Malam itu Livia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya kalut dan tidak berhenti mengulang kejadian tadi. Perkataan Sharon begitu membekas, seperti luka kecil yang begitu nyeri setiap diingat.Livia berbaring di atas tempat tidur dengan mata terbuka sambil menatap langit-langit kamar dalam temaram cahaya lampu tidur. Di sebelahnya Rajendra sudah tertidur dengan Gadis dalam dekapannya. Hanya suara napas keduanya yang terdengar, tapi entah kenapa hal tersebut membuat Livia merasa sangat kesepian.Livia memiringkan badannya, menatap Rajendra yang terlihat tenang dalam tidurnya. "Kamu nggak bisa ngerasain perasaanku, Ndra," bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Merasa tidak tahan lagi menahan kegalauan sendirian, Livia bergerak dari ranjang lalu berjalan ke balkon. Udara malam yang dingin menerpa wajahnya. Namun tidak cukup untuk menahan gejolak di dalam dadanya. Perasaan tidak nyaman itu semakin menghantui.Entah berapa lamanya Livia berada di balkon sampai ia mendengar langkah
Kedua alis Sharon terangkat. Perempuan itu memasang aksi pura-pura terkejut. "Hubungan kita? Duh, aku nggak nyangka kamu akan membahasnya, Ndra. Apa yang mau kamu bicarakan tentang hubungan kita, Ndra?"Rajendra menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri untuk sejenak. "Sha, aku ingin memperjelas batasan antara kita. Aku nggak nyaman dengan apa yang terjadi belakangan ini."Sharon yang tadi menegakkan duduknya kini menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Oh, jadi kamu nggak nyaman. Sebenarnya bukan kamu yang nggak nyaman kan? Tapi Livia.""Ya. Kami berdua sangat tidak nyaman. Ini tentang cara kamu mendekati keluarga kecilku. Khususnya tentang Lunetta yang terus memanggilku papa. Aku tahu kamu sangat mengerti situasinya tapi kamu seolah-olah sengaja membiarkan hal itu terjadi.Senyum tipis di bibir Sharon seketika menghilang, digantikan oleh tatapan tajam perempuan itu. "Aku sengaja? Serius? Jadi menurutmu aku sengaja menyuruh anakku untuk memanggilmu papa? Apa kamu pikir aku sejahat it
Rajendra mengendarai mobil dengan tenang. Sesekali ia melirik Livia yang duduk di sampingnya. Istrinya itu tampak termenung, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Sementara di pangkuannya ada Gadis yang tertidur nyenyak. "Liv, mikirin apa?" Rajendra bertanya memecah kesenyapan.Livia menoleh dan membalas tatapan Rajendra. "Saya agak sedih aja sih, Ndra, ninggalin apartemen kita yang lama, tapi nggak apa-apa. Ini yang terbaik untuk kita."Rajendra tahu apa yang Livia maksudkan. Apartemen mereka sebelumnya adalah tempat mereka memulai hidup bersama di negara ini. Tempat mereka jauh dari kenangan buruk sampai akhirnya toxic itu datang. Sejak saat itu apartemen tersebut terasa tidak lagi seperti rumah untuk pulang.Rajendra menghentikan mobilnya di sebuah komplek apartemen. Tempat tersebut adalah tempat tinggal mereka yang baru. Apartemen baru mereka berada di daerah yang lebih tenang dan jauh dari pusat kota. Bangunannya modern dengan keamanan yang ketat dan fasilitas lengkap.
Rajendra mendekatkan wajahnya ke muka Livia lalu memberi ciuman sayang. Ciuman lembut itu lama kelamaan menjadi lumatan panas di bibir Livia.Perasaan sayang yang tak terukur, serta perasaan cinta yang dalam membuat keduanya hanyut dalam gelora.Tanpa disadari keduanya saling membantu melepas pakaian masing-masing hingga tubuh keduanya polos sempurna.Rajendra menghujani tubuh Livia dengan ciuman basahnya di mana-mana yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit perempuan itu."Gimana perasaan kamu?" tanyanya setelah membenamkan wajah di ceruk leher Livia."Bahagia," jawab Livia dengan tatapan sendu sambil membelai kepala Rajendra. Rajendra menghadiahkan sebuah senyum.Benak Livia kini sibuk bertanya. Apa mereka benar-benar akan melakukannya?Mereka sudah tak berbusana. Walau bukan tidak mungkin tapi terlalu mustahil untuk mengenakannya kembali. Lagi pula Rajendra tidak memaksa. Laki-laki itu malah bertanya."Kamu beneran mau kita melakukannya, Liv?" Rajendra menjauh dari ceruk leher
Dulu, pada bulan pertama memulai terapi fisik adalah hal yang paling sulit bagi Livia. Ia masih sangat bergantung pada tongkatnya. Setiap langkah begitu berat dan tubuhnya juga sering terasa lelah. Namun Livia tidak menyerah. Setiap hari ia melatih kakinya meski hanya berjalan mengitari apartemen.Di bulan kedua sudah ada kemajuan kecil. Livia mulai bisa berjalan tanpa tongkat meskipun hanya selangkah dua langkah.Di bulan ketiga tongkat mulai jarang ia gunakan saat berada di apartemen. Livia mulai bisa berjalan sendiri dengan langkahnya yang masih terpincang. Ia merasa bahagia setiap kali bisa berjalan lebih lama tanpa merasa terlalu lelah.Tiba di bulan kelima Livia hampir tidak pernah menggunakan tongkatnya lagi. Ia sudah cukup percaya diri untuk keluar apartemen meskipun kakinya masih pincang, tapi berjalan tanpa menggunakan tongkat meningkatkan rasa percaya dirinya. Walau masih ada yang memandang aneh tapi dengan tidak adanya tongkat tidak semua orang memperhatikannya seperti dul
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra berlari keluar dari apartemennya dan terus berteriak-teriak memanggil nama Livia dan Gadis. Membuat orang-orang keheranan akan tingkahnya.Tanpa alas kaki Rajendra berdiri di lobi melihat ke sekelilingnya kalau saja ada Livia. Ia juga bertanya pada sekuriti namun pria penjaga keamanan itu mengatakan padanya bahwa sejak tadi bayak orang yang keluar masuk apartemen itu dan dia tidak terlalu memerhatikannya.Rajendra mengesah kecewa. Setelah puas mencari Livia dan tetap tidak menemukan sang istri, Rajendra kembali ke unit apartemennya. Kemungkinan sekarang Livia sedang dalam perjalanan ke bandara lalu pulang ke Indonesia. Ia harus bergegas ke bandara dan mencegah Livia pergi.Rajendra menemukan Lunetta sedang menangis ketika ia tiba di unitnya."Papa ... Aku lapar. Aku mau sarapan ..." Lunetta merengek saat melihat Rajendra muncul."Ambil aja apa yang ada di kulkas, Om buru-buru," kata Rajendra yang langsung masuk ke kamar.Rajendra akan mengambil kunci mobil di nakas. Tapi sesu
Setelah Livia mengunci pintu kamar, tubuhnya lemas dan ia merosot ke lantai dengan punggung bersandar pada pintu. Tangisnya pecah dan tidak mampu lagi untuk ia tahan. Hatinya hancur berkeping-keping. Kehancurannya kali ini lebih parah dari kehancuran apa pun yang pernah ia rasakan.'Kenapa ini semua terjadi padaku?' pikir Livia sambil memeluk lututnya, membiarkan perasaan sakit menguasainya.Dari balik pintu, Livia mendengar Rajendra mengetuk dengan panik. Suaranya begitu penuh dengan permohonan. "Liv, aku mohon buka pintunya dulu. Kita bisa bicara baik-baik, Sayang "Livia menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari Rajendra. Semua yang keluar dari mulut lelaki itu hanyalah dusta belaka.Kenangan demi kenangan mengenai pernikahan mereka mulai bermunculan di benak Livia bagaikan film yang diputar ulang. Janji-janji Rajendra, senyumnya yang menawan, caranya mencumbu, serta sentuhannya yang begitu lembut, saat ini terasa begitu palsu.Li
Suasana di ruangan itu mendadak mencekam. Pernyataan Sharon membuat Livia mengernyitkan dahinya dan menatap Rajendra dengan sorot penuh tanda tanya."Maksudnya apa, Ndra? Kenapa dia bilang kamu akan kabur dari dia?" tanya Livia dengan perasaan tidak enak.Rajendra tidak sanggup berkata sepatah kata pun, seperti ada gumpalan besar yang menyumbat tenggorokannya."Livia, aku bisa jelasin nanti. Kita bicara berdua, Sayang," ucap Rajendra akhirnya tanpa bisa menyembunyikan rasa panik di wajahnya.Mendengarnya, membuat Sharon tertawa kecil. "Dia memang selalu mengatakan itu, Liv. Nanti, sebentar, besok dan banyak lagi lainnya. Padahal dia hanya ingin lari dari masalah.""Masalah apa?" Livia menatap Sharon dengan tatapan menusuk. "Boleh aku bicara?" Sharon pura-pura meminta izin."Bicaralah," jawab livia tidak sabar."Oke. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana." Lalu Sharon menatap Rajendra. "Aku harus mulai dari mana ya, Ndra? Apa semuanya harus kuceritakan?"Rajendra menggeram kesal n
Livia dan Rajendra mulai berbenah barang-barang mereka. Lusa mereka akan pulang ke Indonesia.Sebenarnya Livia masih ingin berada lebih lama di Ohio, tapi alasan yang disampaikan Rajendra membuatnya menyerah pada keinginan lelaki itu.Jauh di dalam hatinya Rajendra merasa bersalah. Uangnya masih banyak untuk biaya hidup di Ohio. Ia hanya ingin lari dari semua kenyataan ini. Ia tidak ingin Livia tahu fakta mengenai Lunetta yang merupakan darah dagingnya.Sementara itu Sharon terus mendesak. Lantaran Rajendra tidak mau menjawab panggilan darinya setiap kali Sharon menelepon, wanita itu memborbardirnya dengan pesan."Rajendra sayang, aku tidak bisa menunggu sampai enam hari lagi. Kepalaku semakin sering sakit. Dokter bilang aku harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Bagaimana dengan Lunetta? Apa aku harus mengantarnya ke apartemenmu?"Rajendra mendengkus membaca pesan itu lalu dengan kasar menghentakkan jarinya di layar gawai."Aku bilang tunggu dulu. Enam hari lagi nggak la
Rajendra mengemudikan mobilnya pulang dengan perasaan kacau. Amplop hasil tes DNA tergelak di dashboard, seakan menjadi pengingat atas kesalahan dan kebohongan yang selama ini ia simpan. Wajah Sharon dan Lunetta terus berkelindan di pikirannya. Tapi bayangan Livia yang tersenyum lembut selalu muncul di atas segalanya.Setibanya di hunian mereka Livia ternyata sudah pulang. Perempuan itu tersenyum ceria."Ndra, kata dokter Justin progress aku sudah 95%. Sebentar lagi aku bisa jalan kayak kamu, Ndra.""Syukurlah, Sayang," jawab Rajendra sambil memaksakan sebuah senyuman sambil menahan kecamuk di dadanya."Tadi kamu jalan-jalan ke mana sama Gadis?""Aku ajak dia ke playground. Dia happy di sana. Sampai nggak mau pulang," dusta Rajendra."Iya ya, Nak?" Livia terkikik sambil menggelitik Gadis yang membuatnya tertawa.Rajendra menatap interaksi ibu dan anak itu yang begitu bahagia. Akankah kebahagiaan tersebut tetap ada setelah Livia tahu kenyataan yang sebenarnya? ***Malamnya Rajendra me
"Ndra, tahu nggak, dokter aku udah ganti lagi. Namanya dokter Justin. Dia yang bakal menangani aku sampai sembuh. Dia bilang sebentar lagi aku bisa berjalan."Baru saja Rajendra tiba di apartemen ia disambut oleh ocehan Livia yang tampak begitu ceria.Rajendra terdiam sesaat. Ini membuatnya bingung. Dokter Hailey bilang kesempatan Livia untuk berjalan normal lagi sangat kecil, tapi dokter Justin mengatakan sebaliknya. Apa ini bukan hanya untuk menambah semangat Livia saja?"Ndra, kok diam?" Livia mengguncang tangan Rajendra yang terpaku."Eh, iya, Sayang. Aku ikut senang." Rajendra tersenyum kikuk. "Aaa ... aku udah nggak sabar. Coba deh kamu lihat."Livia kemudian melangkah di hadapan Rajendra setapak demi setapak. Rajendra memerhatikannya. Livia memang masih pincang tapi tidak separah dulu."Gimana, Ndra?" tanyanya setelah melakukan 'pertunjukan' berjalannya di hadapan Rajendra."Hebat, Sayang. Pincangnya udah nggak terlalu kelihatan. Aku yakin ini memang nggak bakal lama." Raje
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R