Kamu kenapa?" Rajendra bertanya dengan nada khawatir. Livia menggigit bibir bawahnya ragu-ragu untuk menceritakan apa yang barusan ia rasakan. Namun pada akhirnya ia menghela napas dan berkata pelan, "Aku merasa seperti pernah melihat seseorang tidur di sofa itu setiap malam tapi aku nggak tahu itu siapa."Rajendra terdiam sesaat matanya sedikit membulat tetapi ekspresinya segera berubah tenang. Ia
Pagi datang dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden. Livia mengerjapkan matanya yang masih terasa berat. Ia merasakan kehangatan yang begitu nyaman. Sesuatu yang asing tapi tidak terasa salah. Barulah ia menyadari bahwa ia masih berada dalam dekapan Rajendra. Dada bidang lelaki itu naik turun dengan ritme teratur, wajahnya terlihat tenang dalam tidur. Livia menatapnya tanpa sadar. Ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya tetapi juga kebingungan yang belum bisa ia uraikan. Kenapa ada perasaan nyaman seperti ini? Kenapa ia tidak merasa ingin segera menjauh?Tepat saat pikirannya mulai berkelana, Rajendra menggerakkan tangannya, memeluk Livia lebih erat seolah tidak ingin kehilangan momen itu."Kamu sudah bangun?" suara serak Rajendra terdengar. Matanya masih setengah terbuka.Livia tersentak pelan. "Eh, iya." Rajendra tersenyum samar tetapi bukannya melepas pelukannya ia justru menenggelamkan wajahnya ke rambut Livia. "Aku nggak mau bangun kalau begini rasanya."Livi
Bagi Tasia kehamilan Livia merupakan ancaman besar karena hal itu akan semakin mendekatkan Rajendra dengan Livia. Ia melakukan berbagai cara untuk merusak kebahagiaan sepasang suami istri tersebut.Tasia mulai mencari tahu tentang ramuan herbal yang bisa menyebabkan kontraksi dini pada ibu hamil. Setelah membaca berbagai artikel di internet dan bertanya secara tidak langsung pada seorang penjual jamu ia menemukan beberapa jenis tanaman yang berbahaya bagi kehamilan termasuk akar sejenis jamu peluntur kandungan.Hari itu saat ia pergi ke pasar ia membeli bahan-bahan dengan alasan untuk perawatan tubuh. Tidak ada yang curiga. Bahkan ia dengan santai menyimpannya di dalam kamar tanpa ada yang mengetahui niat aslinya. Malam harinya ketika semua orang sudah tidur Tasia mulai merebus tanaman itu di dalam air mendidih. Ia menyaring airnya dan menuangkannya ke dalam sebuah botol kaca kecil. Cairannya bening kekuningan hampir seperti air jeruk. Sambil menatap botol itu bibirnya melengkung mem
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha