Hari ini Livia sudah mempersiapkan dirinya untuk pergi terapi. Ia bertekad akan pergi sendiri tanpa ditemani Rajendra."Mau ke mana kamu, Ndra?" tanya Livia melihat Rajendra juga sedang bersiap-siap."Lho, kok gitu nanyanya, Sayang?" Rajendra keheranan. "Kita kan mau pergi terapi.""Saya akan pergi sendiri. Kamu tolong jaga Gadis baik-baik."Rajendra terdiam sejenak sambil memandangi wajah Livia. Dan ia menemukan keseriusan di sana. "Kenapa kamu ingin pergi sendiri? Biasanya kita selalu pergi bertiga.""Kasihan Gadis kalau terlalu lama menunggu. Saya pikir lebih baik dia di apartemen. Dia jadi bisa tidur atau main dengan leluasa.""Oke. Tapi biar aku antar kamu ke rumah sakit ya?""Nggak usah, Ndra, biar saya naik taksi.""Tapi kita masih tergolong baru di sini. Kamu belum banyak tahu daerah di sini, Liv." Rajendra berusaha mencegah."Justru itu. Biar saya pergi dengan taksi. Percayalah saya akan baik-baik saja. Kamu nggak perlu sampai secemas itu. Saya orangnya nggak panikan. Masih b
Hampir satu minggu Lunetta dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah dibolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik. Meski begitu Lunetta masih terus merengek dan minta digendong. Hal itu membuat Sharon merasa kewalahan juga kesal. "Mommy, gendong aku. Aku nggak mau jalan," rengek Lunetta sambil menarik-narik tangan Sharon. Sharon menghela napasnya meningkahi kemanjaan sang putri. "Sayang, Mommy juga capek. Kamu kan sudah besar, ayo jalan sendiri." "Tapi aku nggak bisa. Kakiku sakit Mommy ..." "Kamu itu tipes, Lunetta, bukan sakit kaki kayak perempuan pincang itu. Ayo jalan, nanti kalau kamu nggak mau jalan Tuhan bikin kakimu jadi pincang. Mau kamu?" ancam Sharon dengan mata melebar. "Maksud Mommy pincang seperti Aunty Livia?" Sharon terdiam sebentar kemudian tersenyum tipis. Senyum yang sepertinya ramah tapi begitu penuh siasat. Lalu ia berjongkok di depan Lunetta. Tangannya meraih bahu kecil putrinya lalu mengunci mata Lunetta dengan tatapan. "Lunetta sayang."
Livia dan Rajendra terdiam sesaat mendengar Lunetta memanggil Rajendra dengan sebutan 'Papa'. Panggilan itu datang tiba-tiba dan begitu mendadak tanpa ada penjelasan sebelumnya. Dan tentu saja keduanya merasa terkejut. Bagi Livia panggilan 'Papa' seharusnya bukanlah sesuatu yang bisa diucapkan begitu saja oleh anak yang tidak memiliki hubungan darah langsung dengan orang tersebut. Panggilan itu lebih dari sekadar sebutan. Itu merupakan sebuah ikatan yang semestinya terjalin secara alami melalui kedekatan emosional. "Terima kasih bunganya, Lunetta." Rajendra menerima buket mawar tersebut dari anak mantan kekasihnya. "Tapi kenapa kamu memanggil Papa? Seharusnya cukup panggil Uncle atau Om saja." Livia memerhatikan ekspresi Rajendra dengan cermat. Kebingungan dan ketegangan terlihat jelas dari wajahnya. Rajendra mencoba untuk terdengar biasa tapi nada suaranya sedikit kaku. Sedangkan Livia mencoba menahan diri agar tidak emosi. Lunetta membalas tatapan Rajendra dengan wajah polos
Livia dan Rajendra sekali lagi dikejutkan oleh ucapan Lunetta. Padahal tadi sudah diwanti-wanti agar jangan memanggil papa pada Rajendra. Namun entah anak itu mengerti atau tidak, ia masih mengucapkannya. Selepas Sharon dan Lunetta pergi, Livia mencoba menenangkan diri. Hatinya terasa berat. Ia merasa ada salah dengan Sharon, tetangganya yang aneh. Wanita itu terlalu lancang, dan kalau boleh Livia bilang, dia juga manipulatif. "Aneh banget orang itu," ucap Livia sambil menatap wajah Rajendra. "Sudahlah, Liv, kamu tenang ya." Rajendra menggenggam tangan Livia demi menenangkannya. "Gimana aku bisa tenang? Udah dibilangin jangan panggil Papa masih aja nggak ngerti. Aku nggak suka anak itu memanggilmu begitu, Ndra, seolah-olah dia adalah anakmu, dan ibunya adalah wanitamu yang lain." "Sssst!" Rajendra segera menenangkan Livia dengan menempelkan telunjuknya di bibir perempuan itu. Sedangkan sebelah tangannyanya yang lain memangku Gadis yang asyik memainkan buket bunga dan tampak
Malam itu Livia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya kalut dan tidak berhenti mengulang kejadian tadi. Perkataan Sharon begitu membekas, seperti luka kecil yang begitu nyeri setiap diingat.Livia berbaring di atas tempat tidur dengan mata terbuka sambil menatap langit-langit kamar dalam temaram cahaya lampu tidur. Di sebelahnya Rajendra sudah tertidur dengan Gadis dalam dekapannya. Hanya suara napas keduanya yang terdengar, tapi entah kenapa hal tersebut membuat Livia merasa sangat kesepian.Livia memiringkan badannya, menatap Rajendra yang terlihat tenang dalam tidurnya. "Kamu nggak bisa ngerasain perasaanku, Ndra," bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Merasa tidak tahan lagi menahan kegalauan sendirian, Livia bergerak dari ranjang lalu berjalan ke balkon. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya. Namun tidak cukup untuk menahan gejolak di dalam dadanya. Perasaan tidak nyaman itu semakin menghantui.Entah berapa lamanya Livia berada di balkon sampai ia mendengar langkah
Kedua alis Sharon terangkat. Perempuan itu memasang aksi pura-pura terkejut. "Hubungan kita? Duh, aku nggak nyangka kamu akan membahasnya, Ndra. Apa yang mau kamu bicarakan tentang hubungan kita, Ndra?"Rajendra menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri untuk sejenak. "Sha, aku ingin memperjelas batasan antara kita. Aku nggak nyaman dengan apa yang terjadi belakangan ini."Sharon yang tadi menegakkan duduknya kini menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Oh, jadi kamu nggak nyaman. Sebenarnya bukan kamu yang nggak nyaman kan? Tapi Livia.""Ya. Kami berdua sangat tidak nyaman. Ini tentang cara kamu mendekati keluarga kecilku. Khususnya tentang Lunetta yang terus memanggilku papa. Aku tahu kamu sangat mengerti situasinya tapi kamu seolah-olah sengaja membiarkan hal itu terjadi.Senyum tipis di bibir Sharon seketika menghilang, digantikan oleh tatapan tajam perempuan itu. "Aku sengaja? Serius? Jadi menurutmu aku sengaja menyuruh anakku untuk memanggilmu papa? Apa kamu pikir aku sejahat it
Rajendra mengendarai mobil dengan tenang. Sesekali ia melirik Livia yang duduk di sampingnya. Istrinya itu tampak termenung, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Sementara di pangkuannya ada Gadis yang tertidur nyenyak. "Liv, mikirin apa?" Rajendra bertanya memecah kesenyapan.Livia menoleh dan membalas tatapan Rajendra. "Saya agak sedih aja sih, Ndra, ninggalin apartemen kita yang lama, tapi nggak apa-apa. Ini yang terbaik untuk kita."Rajendra tahu apa yang Livia maksudkan. Apartemen mereka sebelumnya adalah tempat mereka memulai hidup bersama di negara ini. Tempat mereka jauh dari kenangan buruk sampai akhirnya toxic itu datang. Sejak saat itu apartemen tersebut terasa tidak lagi seperti rumah untuk pulang.Rajendra menghentikan mobilnya di sebuah komplek apartemen. Tempat tersebut adalah tempat tinggal mereka yang baru. Apartemen baru mereka berada di daerah yang lebih tenang dan jauh dari pusat kota. Bangunannya modern dengan keamanan yang ketat dan fasilitas lengkap.
Rajendra mendekatkan wajahnya ke muka Livia lalu memberi ciuman sayang. Ciuman lembut itu lama kelamaan menjadi lumatan panas di bibir Livia.Perasaan sayang yang tak terukur, serta perasaan cinta yang dalam membuat keduanya hanyut dalam gelora.Tanpa disadari keduanya saling membantu melepas pakaian masing-masing hingga tubuh keduanya polos sempurna.Rajendra menghujani tubuh Livia dengan ciuman basahnya di mana-mana yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit perempuan itu."Gimana perasaan kamu?" tanyanya setelah membenamkan wajah di ceruk leher Livia."Bahagia," jawab Livia dengan tatapan sendu sambil membelai kepala Rajendra. Rajendra menghadiahkan sebuah senyum.Benak Livia kini sibuk bertanya. Apa mereka benar-benar akan melakukannya?Mereka sudah tak berbusana. Walau bukan tidak mungkin tapi terlalu mustahil untuk mengenakannya kembali. Lagi pula Rajendra tidak memaksa. Laki-laki itu malah bertanya."Kamu beneran mau kita melakukannya, Liv?" Rajendra menjauh dari ceruk leher
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja
Pagi itu Gadis keheranan menyaksikan Lunetta yang tidak mengenakan seragam sekolah seperti dirinya."Kak Lunetta mau ke mana?" tanyanya."Mau liburan sama Papa. Kamu nggak diajak ya?" ucap Lunetta bangga lantaran hanya dirinya yang ikut pergi dengan Rajendra."Liburan? Kita kan sekolah. Lagian Papa kok nggak ngajak Adis?""Aku juga nggak diajak." Randu menimpali.Keheranan mereka semakin kentara saat melihat Rajendra muncul dengan membawa koper Lunetta. Koper itu besar seperti digunakan untuk perjalanan jauh."Papa mau liburan ke mana sama Kak Lunetta? Kenapa Adis dan Bang Randu nggak diajak?" Gadis memprotes tindakan ayahnya."Papa ke Surabaya sama Kak Lunetta. Kali ini Adis dan Bang Randu nggak usah ikut ya. Temenin Bunda di rumah jaga adek.""Yaaa ... kita nggak liburan bareng-bareng dong."Lunetta tersenyum puas melihat kekecewaan Gadis."Tapi nggak apa-apa, Pa, ketimbang liburan, Adis lebi
Rajendra mengetuk pintu kamar Lunetta. Pertama-tama tidak ada jawaban sampai Rajendra mengetuk dengan lebih keras lagi."Lunetta, ini Papa. Tolong buka pintunya dulu."Beberapa detik setelahnya daun pintu terbuka bersamaan dengan sosok Lunetta yang muncul dengan wajah masam."Ada apa, Pa?" tanyanya sambil berdiri di celah pintu yang tidak sepenuhnya terbuka. Lunetta hanya membuka setengahnya."Kamu lagi apa? Boleh Papa masuk ke dalam?"Lunetta terpaksa menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rajendra melangkahkan kakinya masuk.Rajendra duduk di tepi tempat tidur sedangkan Lunetta berdiri dengan tangan bersedekap seolah-olah sedang menginterogasi Rajendra. Anak itu benar-benar tidak sopan."Lunetta, turunkan tangan kamu lalu duduk di sini." Rajendra menepuk permukaan kasur yang kosong di sebelahnya.Lunetta melakukan apa yang diperintahkan Rajendra, menunggu apa yang akan disampaikan berikutnya."Lunetta, besok Papa mau pergi ke Surabaya. Kamu mau ikut Papa?""Ke Surabaya, Pa?" ulang a
Setelah dirawat di rumah sakit akhirnya Livia diizinkan pulang. Kondisinya sudah jauh membaik. Baik dari segi fisik maupun ingatannya.Ketika masuk ke dalam rumah Livia merasakan kehangatan yang familier. Tidak ada yang berubah dari rumah itu dari terakhir kali yang ia ingat."Welcome home, Love." Rajendra merangkul pinggul Livia untuk memasuki rumah tersebut. Sedangkan Gadis dan Randu membantu mendorong stroller yang berisi Ananta. Di belakang kedua anak itu ada Lunetta yang merasa tidak senang. Kehadiran Ananta merenggut perhatian semua orang, terutama Rajendra. Livia tersenyum sambil mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Tidak ada yang berubah di rumah itu. "Ndra, aku jadi kangen pengen ngerajut. Rasanya udah satu abad aku nggak ngelakuin itu."Rajendra terkekeh mendengarnya. "Kamu bisa ngerajut yang banyak, tapi nanti ya. Ananta lebih butuh perhatian kamu."Livia dan Rajendra masuk ke kamar pribadi mereka. Setelah memberikan Ananta dan bercanda dengannya Gadis dan Randu keluar
Hari-hari berlalu tanpa kepastian. Livia masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Gadis terus menanyakan kapan bundanya akan bangun. Anak itu juga menangis karena takut kehilangan Livia. Sama dengan Rajendra yang tidak berhenti mengeluarkan air matanya.Para kolega bisnis dan bawahannya berdatangan menyampaikan empati. Hanya saja mereka dilarang masuk ke ruangan Livia. Mereka hanya bertemu dengan baby Ananta yang saat ini sudah berumur tujuh hari.Langit adalah salah satu dari orang yang datang menghibur Rajendra. Walaupun selama ini ia menjauh namun ia tidak bisa tinggal diam mendengar musibah yang dialami Rajendra."Gue ikut sedih, Ndra. Gue cuma bisa bantu doa biar Livia cepat sadar. Lo yang sabar ya," kata Langit menghibur Rajendra."Gue udah lebih dari sabar," jawab Rajendra. "Gue udah sabar menunggu Livia sadar dan menanggung rasa takut ini sendirian." Suara Rajendra terdengar serak. Matanya pun memerah. Langit tahu Rajendra adalah orang yang tidak mudah menunjukkan kelemahan
Suara bip mesin pemantau detak jantung memenuhi ruang operasi. Begitu pun dengan cahaya lampu bedah yang terang ikut menyorot tubuh Livia yang terbaring lemah di atas meja operasi. Para dokter dan asistennya bekerja dengan sigap. Livia yang seharusnya akan melahirkan satu minggu lagi terpaksa harus menjalani operasi caesar saat ini demi menyelamatkan bayinya. Sedangkan Livia sendiri berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.Di luar ruang operasi Rajendra menunggu dengan gelisah. Perasaannya tidak tenang. Hatinya kalut. Dari tadi yang dilakukannya hanya mondar-mandir di depan ruang operasi sambil berharap operasi selesai lalu dokter atau siapa pun keluar untuk memberi kabar baik."Ndra, udah, yang tenang, jangan mondar-mandir melulu. Duduk di sini," kata Erwin yang juga berada di tempat yang sama. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah Rajendra mengabarinya."Gimana aku bisa tenang, Pi? Gimana kalau Livia nggak akan bangun lagi?" ucap Rajendra emosional. Matanya memerah mena