Sudah waktunya pulang kerja. Gladys berjalan ke luar kantor, seorang lelaki menunggunya sambil bersandar di mobil. Sudah seminggu sejak mereka makan malam bersama, dan pemandangan Hans menjulurkna kaki panjangnya menunggunya pulang dari bekerja pada sebuah perpustakaan, sungguh menyenangkan hatinya.
“Hei, bagaimana kalau kita makan malam bersama?”
“Aku harus mencuci pakaian.”
Hans bingung, ajakan kencannya ditolak. “Kau menolak ajakan berkencan karena mau mencuci pakaian?”
Gladys menepuk-nepuk lengan Hans, “Maksudku, kau mendadak muncul dan mengajakku makan malam saat aku berencana mencuci pakaianku.”
“Bagaimana kalau kita makan malam di rumahmu agar kau tetap bisa mencuci pakaianmu? Ayolah, aku membawa donat.”
“Baik. Ikuti mobilku,” sahut Gladys pasrah. Ia menghindari ciuman Hans dan berjalan ke mobilnya sambil melambai. Setelah memasang sabuk pengaman dan mengemudi pulang, ia tersenyum mengingat ketampanan Hans dan betapa tersanjung dirinya. Kemudian mereka sudah sampai ke rumahnya. “Masuk, yuk.”
Hans melintasi dapur, papan lantainya berderit. Seperti sambutan saja, pikirnya. “Wow. Indah sekali.”
Gladys tersenyum, memang rumahnya bergaya lama dan rumit.
Hans mendekat dan memeluk Gladys. Wanita itu melekat di pelukan Hans. Terakhir kali tubuhnya terlibat kedekatan dengan suami sepupunya yang akhirnya lelaki itu lebih memilih wanita kaya yang sepadan dengannya, Gladys merindukan dekapan lelaki. Ia sandarkan tubuhnya pada lelaki itu yang kemudian mencium kepalanya, hemt… begitu menenangkannya. Kemudian ia mendongak agar si pria bisa mencium bibirnya. Setelah seminggu dari makan malam itu, sepertinya Hans mulai mendekatinya.
Lelaki itu mencium Gladys lama dan perlahan, menikmati rasanya. “Mau beri aku tour?”
“Tentu, tapi aku tidak punya bioskop di rumah, adanya cuma televisi di kamarku.”
“Kau mencoba mengajakku ke kamar tidurmu?”
Gladys tertawa. “Aku harus mencuci pakaian. Aku tidak bohong. Tapi ada waktu setelah cucian ronde pertama.”
Hans memeluknya lagi, dia kelihatan lega.
“Oke, ayo masukkan pakaianmu ke mesin cuci. Bagaimana kalau aku pesan makan via telephon? aku juga bisa pesan sebotol anggur.”
Gladys tidak menolak. Kemudian Hans mengikuti ke kamarnya. Wanita cantik dengan pipi bulat itu menghilang ke dalam lemari dan keluar membawa setumpuk pakaian dan membawanya ke ruang mencuci. Beberapa saat berlalu. “Aku baru saja mencuci, kita bisa makan malam di rumahku daripada keluar. Aku masih punya bahan makanan.”
Hans menaikkan alisnya pasrah.
“Pakaianku sudah masuk ke mesin cuci, lagipula aku agak letih. Sebentar lagi aku akan mengenalan celana yoga dan kaus.”
Hans melemparkan dirinya ke tempat tidur Gladys. Wangi kulit wanita itu menguar dari seprainya.
“Aku akan mengawasi. Kau tak perlu pakai bra di rumah. Aku kan bukan tamu.”
“Kau sangat pengertian.” Dan dengan itu, Gladys menanggalkan roknya lalu menggantungnya di lengan.
Hans menelan ludah. Gladys meletakkan roknya di kursi dan menanggalkan blus, kini ia hanya mengenakan pakaian dalam.
“Ya ampun.” Lelaki itu tidak tahan lagi. Sudut mulut Gladys tersenyum, Hans kemudian mencium lesung pipitnya. “Kau nakal sekali. Tapi kau membuatku bergairah.”
Gladys melepaskan kaitan bra dan membiarkannya terjatuh. “Aku bisa nakal bersamamu, Hans. Aku menginginkanmu.”
Bisikan Gladys yang menggoda membuat Hans menggila.
“Aku yang di sini.” wanita itu meraih tangan Hans dan meletakkannya di gunung kembar dadanya. “…adalah milikku dan milikmu. Bukan untuk orang lain.”
Lidah Hans menjelajah puncak gunung kembar Gladys dengan riang. “Aku suka berpacu dalam hidup. Aju juga suka hidup bebas dan liar. Tetapi aku sangat menghargai sudut pandangmu.”
Gladys terdiam, jelas mempertimbangkan apa yang akan dikatakan. Hans mengulurkan tangan dan membelai dagu Gladys.
“Kau bisa bicara apa saja padaku. Aku sudah mengejarmu sejak setahun lalu. Kau satu-satunya yang ada di pikiranku.”
Hans mencium Gladys lagi. Karena wanita itu begitu menggairahkan. Hans senang ketika mendapati reaksi Gladys membalas ciuman setelah pengakuannya tadi.
“Ayo perlihatkan keliaranmu, Hans,” goda Gladys sambil tertawa kecil.
Hans merebahkan Gladys dengan cepat dan menanggalkan celana jins dan pakaian dalamnya. Hans menciumi Gladys tanpa ada celah yang terlewat. Wanita itu tenggelam dalam gelora yang melenakan, ia memejamkan mata dan mendesah. Hans kembali melumat bibir Gladys dan memeluknya. Dada mereka menyatu, lengan Gladys merangkul Hans erat.
Hans semakin bergairah. “Kau suka yang kasar.” Bibirnya pindah ke puncak gunung kembar di hadapannya.
Suara Gladys mengoyak kendali dirinya. “Bercintalah denganku!”
“Aku ingin kau klimaks dulu.” Hans menghisap puncak gunung kembar Gladys.
“Ya,” gumam Gladys, memegangi kepala Hans. “Klimaks jelas harus. Tapi kau bisa melakukannya di dalamku.”
“Kau suka memerintah.” Hans yang tertawa senang telah tenggelam dalam gairah, akal sehatnya mulai runtuh.
Gladys mengulurkan satu tangannya di nakas dekat situ. Ia bersorak dan mengangkat sebungkus kertas timah. “Ya!”
Hans tertawa, mengambilnya dari Gladys, dan buru-buru menggunakannya. Hans langsung mendorong masuk ke tubuh Gladys. Wanita itu menghela napas tajam, nyaris tersedak mendapat kejutan manis tapi kuat dari Hans. Lelaki itu tahu benar cara menangani Gladys. Hans kasar, tapi tidak menyakiti. Kini ia tidak bisa berhenti saking menginginkan Gladys.
Ini liar. Dan Gladys wanita dewasa yang tahu apa yang ia sukai. Hans mempermudahnya. Kecocokan mereka membara. Ini membuat Gladys merasa begitu hidup.
“Astaga, aku tak pernah melihat apapun seseksi ini. Kulitmu merona. Tubuhmu membuaiku hingga mataku berkunang-kunang”
Gladys tidak suka kata-kata nakal, karena itu sering membuatnya menangis. Mungkin karena tidak pernah terdengar bersungguh-sungguh, atau pria yang bercinta dengannya hanya ingin merayunya saja. Tapi apapun alasannya, kata-kata Hans telah melepaskan sesuatu dalam dirinya. Melontarkan sensasi ke sekujur tubuh Gladys. Ia menggumam dan Hans menggeram, ritme perpaduan mereka begitu dasyat dan menggelora. Hans menggeramkan nama Gladys saat klimaks, dan wanita itu menyukainya. Suka karena tahu dia bisa memenuhi keinginan buas Hans, dan begitu juga sebaliknya. Tatapan Hans terpaku pada gunung kembar Gladys yang memukaunya karena bergerak sesuai irama mereka.
Keduanya beranjak bangun dari tempat tidur itu. Mereka telah selesai dengan hasratnya.
“Aku akan segera kembali.” Kalimat itu diucapkan Hans saat ia pergi setelah untuk sekali lagi mencium bibir Gladys cukup lama.
Gladys telah memutuskan untuk membalaskan sakit hatinya. Hans cukup tampan tapi ia hanya ingin menjadi wanita kaya yang tidak perlu bekerja untuk kehidupan sehari-harinya. Ia telah menyusun sebuah rencana besar, suatu skenario yang akan mengantarkan kakinya menuju rumah besar Reynold Arnoldi, sebagai seorang Nyonya Besar di sana. Tidak lagi tinggal rumah sederhana yang menurutnya tidak pantas untuk wanita secantik dirinya. Ia akan memandaatkan asset itu, ketampanan Hans cukup untuk memikat hati Mrs. Reynold, si pirang sombong itu. Untuk mengenyahkannya dari sisi Reynold. Sehingga lelaki itu hanya akan menjadi miliknya, kekayaannya keluarganya hanya akan jatuh kepadanya.
“Sylvia sayang, tolong pastikan Sky tidak sendirian,” ujar Mrs. Chaterine Waters Ferragamo. Ia adalah bibi Sky Ferragamo.Sylvia menatap ke bawah, ke arah padang rumput landai di kediaman Sky Ferragamo di Richmond untuk mengamati Honorabe Constanty Lane. Melihat Sky Ferragamo memasuki tenda teh.Setelah ia pulang dari rumah sakit beberapa hari lalu, kini ia berada di sebuah “welcome party” yang pria itu adakan sebagai syukuran kesembuhannya dari koma selama hampir enam bulan.Halaman rumah mereka yang luas itu diambil alih untuk sebuah pesta kebun, dengan banyaknya meja dan kursi yang bertebaran dan dihiasi dekorasi ruangan terbuka yang indah. Kediaman mereka berada di sebuah bukit yang memiliki pemandangan dengan sungai di bawahnya. Sky Ferragamo yang mencapai kesuksesan di usia terbilang muda, adalah kandidat yang baik untuk dirinya. Ia memiliki karier yang baik, koneksi luas, yang banyak diantaranya sedang berada di sini. Tamu yang diundang adalah dari kalangan bisnis keluarga bes
Vegas adalah rumah kedua bagi Daren Grissham. Dia tahu setiap jalan dari Whitehall sampai East End. Setiap sudut Downtown, Henderson dan Boulder City dia pahami dengan baik. Daren mulai mempelajarinya ketika dia masih seorang bocah yang hidup di Clark, sebelah selatan Nevada, hanya dengan sang ibu yang membesarkan dirinya.Kemudian setelah berhasil menjadi seorang anggota polisi, kegiatan berpatroli menyusuri jalan-jalan baginya adalah kesempatan untuk dia semakin mengenali kota itu. Terlebih lagi dia adalah seorang detektif yang dikirim ke setiap penjuru Vegas dan sekitarnya.Daren mengenal setiap jalanan seolah menghafal namanya sendiri, siapa tinggal dimana? bisnis apa? resmi ataukah ilegal? ada di mana? dan ia kritis menilai orang-orang seperti apa yang melangkah di jalanan.Dia mengetahui setiap lorong, serta tangga yang tersembunyi. Vegas yang merupakan kota perjudian terbesar dibagi menjadi beberapa distrik oleh pemerintah. Area-area yang ramai oleh para pengunjung yang mengad
Daren Grissham tidak tinggal diam begitu saja. Ia melayangkan tinjunya tepat pada wajah Dalton. Dan ia terus memukul bertubi-tubi dengan segenap kemarahan yang menggelegak memenuhi relung dadanya. Ia tidak melihat atau mendengar apapun, yang ia tahu, pria di hadapannya ini sudah menyebabkan teror kematian, dengan pengecut telah tega melukai anak-anak yang tidak berdosa.“Sir,” kata dalah satu anak buahnya. “Dia sudah tidak berdaya.”Daren masih terus memukul. Terdengar erangan dan rintihan memekik kesakitan. Tangan Dalton yang patah berusaha ia angkat untuk menutupi wajahnya. Cairan merah mengucur dari hidung dan mulutnya, yang jatuh membasahi tanah yang sebelumnya telah kotor.“Sir?” Seorang lagi berusaha memberanikan diri menangkap lengan Daren. Sentuhan itu membuyarkan lamunan Daren yang merasa berada di tempat gelap yang mengurungnya. Kesadaran perlahan menghinggapi.Dalton yang kini tidak bersuara tidak terlihat bergerak. Dengan sedikit gugup polisi muda itu menatap nanar pada Da
"Dia sudah tidak bernyawa,” bisik Sersan Conan. Kapten Daren Grissham dan Sersan Conan Rosenburg kini sedang berlutut di sebelah tubuh terdiam Sky Feragamo. Seorang dokter bernama Richard Dalestone berdiri di dekat mereka telah memaparkan sebuah diagnosis dengan cara yang angkuh, itu yang Daren tangkap. “Histotoxic hypoxia*),” ujar Sir Dalestone. “Lihatlah warna biru di wajahnya. Kemungkinan besar asam prussic. Di dalam teh, kurasa. Dengan dosis yang fatal. Sehingga efeknya cepat. Dia meninggal hanya beberapa saat setelah meminumnya.” Daren tidak suka sikap arogan para dokter yang memberikan asumsi terlebih dahulu sebelum menguak fakta. Tetapi dalam kasus ini, bisa jadi pria itu benar. Daren pernah melihat kematian disebabkan asam prussic sebelumnya. Meski begitu, ia lebih memilih untuk mendengar kesimpulan dari petugas koroner yang memeriksa mayat secara menyeluruh. Termasuk melakukan pengetesan terhadap apapun yang telah masuk melalui kerongkongan korban, daripada paparan spe
"Terimakasih, Tuhan... syukurlah kau sudah disini.” Benedicta melepas pegangan tangannya pada Sylvia dan melangkah maju. “Mereka menuduh Sylvia sebagai pelakunya. Keterlaluan. Kau pasti dapat membersihkan namanya dan memberi tahukan bahwa ia tidak bersalah, bukan?” Benedicta bicara padanya tapi pandangan mata Daren hanya tertuju pada Sylvia. Wajah wanita muda yang selama ini tidak pernah lepas dari ingatannya itu seputih ornamen plaster langit-langit di atasnya, membalas tatapan Daren dan terdiam. Kehadiran dua wanita itu tiba-tiba menghilang, demikian juga suara-suara di ruang jendela, cahaya matahari serta suasana siang hari yang cerah. Bisa jadi Daren saat ini sedang sendirian di tengah kabut yang berputar, di tempat dimana tidak ada apapun di sana selain dirinya dan... Sylvia. Sudah hampir delapan tahun, rasanya seperti baru kemarin. Malam itu adalah ulang tahun Delaney, sebuah pesta mewah diadakan. Daren mendapati dirinya hanya berdua saja di satu koridor bersama wani
Vegas, 22 Maret 2016 Secara moral seharusnya Sylvia Sanders merasa berada di puncak dunia. Dan itulah yang ia rasakan kemarin ketika agennya memberi tahu ia memenangkan kontrak kosmetik Dejongh yang menguntungkan dan akan membawa karir modelingnya ke arah yang lebih serius. Sylvia masih belum percaya, agennya berhasil membuat ia mendapatkan kontrak bertengsi tersebut. Ia mungkin belum akan bisa santai sampai pengumuman akbar dilangsungkan dalam acara mewah di London pada minggu malam pekan depan. Sepuluh hari dari sekarang. Ini mungkin akan menjadi peristiwa besar sehingga terlepas dari seluruh pemgalamannya dindepan publik, Sylvia tahu ia akan gugup malam itu. Terutama karena beberapa hal cenderung berjalan salah pada saat-saat puncak dalam hidupnya... dan ia tidak tahu apa sebabnya. Bukan berarti ia akan memperbolehkan apapun menghalangi jalannya saat ini. Agennya telah bekerja keras untuk membangun citra sebaik mungkin. Agennya telah menjelaskan bahwa ia sudah bukanlah Sylv
Sylvia membawa kakinya melangkah dengan tegas. Lampu bandara dan dan mesin suara poker menyambutnya. “Selamat datang di Las Vegas,” pikir Sylvia agak enggan. Ia menarik koper Vuitton miliknya kemudian berjalan melalui kerumunan penumpang. Mengabaikan tatapan-tatapan ingin tahu. Wajah dan penampilan Sylvia tentu saja tidak mudah untuk diabaikan orang di sekitarnya. Dan berkat nama, karier modelling dan kecenderungannya menimbulkan skandal bahkan ketika sebenarnya ia tidak bermaksud melakukan hal itu, membuat ia adalah figur yang tidak asing di mata orang-orang sekitarnya. Sylvia Sanders mendesah. Hidupnya memang berada di bawah sorotan publik, selalu begitu. Jadi kenapa itu mengganggunya akhir-akhir ini?Padahal biasanya ia tidak peduli. Sambil menarik napas dalam-dalam karena ia merasa tenggorokannya kering. Sylvia berkata pada diri sendiri. Semua akan baik-baik saja. Ia sudah berada di sini, dan dalam hitungan satu jam berikutnya, ia akan sudah berada di meja poker ayahnya yang
Bola mata biru Sylvia membesar. Ia berusaha menarik napas mengendalikan amarahnya. “Kuharap kau menjalani kehidupan yang menarik,” tukasnya sambil tersenyum dingin sebelum meraih pegangan kopernya.Kalau aku tidak salah dengar, penyihir pirang itu baru menyumpahiku dengan kutukan Cina.Ia baru hendak memberi wanita itu beberapa patah kata nasihat dan mengutarakan pendapatnya tentang upaya remeh seorang wanita untuk memerasnya, ketika mendengar namanya diteriakkan seorang wanita yang melengking.“Mr. Grissham?! Oh, Mr. Grisham?!”Daren berpaling dan menatap seorang pramugari yang memantau setiap gerakannya selama penerbangan dari neraka. Mengejar dirinya seperti artis K-Pop.“Oh, Mr. Grissham. Saya sangat senang bisa menemukan Anda.” Wanita itu tersenyum lebar memperlihatkan semua giginya, layaknya ikan barracuda yang mengintai mangsa. “Saya punya sesuatu untuk Anda.”Grissham hanya sempat melihat wanita berambut merah itu memuta mata ke atas sebelum menghilang dari kerumunan. Dengan r
Sylvia Sanders benci ketika bangun pagi-pagi terutama ketika ia baru tidur dua jam saja yang sebagian besar malamnya telah ia habiskan untuk menangis. Menangis karena kasihan pada diri sendiri. Dan ia masih tidak tahu, bagaimana bisa satu malam terburuk dalam hidupnya juga mencakup sejumlah momen terbaik. Atau bagaimana tentang seorang pria yang begitu jelas membencinya bisa membuatnya merasa begitu begitu... Bergairah. Begitu mendamba. Begitu menginginkan. Ini adalah bukti nyata betapa pikirannya sangat kacau, sehingga ia bahkan bisa berpikir bahwa Daren Grissham menginginkan dirinya dengan urgensi yang sama seperti yang ia rasakan terhadap pria itu. Pelukan lelaki itu ketika ia menangis terisak-isak lah yang meruntuhkan pertahanan diri Silvia terhadap pria yang dingin itu. Sikap itu membuat pertahanannya melemah. Persis seperti yang ia ingin ayahnya lakukan di saat-saat peristiwa langka ketika iya bertemu ayahnya saat ia tumbuh dewasa. Secercah kasih sayang untuk membantunya m
Seharusnya Sylvia takut dan memang itulah yang ia rasakan saat ini. Namun ia juga mengerti apa pun yang terjadi di antara mereka lebih berkaitan dengan pria yang ditinggalkan hancur dan babak belur di lantai bawah. “Kenapa kau begitu marah pada Eddy?” tanya Sylvia lembut. “Apa yang telah dilakukan terhadapmu?”“Kau mau berpura-pura tidak tahu?”Sylvia menggeleng. “Memang aku tidak tau.” Grissham bangkit perlahan dari tempat duduknya dan mendekati Sylvia. “Kau sangat profesional. Aku akui itu. Aku mempercayai semua yang kau katakan di balkon tadi.”Sylvia melangkah mundur dengan wajah bingung. “Aku tidak berbohong.”Grissham terus mendekat seolah Sylvia tidak mengatakan apa apa. “Aku percaya kau tidak merayu Eddy, aku percaya pria itu yang salah. Tapi mobil, adegan di balkon, taruhan...” Grissham tertawa keras dengan diwarnai rona kegetiran. “Aku beri tau, kau benar-benar mengelabuiku selama sesaat.”“Kau tahu tentang mobil itu,” Silvia berhenti bergerak dan meringis. Dia meneta
Daren Grissham tidak mau menatap ke arah Silvia. Wanita itu merasa mulutnya kering kerontang. Rahang Grissham mengeras sehingga bulu kuduk Sylvia berdiri. Itu bukan pria yang menatapnya tadi, yang seolah olah ia satu-satunya wanita di dunia ini. Sylvia bertanya tanya apa yang akan ia lakukan jika Grisham menang? Kemudian pikiran yang lebih buruk menghantamnya. Apa yang akan ia lakukan jika Eddy yang menang? Oh Tuhan...“Mr. Grissham memiliki stright flush, lima kartu urut dengan gambar yang sama,” sang Bandar mengumumkan dengan nada terkendali yang sempurna. “Mr. Eddenburg, mohon perlihatkan kartu Anda.”Sylvia melihat Eddy memucat, lelaki itu hampir terlihat bingung ketika bandar mengambil kartunya dan mengurutkannya. Sylvia merasakan dengungan ditelinga nya ketika ia menunggu. Ia bisa merasakan tatapan penasaran orang orang tertuju ke arahnya dan ia tau semburat samar memanaskan pipinya.Ketika sang bandar mengurutkan kartu Eddydalam barisan, suara penonton yang penasaran me
Serangkaian kejadian malam itu berputar di benak Daren Grissham seperti barisan bebek kayu di arena tembak pasar malam. Sosialita Sylvia Senders itu bertemu dengannya di bandara, tidak saja menginginkannya mengganti rugi sepatu yang katanya berharga ribuan pounds, ia juga telah membajak limousinnya, dan beberapa saat tadi, ia ingin agar Grissham mengalah kepada Eddy. Tatapannya yang mamandang penuh keganjilan kepadanya, apakah semua itu hanya untuk mengalihkan? Aku akan memberi wanita itu penghargaan, pikir Grissham geram. Karena jelas sekali Sylvia ahli dalam permainan ini. Perut Grissham seakan melilit dan kata bodoh memantul-mantul di pundaknya. Iya, ia berani bertaruh wanita itu sengaja mengalihkan perhatiannya demi permainan ini itu sudah pasti. Kemarahan bergejolak dalam dirinya, kemarahan--- karena ia telah dipermainkan.Benar-benar sebuah lelucon. Dan sayangnya, sekarang setelah ia berhasil mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, merekalah yang akan menjadi bahan tertawaan bu
"Apakah kau ingin berkencan dengannya?” tanya Grissham lagi.“Tentu saja tidak!” jawab Sylvia muak.Laki-laki di depannya bergerak gelisah dan tampak menjulang di atasnya.“Kalau begitu seharusnya kau tidak tersenyum kepada pria itu seperti yang kau lakukan sepanjang malam.”Sylvia menautkan alisnya. “Apa ada yang salah, toh aku hanya melakukan pekerjaanku.” “Kau telah memberi pria tua itu isyarat mengundang dengan senyummu yang menjanjikan.”Sylvia agak terkejut mendengar kalimat itu, jika ditanya ia akan mengatakan senyumnya sama sekali tidak berpengaruh kepada pria itu. Sylvia merasakan sentakan tak terduga, hasrat jauh di dalam tubuhnya. Ia tidak dapat menghentikan matanya untuk jatuh ke bibir Grissham sampai ke leher kekar pria itu. Sungguh tidak mungkin untuk tidak membayangkan bagaimana jika lelaki di depannya itu menyentuh bibirnya. Sylvia membayangkan Grissham adalah surgawi, seperti aroma tubuh lelaki di depannya itu.Grissham melangkah lebih dekat, menatapnya tajam kemudia
Satu sosok berdiri mematung berjarak beberapa meter dari mereka bergumam ogah-ogahan.Daren Grissham.Mendengar kalimat itu Eddy melepaskan cengkraman dan mendorong Sylvia ke samping. Wanita itu mendesah lega.“Wah, lihat siapa yang datang,” Eddy mengejek, “Kekasihmu tersayang.”Sylvia mengeluarkan suara pelan seakan tenggorokannya tercekik dan ia berharap kedua lelaki itu tidak mendengarnya. Hal terakhir yang ia butuhkan saat ini adalah Grissham mengetahui, ia membiarkan Eddy percaya tentang hubungan mereka.Sebenarnya Sylvia merasa kaget, jantungnya seakan melompat kegirangan, orang yang ada dalam pikirannya, yang diharapkan muncul saat itu juga dengan tiba-tiba betul-betul menampakkan diri. Entah dikarenakan insting atau apapun itu, hatinya dipenuhi bunga bermekaran.Iya tak habis pikir kenapa orang ini memicu ke luar hal terburuk dalam diri Silvia? Apakah malam ini sedang bulan purnama? Apakah ia akan berubah menjadi labu pada tengah malam?“Kaulah yang berbuat sesuatu, Pak tua.”
Daren Grissham menautkan alis nya ketika tatapanya terpaku pada pintu pribadi di mana Eddie dan Sylvia menghilang. Kembali ia mengatakan pada diri sendiri bahwa sosialita Sylvia itu bukan urusannya. Bukan tugasnya juga melindunginya, dan jika ia memang terlalu bodoh untuk melihat siapa sejatinya Eddy yang sebenarnya. Daren Grissham telah membulatkan tekad bertahun tahun yang lalu untuk tidak mau terlibat secara emosional dalam masalah apa pun, dan sungguh Sylvia tidak terlihat seperti tipe wanita yang membutuhkan perlindungan dari siapapun mungkin, terkecuali dirinya sendiri.Jadi, apakah Daren Grissham peduli tentang berhasil atau tidaknya lelaki tua itu menyelipkan tangan kebalik gaun Sylvia? Apa pedulinya jika Eddy mencium Sylvia? Memangnya dia peduli jika pria botak itu menjelajahi leher mulus wanita itu dengan cIumannya?Brengsek.“Pintu itu ke mana?” Grissham merasa geram. Seorang pelayan wanita yang baru ia tanya terkejut dan menatapnya.“Bar The Skylar Stakes dan balkon yang
Sebuah palu besar seakan memukul kepalanya, Sylvia mulai resah. Ia akan kembali dikukuhkan sebagai adik kecil keluarga Sanders yang berotak kosong. Si Gadis Nakal. Dan tidak ada orang lain yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.“Insiden?” tanya Sylvia lemas. Bertanya-tanya apakah pria itu mau mendengarkan jika ia memohon belas kasihan? Tapi kemudian dia teringat sikap dingin dan penghinaan pria itu di bandara. “Tidak ada yang perlu Anda kwatirkan,” ujar Grissham. Akhirnya melepaskan jasnya dan mengambil tempat duduk.Tentu saja ia tidak berniat menghubungi polisi. Tetapi merasakan tatapan Sylvia yang terlihat khawatir sepanjang malam merupakan hukuman yang cukup. Lelaki itu duduk bersandar di kursi berlapis beledu pada meja judi utama, dan meletakkan lengannya pada sandaran khusus. Ketegangan itu pasti membunuhnya, pikir Grissham. Ia merasa puas. Ia hampir menyiulkan lagu gembira waktu mendapati Sylvia terlihat limbung mau pingsan saat ia menyinggung tentang polisi.Di me
Sylvia berjalan menghampiri dengan perut menegang, ketika tatapan pria itu menyapu sekujur tubuhnya, kepercayaan dirinya menguap.Tepat di hadapan pria itu, dengan mata saling menatap, Sylvia membuka percakapan. “Maaf,” ia mulai terengah-engah, “tapi ruangan ini hanya untuk tamu undangan.”Tatapan datar pria itu menjelajahi wajahnya, lelaki itu tersenyum kecil. “Ah, wanita yang sepatunya rusak.”Jantung Sylvia berdebar keras sewaktu mendengar suara renyahnya. “Well, sebenarnya Anda tidak merusaknya.” Syvia tertawa canggung dan mulai gugup. “Itu kecelakaan. Dan Anda benar, saya seharusnya lebih memperhatikan kemana kaki saya berjalan.”“Anda sangat murah hati mengingat sayalah yang menabrak Anda,” jawab pria itu ramah. Terlalu ramah.Dia tahu tentang mobilnya, pikir Sylvia putus asa. Matanya menatap pria itu mencari tahu sebuah jawaban. Ia menyadari itu, sekujur tubuhnya merasa bersalah.Sylvia berharap wajahnya tidak berubah merah meskipun ia merasa seolah sedang ditempel pada bantal