Hari ini Lunetta merengek-rengek ingin bertemu dengan ibunya. Membuat Rajendra langsung bertindak untuk menemui Sharon di apartemennya.Rajendra melajukan mobilnya dengan pikiran yang bergulat antara kemarahan dan kegelisahan.Sampai di apartemen Sharon, Rajendra memencet bel beberapa kali. Namun tidak ada jawaban. Pintu pun diketuk keras-keras, berharap ada jawaban dari dalam."Sharon! Buka pintunya!" Rajendra berteriak sekuat yang ia bisa. Suaranya menggema di lorong apartemen. Tetapi tetap saja tidak ada jawaban.Rajendra mencoba menghubungi nomor telepon Sharon, tetap tidak bisa dihubungi. Nomor tersebut tidak aktif.Dengan perasaan kesal Rajendra memindahkan tatapannya ke arah pintu tetangga. Ia mengetuknya. Lalu seorang wanita tua keluar."Excuse me, Ma'am. May i ask if you've seen the occupant of the unit next door? A woman named Sharon," tanya Rajendra pada wanita itu.Wanita itu mengerutkan dahi seakan sedang mengingat-ingat. "Oh, that young woman? I haven't seen her in a whi
Rajendra melangkah keluar dari bandara Soekarno-Hatta. Sebelah tangannya menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggenggam tangan mungil Lunetta. Anak kecil itu penasaran, matanya yang besar menatap hiruk-pikuk bandara dengan penuh keingintahuan. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Indonesia.Rajendra menaiki taksi pertama yang ia temui. Ia mengarahkan sang supir untuk menuju rumah orang tuanya. Selama perjalanan berkali-kali Rajendra memandangi Lunetta yang duduk di sebelahnya. Anak itu tampak asyik dengan boneka kecil yang ia bawa ke mana-mana. Di dalam hati Rajendra ada perasaan cemas tak terbendung. Terutama mengenai tanggapan orang tuanya nanti mengenai Lunetta. Ini bukanlah situasi yang mudah untuk dihadapi.Ketika ia tiba di kediaman orang tuanya, Lola adalah orang pertama yang keluar untuk menyambut anaknya. Wajah perempuan itu yang pada awalnya penuh dengan kebahagiaan berbuah bingung saat Rajendra membawa seorang anak kecil yang belum pernah ia lihat seb
Sudah dua minggu lebih Livia berada di Indonesia pasca kepulangannya dari Ohio. Livia yakin dalam rentang waktu tersebut Rajendra mungkin saja mencarinya tapi lelaki itu gagal menghubunginya lantaran Livia sudah kembali menggunakan SIM card-nya saat bersembunyi dulu.Tidak ada yang tahu Livia sedang berada di mana sekarang. Termasuk Langit. Livia tidak menghubungi Langit untuk meminta pertolongan atau sekadar memberitahu bahwa saat ini kakinya sudah sehat. Biarlah. Lebih baik tidak ada seorang pun yang tahu mengenai keberadaannya. Hanya saja Livia tidak mungkin terus begini. Persediaan uangnya sudah sangat menipis. Ia harus segera mencari kerja. Sedangkan untuk merajut tidak bisa lagi ia andalkan sebagai sumber pernghasilannya. Merajut dalam jumlah yang banyak membutuhkan waktu yang lama. Sementara Gadis sudah semakin besar. Saat ini umur anak itu hampir memasuki usia 11 bulan.Livia mengusap kepala Gadis yang sedang tidur. Wajah kecil itu begitu tenang sekaligus menjadi pengingat be
Balasan pesan dari Suci datang dengan cepat. Seakan ia mengerti kalau saat ini Livia benar-benar terdesak."Kamu bisa mulai kapan pun, Liv. Tapi kalau bisa besok jam sembilan kamu sudah di butik. Aku akan kirim alamatnya.""Ahhh, i can't thank you enough, Ci."Mata Livia berkaca-kaca setelah Suci mengirimkan alamat butik milik mamanya yang artinya miliknya juga. Tatapannya kini tertuju pada anak gadisnya. Gadis masih terlalu kecil untuk dititip. Dan Livia tidak pernah percaya pada pengasuh. Namun mulai besok ia harus menitipkannya di daycare.Livia mengusap-usap punggung Gadis, membuat anak itu menggeliat. Matanya terbuka. Wajah polosnya menatap Livia. Livia tersenyum padanya."Hai, anak gadis Bunda sudah bangun?""Da ... da ... da...," oceh Gadis yang membuat Livia tertawa. Namun di dalam hati ia merasa sedih lantaran besok akan meninggalkannya di penitipan anak."Gadis, dengar Bunda ya, Sayang," ujar Livia seraya merangkum kedua pipi anaknya. "Mulai besok Bunda harus kerja jadi Gadi
Ratna yang sedang membaca laporan keuangan mendongak dari tumpukan kertas-kertas lalu memandangi keponakannya."Kamu kenapa, Jav? Tiba-tiba ngomong begitu?""Tumben aja sih. Nggak biasanya Tante punya karyawan secantik itu."Ratna tersenyum mendengar perkataan Javier. "Dia teman Suci. Namanya Livia. Jangan kamu goda. Dia itu sudah punya anak. Dia ibu tunggal."Javier sedikit kecewa mendengar pertanyaan itu. Lalu kepalanya dipenuhi rasa ingin tahu.Ibu tunggal? Memang ke mana suaminya? Meninggal? Atau cerai hidup?"Siap, Tante, nggak bakal aku goda.""Bagus. Dia di sini untuk kerja, bukan untuk digoda keponakan Tante."Javier terkekeh mendengarnya."Ngomong-ngomong tumben kamu ke sini, Jav?" Ratna mengalihkan topik pembicaraan."Aku nggak sengaja lewat depan butik Tante terus ngerasa ada aura cewek cantik. Makanya mampir.""Kamu ini masih saja bercanda." Ratna memutar matanya.Javier tertawa lagi. "Jadi aku mau tanya, untuk acara kita minggu depan. Katanya Tante yang handle.""Iya, Tan
Diam-Diam Livia bersembunyi ke belakang dan membiarkan Kinan melayani pembeli sendiri. Livia tahu tindakannya ini salah. Tapi ia tidak mau ambil risiko. Tasia bisa mengenalinya lalu melaporkan pada Rajendra. Bisa ditebak kelanjutannya seperti apa. Rajendra akan datang ke butik mencarinya.Lebih dari lima belas menit Livia bersembunyi di belakang sampai akhirnya Kinan muncul dengan wajah masam."Ya ampun, Liiiiv. Aku tuh nyari kamu dari tadi. Ngapain sih di sini? Bukannya bantu-bantu malah ngetem.""Sorry, Liv, tadi aku sakit perut," jawab Livia mencari alasan.Kinan masih memandangnya dengan ekspresi sebal yang membuat Livia semakin tidak enak hati."Maaf ya, Kin."Kinan berdecak. "Lain kali jangan ulangi lagi. Kalau mau ada apa-apa bilang ke aku dulu.""Oke, siap." Livia menjawab dengan meletakkan tangannya di pelipis seperti sedang hormat yang akhirnya membuat Kinan tertawa.Melihatnya, Livia jadi lega."Tadi mereka jadi belanja?" Livia bertanya kemudian."Jadi. Tiga-tiganya malah."
Hari-hari terus berlalu. Detik waktu tidak henti bergulir. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun pun tidak lagi sama. Javier semakin intens mendekati Livia. Mulai dari sering mengirim makanan, mengirim Livia bunga. Mampir di Ratna butik lalu membeli baju-baju perempuan yang entah untuk siapa, atau pun sekadar lewat di depan butik lalu curi-curi pandang ke arah dalam.Apa laki-laki itu tidak punya pekerjaan hingga terus mondar-mandir di sini? pikir Livia.Kadang Javier muncul malam-malam di rumah Livia membawakan baju atau makanan untuk Gadis.Hingga tanpa terasa sudah dua tahun Javier melakukan pendekatan pada Livia yang artinya umur Gadis sekarang sudah tiga tahun. Namun usahanya sia-sia. Livia begitu sulit untuk dijangkau. Ia hanya berbicara sekadar saja saat diajak mengobrol dan menjaga batasan di antara mereka. Livia begitu sulit untuk disentuh.Siang itu Livia mendapat telepon dari daycare yang mengabarkan bahwa Gadis demam tinggi. Detik itu juga Livia meluncur
Di tahun keempat usia Gadis, kehidupan Livia telah berubah. Ia tidak lagi bekerja menjadi pramuniaga di Ratna Butik. Tetapi ... menjadi sekretaris CEO di perusahaan Javier. Yang mana, Javier adalah CEO-nya. Hubungan mereka semakin akrab namun saat di kantor keduanya tetap profesional sebagai atasan dan bawahan.Hari ini Javier datang pagi-pagi sekali ke rumah Livia. Mereka akan mengantar Gadis ke sekolah. Ini adalah hari pertama Gadis bersekolah di TK A yang dikhususkan untuk anak berusia 4-5 tahun, sedangkan TK B untuk anak-anak berusia 5-6 tahun."Om Jav!" teriak Gadis begitu melihat Javier datang. Kala itu Gadis sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kemeja putih, rok warna pink dan juga rompi warna pink lembut. Gadis berlari ke arah Javier yang baru saja tiba. Javier berjongkok lalu meraup Gadis ke dalam pelukannya. Ia menciumi kedua pipi anak itu bolak-balik yang juga dibalas oleh Gadis. Begitulah kebiasaan mereka selama ini. Keduanya begitu dekat bagaikan ayah dan anak."Sudah
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena