Purple Tulip Grand Hotel, Manhattan City
18 Oktober 2020
01.23 AM
“Gladys? Maaf aku telah menganggumu. Ternyata kau yang memesan kamar ini?” ujar Sylvia tidak enak hati. Ia tak menyangka, bunyi pesan dari ponselnya yang menyuruh ia mendatangi kamar hotel ini telah mempertemukannya dengan saudara sepupunya.
Wanita yang membuka kamar itu kaget. Ia memandang gugup pada wanita pengetuk kamar hotel yang telah ia sewa itu bersama kekasihnya.
Sylvia memutuskan segera pergi, ia membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak berkata lagi. Bagaimanapun ia harus menjaga privasi Gladys, putri tantenya.
“Siapa yang datang, Dys?”
Sylvia tercekat, apakah ia tidak salah dengar?
Untuk sesaat, Sylvia hampir tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Tapi ia merasa yakin, itu suara suaminya.
Mata Sylvia berpaling membalikkan tubuhnya kembali.
Sylvia hampir tidak percaya pada pandangan menyakitkan di depan matanya.
"Reynold! K—kalian?!”
Lelaki yang terbaring di kamar menghadap televisi itu tak kalah kaget, tubuh tanpa busana itu hanya ditutupi selimut. Ia blingsatan, dengan cepat menyambar celana dalam kemudian tangannya meraih dengan terburu-buru celana pendek yang hanya tergeletak di lantai. Wajah lelaki itu memerah, malu tak tertahankan. Dirinya dikuasai rasa bersalah. Ia segera menghampiri ibu dari anak gadis kecilnya.
Gladys memandang mereka berdua bergantian, sepertinya ia terlihat menikmati kecanggungan lelaki yang beberapa minggu ini telah banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Pemandangan yang membuat dada Sylvia seakan dipukul godam yang telah meremukkan semua tulang dan persendiannya.
Kepercayaan yang Sylvia bangun selama ini kepada suaminya terjun pada titik terendah. Dan yang membuat ia berang kenapa bukan wanita lain? Kenapa harus dengan sepupunya?
Tubuh Sylvia bergetar menahan marah. “Kalian, kurang ajar!”
Kata-kata itu keluar dari bibirnya sebagai refleksi kemurkaan tak terhingga menerima penghianatan ini.
Tanpa memberikan penjelasan, Gladys menatap Sylvia tanpa ekspresi. Tapi dari mata itu sungguh tersirat kelicikan. Apa yang ia rencanakan telah berhasil. Ikan besar telah memakan umpannya. Permainan baru saja dimulai.
Ia memanfaatkan waktu secermat mungkin. Saat Reynold mandi tadi, Gladys telah mengirim pesan singkat pada istri kekasihnya menggunakan nomer asing, agar wanita yang dinikahi lelaki yang sering bercinta dengannya itu datang ke kamar hotel ini.
Ujung bibir Gladys membentuk sebuah senyum tipis yang ia sembunyikan saat memalingkan sedikit wajahnya ke arah samping.
“Jangan terbawa emosi, Sylvia. Aku bisa memberikan penjelasan,” ujar Reynold dengan wajah bersungguh-sungguh.
Sylvia tidak tahan lagi, “Aku tidak mau dengar penjelasan apapun!”
Wanita itu membalikkan tubuh bergegas melangkah pergi. Jiwanya terguncang hebat. Tapi Sylvia tumbuh dalam keluarga teredukasi, ia tidak terpancing membuat keributan di hotel bintang lima itu.
Kaki ia jejakkan lebar-lebar diatas koridor beralaskan karpet tebal yang dapat meredam suara langkah yang ia hentakkan kuat-kuat.
“Sylvia, tunggu.” Dengan menghalau rasa malu akibat affair yang kemungkinan bisa menjadi pergunjingan tamu lain, Reynold yang telah turun dari ranjang itu segera berlari mengejar istrinya.
Koridor hotel yang sepi mengalunkan musik lembut dengan volume pelan. Tapi tidak menutup kemungkinan penghuni kamar lain akan dapat mendengar perseteruan itu.
Tangan Reynold yang menggapai lengan kanannya ia kibaskan dengan kuat. Sylvia tidak ingin disentuh laki-laki yang telah nyata-nyata meniduri saudara sepupunya.
“Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!” bisik Sylvia menahan emosinya, matanya melotot dengan wajah geram.
Reynold diam. Keduanya menyadari tidak mau mengambil resiko dengan menjatuhkan nama baik mereka di hotel yang mengenal reputasi baik keluarga besar mereka. Sylvia berhasil mengendalikan diri. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata lagi kecuali hasratnya yang menggebu untuk segera pergi dari tempat itu, menghindari suaminya, menghindari pemandangan menyakitkan tadi.
Reynold menyerah, memutuskan tidak memperkeruh keadaan. Dia membiarkan saja Sylvia pergi. Lelaki itu berpikir untuk sekarang ini mungkin Sylvia masih dikuasai amarah. Seiring berjalannya waktu, Sylvia dapat berpikir jernih, kemarahannya akan hilang dengan sendirinya. Selama ini Sylvia adalah wanita yang pemaaf. Reynold sibuk mencari pembenaran.
Sylvia telah sampai di dalam mobilnya yang terparkir di basement hotel. Pedal gas ia injak kuat membelah malam pukul dua dini hari itu. Pikiran kalut ia rasakan menghantam kepalanya yang berdenyut pusing. Sejak awal, pernikahan terjadi dengan lelaki itu adalah buah dari ketidak sengajaan. Permainan satu malam, yang membuat hidupnya berubah, tiba-tiba dia menyandang nama sebagai Nyonya Reynold. Tapi tidak berjalan seperti ini juga kisah hidup yang ia harapkan. Kesetiaan yang ia dambakan dari suaminya itu telah ternoda. Kenapa juga mesti berselingkuh dengan adik sepupunya? Kenapa? Apa tidak ada wanita lain di dunia ini?
Sylvia memacu mobil yang dibelikan papanya saat ia selesai melangsungkan pernikahan kilatnya dengan lelaki itu. Spedometer mendekati angka seratus tigapuluh. Ia sudah tidak mempedulikan apapun dihadapannya. Dini hari pinggiran kota itu keadaan memang sepi. Sebuah mobil dari arah berlawanan tiba-tiba muncul dari sebuah belokan di depannya.
Dhuar!
Adu banteng tidak terelakkan. Kuda besi Sylvia terguling berkali-kali ke aspal. Sebuah mobil sport berwarna biru tua yang menabraknya memiliki bodi rangka yang lebih kuat sehingga pengendaranya tidak mengalami luka, seat belt juga turut melindunginya. Seorang lelaki keluar dari mobil itu, dia berlari menuju mobil ringsek parah Sylvia.
“Oh, Tuhan. Selamatkan pengendara itu,” doanya sambil mencari keberadaan pengemudi mobil nahas itu. Pandangannya menyapu sekeliling, tidak ia temukan pengendara lain yang lewat.
Sebuah motor yang melintas, ternyata mereka sepasang suami istri yang hendak membuka toko kelontong di ujung jalan itu.
Pengendara mobil yang selamat itu melambaikan tangannya meminta bantuan mereka. Puji Tuhan pengendara itu mau berhenti.
“Tolong bantu saya, seseorang di dalam mobil yang telah bertabrakan dengan mobil saya di dalam sana. Bantu saya mengeluarkannya.”
Lelaki berusia pertengahan empat puluhan yang mengendarai motor itu bersedia membantu.
Sebuah percik api mulai terlihat, mereka berpacu dengan waktu. Ibu yang berada di boncengan bapak tadi tidak berhenti komat kamit berdoa.
Dengan susah payah mereka berempat akhirnya berhasil mengeluarkan tubuh Sylvia yang tak sadarkan diri dan bersimbah darah dengan penuh kehati-hatian. Kemudian tubuh tidak sadatkan diri itu digotong ke tempat yang aman.
Bummm…
Api membakar mobil mewah pemberian ayah Sylvia tidak lama setelah itu.
Lelaki penyelamat tadi menekan denyut nadi dipergelangan tangan Sylvia---masih ada, walaupun sangat lemah.
Sebuah mobil bak terbuka melintas, syukurlah.
Pengendara yang melihat lambaian tangan lelaki penyelamat itu mau berhenti dan turut serta ikut membantu. Lelaki itu menepikan dulu mobil miliknya kemudian meminta tolong mobil pick up yang baru berhenti itu membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
...
Sementara itu, setelah kepergian Sylvia, Reynold didera rasa gelisah. Ia merasa sangat bersalah. Walau ia menyukai Gladys, tapi Sylvia adalah ibu dari anaknya. Wanita di sampingnya juga tidak berani menanyainya macam-macam. Sepertinya Gladys takut kena semprot. Reynold mengambil ponselnya, sebuah nomer ia tekan. “Mom,” sapanya.
"Ini jam berapa, Noldi. Kau buat kaget saja,” omel seorang wanita di seberang sana.“Maaf ya sudah mengganggu jam tiga dini hari ini. Tapi aku mau minta bantuan.”“Ada apa?!” tanya ibunya sarkas.“Saya telpon August tidak diangkat, mungkin hapenya dimatikan.”“Ada apa jam segini bangunin dia, pastilah dia masih mimpi,” sergah ibunya.“Mom, tolong bangunin August. Suruh dia ke rumahku sekarang.”“Ada apa?”“Suruh Agus pastikan Sylvia sudah di rumah sekarang, Mom.”“Ada apa lagi dengan wanita itu? Jam segini masih keluyuran! Sudah biarkan saja. Dasar menantu kurang ajar.”Telpon itu ditutup Mrs. Mathilda.Mathilda adalah seorang mertua yang tidak menyukai menantunya.Dering telpon dari putranya berkali-kali lagi setelah itu tidak ia pedulikan, bahkan kemudian ponsel itu ia matikan.Mathilda melanjutkan tidurnya dengan pulas. “Badaipun tidak akan bisa mengganggu tidurku. Persetan dengan Sylvia itu,” dengusnya melanjutkan mimpi.Sylvia telah dikepung tenaga medis untuk mendapatkan pertol
Sesampainya dirumah, tindakan pertama yang Reynold lakukan adalah membawa putrinya ke rumah sakit Ibu dan Anak terdekat. Mengenai kepergian Sylvia ia kesampingkan terlebih dahulu. Reynold mengira istrinya itu pulang ke rumah orang tuanya. Biar saja, mungkin ia ingin menenangkan diri.Setelah beberapa hari melalui pemeriksaan dengan melibatkan dokter ahli dan melalui serangkaian test kesehatan, seorang dokter spesialis penyakit dalam, onkologi-hematologi anak, Dr. Hendrawan Saputra berucap, “Putri Anda menderita sakit leukimia, Pak.”Kenyataan pahit ini Reynold terima dengan mata berkaca-kaca....Sementara agak jauh dari sana. Sylvia menghadapi masa kritis. Operasi yang telah dilakukan tidak berhasil. Malaikat maut bersiap menyapa wanita malang itu....Las Vegas Hospitals2 Juli 2021Pukul 01. 26 PMAkhirnya mata biru laut itu bisa menatap sekeliling ruangan yang putih. Sejenak Sylvia terdiam. Mengatur napasnya.“Saya dimana?” Bibirnya bisa mengucapkan pertanyaan itu pada seorang
Sudah waktunya pulang kerja. Gladys berjalan ke luar kantor, seorang lelaki menunggunya sambil bersandar di mobil. Sudah seminggu sejak mereka makan malam bersama, dan pemandangan Hans menjulurkna kaki panjangnya menunggunya pulang dari bekerja pada sebuah perpustakaan, sungguh menyenangkan hatinya.“Hei, bagaimana kalau kita makan malam bersama?”“Aku harus mencuci pakaian.”Hans bingung, ajakan kencannya ditolak. “Kau menolak ajakan berkencan karena mau mencuci pakaian?”Gladys menepuk-nepuk lengan Hans, “Maksudku, kau mendadak muncul dan mengajakku makan malam saat aku berencana mencuci pakaianku.”“Bagaimana kalau kita makan malam di rumahmu agar kau tetap bisa mencuci pakaianmu? Ayolah, aku membawa donat.”“Baik. Ikuti mobilku,” sahut Gladys pasrah. Ia menghindari ciuman Hans dan berjalan ke mobilnya sambil melambai. Setelah memasang sabuk pengaman dan mengemudi pulang, ia tersenyum mengingat ketampanan Hans dan betapa tersanjung dirinya. Kemudian mereka sudah sampai ke rumahnya.
“Sylvia sayang, tolong pastikan Sky tidak sendirian,” ujar Mrs. Chaterine Waters Ferragamo. Ia adalah bibi Sky Ferragamo.Sylvia menatap ke bawah, ke arah padang rumput landai di kediaman Sky Ferragamo di Richmond untuk mengamati Honorabe Constanty Lane. Melihat Sky Ferragamo memasuki tenda teh.Setelah ia pulang dari rumah sakit beberapa hari lalu, kini ia berada di sebuah “welcome party” yang pria itu adakan sebagai syukuran kesembuhannya dari koma selama hampir enam bulan.Halaman rumah mereka yang luas itu diambil alih untuk sebuah pesta kebun, dengan banyaknya meja dan kursi yang bertebaran dan dihiasi dekorasi ruangan terbuka yang indah. Kediaman mereka berada di sebuah bukit yang memiliki pemandangan dengan sungai di bawahnya. Sky Ferragamo yang mencapai kesuksesan di usia terbilang muda, adalah kandidat yang baik untuk dirinya. Ia memiliki karier yang baik, koneksi luas, yang banyak diantaranya sedang berada di sini. Tamu yang diundang adalah dari kalangan bisnis keluarga bes
Vegas adalah rumah kedua bagi Daren Grissham. Dia tahu setiap jalan dari Whitehall sampai East End. Setiap sudut Downtown, Henderson dan Boulder City dia pahami dengan baik. Daren mulai mempelajarinya ketika dia masih seorang bocah yang hidup di Clark, sebelah selatan Nevada, hanya dengan sang ibu yang membesarkan dirinya.Kemudian setelah berhasil menjadi seorang anggota polisi, kegiatan berpatroli menyusuri jalan-jalan baginya adalah kesempatan untuk dia semakin mengenali kota itu. Terlebih lagi dia adalah seorang detektif yang dikirim ke setiap penjuru Vegas dan sekitarnya.Daren mengenal setiap jalanan seolah menghafal namanya sendiri, siapa tinggal dimana? bisnis apa? resmi ataukah ilegal? ada di mana? dan ia kritis menilai orang-orang seperti apa yang melangkah di jalanan.Dia mengetahui setiap lorong, serta tangga yang tersembunyi. Vegas yang merupakan kota perjudian terbesar dibagi menjadi beberapa distrik oleh pemerintah. Area-area yang ramai oleh para pengunjung yang mengad
Daren Grissham tidak tinggal diam begitu saja. Ia melayangkan tinjunya tepat pada wajah Dalton. Dan ia terus memukul bertubi-tubi dengan segenap kemarahan yang menggelegak memenuhi relung dadanya. Ia tidak melihat atau mendengar apapun, yang ia tahu, pria di hadapannya ini sudah menyebabkan teror kematian, dengan pengecut telah tega melukai anak-anak yang tidak berdosa.“Sir,” kata dalah satu anak buahnya. “Dia sudah tidak berdaya.”Daren masih terus memukul. Terdengar erangan dan rintihan memekik kesakitan. Tangan Dalton yang patah berusaha ia angkat untuk menutupi wajahnya. Cairan merah mengucur dari hidung dan mulutnya, yang jatuh membasahi tanah yang sebelumnya telah kotor.“Sir?” Seorang lagi berusaha memberanikan diri menangkap lengan Daren. Sentuhan itu membuyarkan lamunan Daren yang merasa berada di tempat gelap yang mengurungnya. Kesadaran perlahan menghinggapi.Dalton yang kini tidak bersuara tidak terlihat bergerak. Dengan sedikit gugup polisi muda itu menatap nanar pada Da
"Dia sudah tidak bernyawa,” bisik Sersan Conan. Kapten Daren Grissham dan Sersan Conan Rosenburg kini sedang berlutut di sebelah tubuh terdiam Sky Feragamo. Seorang dokter bernama Richard Dalestone berdiri di dekat mereka telah memaparkan sebuah diagnosis dengan cara yang angkuh, itu yang Daren tangkap. “Histotoxic hypoxia*),” ujar Sir Dalestone. “Lihatlah warna biru di wajahnya. Kemungkinan besar asam prussic. Di dalam teh, kurasa. Dengan dosis yang fatal. Sehingga efeknya cepat. Dia meninggal hanya beberapa saat setelah meminumnya.” Daren tidak suka sikap arogan para dokter yang memberikan asumsi terlebih dahulu sebelum menguak fakta. Tetapi dalam kasus ini, bisa jadi pria itu benar. Daren pernah melihat kematian disebabkan asam prussic sebelumnya. Meski begitu, ia lebih memilih untuk mendengar kesimpulan dari petugas koroner yang memeriksa mayat secara menyeluruh. Termasuk melakukan pengetesan terhadap apapun yang telah masuk melalui kerongkongan korban, daripada paparan spe
"Terimakasih, Tuhan... syukurlah kau sudah disini.” Benedicta melepas pegangan tangannya pada Sylvia dan melangkah maju. “Mereka menuduh Sylvia sebagai pelakunya. Keterlaluan. Kau pasti dapat membersihkan namanya dan memberi tahukan bahwa ia tidak bersalah, bukan?” Benedicta bicara padanya tapi pandangan mata Daren hanya tertuju pada Sylvia. Wajah wanita muda yang selama ini tidak pernah lepas dari ingatannya itu seputih ornamen plaster langit-langit di atasnya, membalas tatapan Daren dan terdiam. Kehadiran dua wanita itu tiba-tiba menghilang, demikian juga suara-suara di ruang jendela, cahaya matahari serta suasana siang hari yang cerah. Bisa jadi Daren saat ini sedang sendirian di tengah kabut yang berputar, di tempat dimana tidak ada apapun di sana selain dirinya dan... Sylvia. Sudah hampir delapan tahun, rasanya seperti baru kemarin. Malam itu adalah ulang tahun Delaney, sebuah pesta mewah diadakan. Daren mendapati dirinya hanya berdua saja di satu koridor bersama wani
Sylvia Sanders benci ketika bangun pagi-pagi terutama ketika ia baru tidur dua jam saja yang sebagian besar malamnya telah ia habiskan untuk menangis. Menangis karena kasihan pada diri sendiri. Dan ia masih tidak tahu, bagaimana bisa satu malam terburuk dalam hidupnya juga mencakup sejumlah momen terbaik. Atau bagaimana tentang seorang pria yang begitu jelas membencinya bisa membuatnya merasa begitu begitu... Bergairah. Begitu mendamba. Begitu menginginkan. Ini adalah bukti nyata betapa pikirannya sangat kacau, sehingga ia bahkan bisa berpikir bahwa Daren Grissham menginginkan dirinya dengan urgensi yang sama seperti yang ia rasakan terhadap pria itu. Pelukan lelaki itu ketika ia menangis terisak-isak lah yang meruntuhkan pertahanan diri Silvia terhadap pria yang dingin itu. Sikap itu membuat pertahanannya melemah. Persis seperti yang ia ingin ayahnya lakukan di saat-saat peristiwa langka ketika iya bertemu ayahnya saat ia tumbuh dewasa. Secercah kasih sayang untuk membantunya m
Seharusnya Sylvia takut dan memang itulah yang ia rasakan saat ini. Namun ia juga mengerti apa pun yang terjadi di antara mereka lebih berkaitan dengan pria yang ditinggalkan hancur dan babak belur di lantai bawah. “Kenapa kau begitu marah pada Eddy?” tanya Sylvia lembut. “Apa yang telah dilakukan terhadapmu?”“Kau mau berpura-pura tidak tahu?”Sylvia menggeleng. “Memang aku tidak tau.” Grissham bangkit perlahan dari tempat duduknya dan mendekati Sylvia. “Kau sangat profesional. Aku akui itu. Aku mempercayai semua yang kau katakan di balkon tadi.”Sylvia melangkah mundur dengan wajah bingung. “Aku tidak berbohong.”Grissham terus mendekat seolah Sylvia tidak mengatakan apa apa. “Aku percaya kau tidak merayu Eddy, aku percaya pria itu yang salah. Tapi mobil, adegan di balkon, taruhan...” Grissham tertawa keras dengan diwarnai rona kegetiran. “Aku beri tau, kau benar-benar mengelabuiku selama sesaat.”“Kau tahu tentang mobil itu,” Silvia berhenti bergerak dan meringis. Dia meneta
Daren Grissham tidak mau menatap ke arah Silvia. Wanita itu merasa mulutnya kering kerontang. Rahang Grissham mengeras sehingga bulu kuduk Sylvia berdiri. Itu bukan pria yang menatapnya tadi, yang seolah olah ia satu-satunya wanita di dunia ini. Sylvia bertanya tanya apa yang akan ia lakukan jika Grisham menang? Kemudian pikiran yang lebih buruk menghantamnya. Apa yang akan ia lakukan jika Eddy yang menang? Oh Tuhan...“Mr. Grissham memiliki stright flush, lima kartu urut dengan gambar yang sama,” sang Bandar mengumumkan dengan nada terkendali yang sempurna. “Mr. Eddenburg, mohon perlihatkan kartu Anda.”Sylvia melihat Eddy memucat, lelaki itu hampir terlihat bingung ketika bandar mengambil kartunya dan mengurutkannya. Sylvia merasakan dengungan ditelinga nya ketika ia menunggu. Ia bisa merasakan tatapan penasaran orang orang tertuju ke arahnya dan ia tau semburat samar memanaskan pipinya.Ketika sang bandar mengurutkan kartu Eddydalam barisan, suara penonton yang penasaran me
Serangkaian kejadian malam itu berputar di benak Daren Grissham seperti barisan bebek kayu di arena tembak pasar malam. Sosialita Sylvia Senders itu bertemu dengannya di bandara, tidak saja menginginkannya mengganti rugi sepatu yang katanya berharga ribuan pounds, ia juga telah membajak limousinnya, dan beberapa saat tadi, ia ingin agar Grissham mengalah kepada Eddy. Tatapannya yang mamandang penuh keganjilan kepadanya, apakah semua itu hanya untuk mengalihkan? Aku akan memberi wanita itu penghargaan, pikir Grissham geram. Karena jelas sekali Sylvia ahli dalam permainan ini. Perut Grissham seakan melilit dan kata bodoh memantul-mantul di pundaknya. Iya, ia berani bertaruh wanita itu sengaja mengalihkan perhatiannya demi permainan ini itu sudah pasti. Kemarahan bergejolak dalam dirinya, kemarahan--- karena ia telah dipermainkan.Benar-benar sebuah lelucon. Dan sayangnya, sekarang setelah ia berhasil mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, merekalah yang akan menjadi bahan tertawaan bu
"Apakah kau ingin berkencan dengannya?” tanya Grissham lagi.“Tentu saja tidak!” jawab Sylvia muak.Laki-laki di depannya bergerak gelisah dan tampak menjulang di atasnya.“Kalau begitu seharusnya kau tidak tersenyum kepada pria itu seperti yang kau lakukan sepanjang malam.”Sylvia menautkan alisnya. “Apa ada yang salah, toh aku hanya melakukan pekerjaanku.” “Kau telah memberi pria tua itu isyarat mengundang dengan senyummu yang menjanjikan.”Sylvia agak terkejut mendengar kalimat itu, jika ditanya ia akan mengatakan senyumnya sama sekali tidak berpengaruh kepada pria itu. Sylvia merasakan sentakan tak terduga, hasrat jauh di dalam tubuhnya. Ia tidak dapat menghentikan matanya untuk jatuh ke bibir Grissham sampai ke leher kekar pria itu. Sungguh tidak mungkin untuk tidak membayangkan bagaimana jika lelaki di depannya itu menyentuh bibirnya. Sylvia membayangkan Grissham adalah surgawi, seperti aroma tubuh lelaki di depannya itu.Grissham melangkah lebih dekat, menatapnya tajam kemudia
Satu sosok berdiri mematung berjarak beberapa meter dari mereka bergumam ogah-ogahan.Daren Grissham.Mendengar kalimat itu Eddy melepaskan cengkraman dan mendorong Sylvia ke samping. Wanita itu mendesah lega.“Wah, lihat siapa yang datang,” Eddy mengejek, “Kekasihmu tersayang.”Sylvia mengeluarkan suara pelan seakan tenggorokannya tercekik dan ia berharap kedua lelaki itu tidak mendengarnya. Hal terakhir yang ia butuhkan saat ini adalah Grissham mengetahui, ia membiarkan Eddy percaya tentang hubungan mereka.Sebenarnya Sylvia merasa kaget, jantungnya seakan melompat kegirangan, orang yang ada dalam pikirannya, yang diharapkan muncul saat itu juga dengan tiba-tiba betul-betul menampakkan diri. Entah dikarenakan insting atau apapun itu, hatinya dipenuhi bunga bermekaran.Iya tak habis pikir kenapa orang ini memicu ke luar hal terburuk dalam diri Silvia? Apakah malam ini sedang bulan purnama? Apakah ia akan berubah menjadi labu pada tengah malam?“Kaulah yang berbuat sesuatu, Pak tua.”
Daren Grissham menautkan alis nya ketika tatapanya terpaku pada pintu pribadi di mana Eddie dan Sylvia menghilang. Kembali ia mengatakan pada diri sendiri bahwa sosialita Sylvia itu bukan urusannya. Bukan tugasnya juga melindunginya, dan jika ia memang terlalu bodoh untuk melihat siapa sejatinya Eddy yang sebenarnya. Daren Grissham telah membulatkan tekad bertahun tahun yang lalu untuk tidak mau terlibat secara emosional dalam masalah apa pun, dan sungguh Sylvia tidak terlihat seperti tipe wanita yang membutuhkan perlindungan dari siapapun mungkin, terkecuali dirinya sendiri.Jadi, apakah Daren Grissham peduli tentang berhasil atau tidaknya lelaki tua itu menyelipkan tangan kebalik gaun Sylvia? Apa pedulinya jika Eddy mencium Sylvia? Memangnya dia peduli jika pria botak itu menjelajahi leher mulus wanita itu dengan cIumannya?Brengsek.“Pintu itu ke mana?” Grissham merasa geram. Seorang pelayan wanita yang baru ia tanya terkejut dan menatapnya.“Bar The Skylar Stakes dan balkon yang
Sebuah palu besar seakan memukul kepalanya, Sylvia mulai resah. Ia akan kembali dikukuhkan sebagai adik kecil keluarga Sanders yang berotak kosong. Si Gadis Nakal. Dan tidak ada orang lain yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.“Insiden?” tanya Sylvia lemas. Bertanya-tanya apakah pria itu mau mendengarkan jika ia memohon belas kasihan? Tapi kemudian dia teringat sikap dingin dan penghinaan pria itu di bandara. “Tidak ada yang perlu Anda kwatirkan,” ujar Grissham. Akhirnya melepaskan jasnya dan mengambil tempat duduk.Tentu saja ia tidak berniat menghubungi polisi. Tetapi merasakan tatapan Sylvia yang terlihat khawatir sepanjang malam merupakan hukuman yang cukup. Lelaki itu duduk bersandar di kursi berlapis beledu pada meja judi utama, dan meletakkan lengannya pada sandaran khusus. Ketegangan itu pasti membunuhnya, pikir Grissham. Ia merasa puas. Ia hampir menyiulkan lagu gembira waktu mendapati Sylvia terlihat limbung mau pingsan saat ia menyinggung tentang polisi.Di me
Sylvia berjalan menghampiri dengan perut menegang, ketika tatapan pria itu menyapu sekujur tubuhnya, kepercayaan dirinya menguap.Tepat di hadapan pria itu, dengan mata saling menatap, Sylvia membuka percakapan. “Maaf,” ia mulai terengah-engah, “tapi ruangan ini hanya untuk tamu undangan.”Tatapan datar pria itu menjelajahi wajahnya, lelaki itu tersenyum kecil. “Ah, wanita yang sepatunya rusak.”Jantung Sylvia berdebar keras sewaktu mendengar suara renyahnya. “Well, sebenarnya Anda tidak merusaknya.” Syvia tertawa canggung dan mulai gugup. “Itu kecelakaan. Dan Anda benar, saya seharusnya lebih memperhatikan kemana kaki saya berjalan.”“Anda sangat murah hati mengingat sayalah yang menabrak Anda,” jawab pria itu ramah. Terlalu ramah.Dia tahu tentang mobilnya, pikir Sylvia putus asa. Matanya menatap pria itu mencari tahu sebuah jawaban. Ia menyadari itu, sekujur tubuhnya merasa bersalah.Sylvia berharap wajahnya tidak berubah merah meskipun ia merasa seolah sedang ditempel pada bantal