Ponselku terlepas begitu saja dari tanganku, air mataku juga segera lolos. Buru-buru aku minta ijin untuk pulang cepat. Awalnya atasan ku tidak mengijinkan tapi aku terus memohon, hingga akhirnya ijin aku dapat meski atasan ku terpaksa memberinya. Sepanjang jalan ke rumah sakit pikiranku terus melayang, ayahku sudah sakit kini ibuku juga tak sadarkan diri. "Ya Tuhan lindungilah orang tuaku." Tak selang lama mobil yang membawaku tiba, segera aku membayar dan bergegas masuk. Aku menuju ruang UGD karena disanalah ibuku sekarang. "Dok bagaimana dengan ibu?" tanyaku dengan panik. "Pasien tidak kenapa-kenapa, hanya kelelahan dan syok saja. Saya sarankan pasien istirahat di rumah dulu." Kutatap ibuku yang kini masih memejamkan matanya. Aku perlahan mendekat lalu kugenggam tangan ibu dengan erat. "Ibu istirahat di rumah saja biar Amel yang menunggui ayah." Bisikku. Setelah ibu sadar, aku memintanya untuk pulang namun ibuku bersikeras tetap menunggu ayah hingga aku harus
Sepanjang malam aku menangis, sungguh rasa takut menggerogoti pikiranku. Selain susahnya mencari donor ginjal, biaya pencangkokan juga tidak sedikit, bagaimana aku dan ibuku mendapatkan uang sebanyak itu? Kartu BPJS ataupun Asuransi apa bisa mengcover semuanya? biaya masuk kemarin saja masih menunggu persetujuan asuransi ayah dan kini? arrgg aku harus bagaimana? Pikiranku sangat ramai bahkan untuk menutup mata aku tak bisa. Mas Raka mencoba menenangkan aku dengan mengatakan semua akan baik-bak saja. Tapi ucapan itu semakin membuat hatiku panas. "Bisa kamu bicara seperti itu Mas!" kata lalu bangkit menatapnya. "Lalu aku harus berkata apa?" Dia menatap aku dengan sendu. Kesedihan juga kudapati di matanya, aku akui dia juga syok dengan apa yang dokter katakan tapi semua ini juga gara-gara dia. Andaikan saja, kisahnya dengan Renata ditutup saat menikah denganku pasti semua akan baik-baik saja. "Semua masalah ini berawal dari kamu! karma ini kamu yang tanam tapi ke
Kebaikan Mas Daffa sudah membuat semua pihak curiga akan hubungan kami, anak yang ku kandung kini mungkin dikira adalah anak Mas Daffa. "Tidak Bu, mana mungkin Pak Daffa adalah suami saya." Ujarku dengan tersenyum. "Sikapnya padamu nggak normal Mel." Sahut atasanku. "Kami dulu teman baik saja Bu, sudah seperti adik dan Kakak." Untung alasanku membuat atasanku percaya. Sore itu aku dijemput Mas Raka, tak ingin energiku terkuras hanya karena debat dengannya aku pun langsung naik mobil tanpa banyak drama. Saat masuk mobil, Mas Raka terlihat senang terbukti dengan senyuman yang mengembang di pipinya. "Aku senang Mel kalo kamu menurut seperti ini." Ujarnya. Kelihatanya dia salah paham, siapa yang menurut? aku hanya tidak mau berdrama saja yang ujung-ujungnya menguras tenaga. Lebih baik energiku aku simpan untuk melihat keadaan ayah nanti. "Ayah bagaimana Mas?" Aku berharap ayahku baik-baik saja setelah cuci darah. Mas Raka terdiam, raut wajah senangnya sirna dan
Aku menghela nafas dalam-dalam akhirnya dia menyerah dan berhenti untuk mengejarku, tapi bagaimana dengan orang tuanya? Apakah mereka setuju? Argg, masa bodoh! biar saja itu menjadi urusan Mas Raka. "Baiklah nanti setelah anak ini lahir aku akan urus surat cerai kita." Ujarku tanpa menatapnya. "Baik Mel jika aku tidak bisa mengurusnya kamu yang urus tapi izinkan aku untuk bersamamu menemani ayah saat ini." Dia kembali menatapku nanar. Laki-laki ini membuat jiwa ibaku meronta, "Tapi bukanlah kamu sudah menemaniku beberapa hari ini?" Ujarku dengan menatapnya sinis. Menyadari sikapnya dia pun terkekeh, " Takutnya kamu marah dan meminta aku pergi Mel." Kemudian, tangannya menggenggam tanganku dengan bibir yang tersenyum senang. Terbesit rasa heran di benakku, apa rencananya? apa ini hanya akal-akalannya saja supaya aku bisa berada di dekatnya? Aku harus waspada, awas saja jika dia memiliki niat busuk. "Ya sudah aku lelah aku mau tidur." kataku lalu melepas genggaman t
"Semoga bisa." Sahut Mas Raka. Keadaan ibu yang masih syok membuat aku khawatir sehingga aku meminta ibu untuk istrahat di kamar VIP yang dibooking Mas Raka. "Ibu istirahat di kamar dulu ya." Bujukku. Awalnya ibu menolak tapi di sini kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, ayah juga masih belum boleh dijenguk. "Baiklah Mel." Ujar ibu. Setelah mengantar ibu aku dan Mas Raka kembali ke ruang ICU entah mengapa aku ingin selalu dekat dengan ayahku. Kami berdua membahas asuransi ayah kembali, aku cukup tahu jika tidak semua penyakit bisa dicover dengan asuransi itu. "Tenanglah Mel, aku yakin bisa. Kita cukup berdoa saja." Mas Raka selalu membujukku dengan kalimat itu sehingga membuat kekesalanku semakin menjadi, bagaimana aku bisa tenang! Segunung tagihan ada di depan mata jika saja asuransi itu ditolak! "Bagaimana aku bisa tenang Mas, jika asurasi itu ditolak apa kamu yang akan menanggung biaya ayah!" Aku sangat putus asa. Dia hanya diam, dan kediamannya itu aku anggap di
Mas Raka tersenyum menatapku, namun dibalik senyumnya aku justru melihat sesuatu yang lain. Matanya menyimpan kesedihan, raut wajahnya begitu sendu, ada apa? "Kamu kenapa sedih begitu Mas? apa tak suka ayah mendapatkan donor ginjal?" Seraut wajah kesal aku tunjukkan sekarang. "Mel kamu kok berpikiran seperti itu, Aku sangat senang ayah sembuh." Ucapnya lirih. Aku mencebirkan bibir, "Senang kok begitu ekspresinya gitu." Ujarku. Tatapannya semakin sendu, "Mel Mel, aku tak seburuk yang kamu kira, aku masih punya hati. Kalau aku tak sayang sama ayah mana mungkin aku disini." Ucapannya membuat aku menatapnya, lalu aku menghela nafas. Sudahlah mungkin aku yang terlalu berpikiran buruk padanya. "Ya udah nggak usah dibahas lagi." Aku berjalan menuju tempat tidurku, namun sebelumnya kuletakkan tasku di atas nakas terlebih dahulu. "Oh ya bukannya tadi kamu keluar Mas kenapa sudah kembali?" Kataku lalu merebahkan diri. "Urusannya sudah kelar jadi aku segera kembal
Mas Raka memejamkan mata, air matanya terlihat mengalir. Melihatnya aku ingin malah ingin menangis, "Mas sudah jangan drama disini, aku sudah sedih memikirkan ayah tolong jangan buat aku sedih dengan tangismu." Kuhapus air mataku, lalu menatapnya. "Mel boleh aku memeluk kamu?" Aku memggeleng, dia sudah buat drama jadi aku tidak mau memeluknya. "Nggak mau." Dia tersenyum kecut dan mengangguk, "Baik Mel, nggak mau juga nggak Papa tapi jangan cemberut." Ucapnya lembut. "Kamu drama soalnya Mas!" Masih dengan tatapan kesalku. "Ya sudah aku berangkat ya, jaga diri baik-baik. Semoga operasi ayah berjalan lancar dan ayah sembuh seperti sedia kala." Ujarnya dengan tersenyum. "Kalau misal aku belum kembali, tolong sampaikan maafku untuk anak kita Mel." Sambungnya. "Anak kita masih belum paham permintaan maaf." Sahutku masih dalam mode kesal. "Iya Mel." Usai berucap demikian, Mas Raka meninggakan aku dengan tatapan sendu membuat dadaku tiba-tiba sakit. Ada apa? Air mat
Sudah 3 jam berlalu namun lampu operasi masih terus menyala, Aku dan semua yang ada di sini semakin was-was takut hal buruk terjadi kepada ayahku. "Mel Kenapa operasinya lama sekali?" Ibuku sungguh ketakutan. Aku sendiri juga takut namun aku berusaha tenang, "Ibu biasanya operasi pencangkokan ginjal itu 2-5 jam." Untunglah aku sudah browsing sebelumnya jadi tahu perkiraan lamanya operasi pencangkokan ginjal. "Tapi ayah baik-baik saja kan Mel tidak akan terjadi apa-apa kan?" Ibu pun menangis. Aku hanya bisa berharap semua baik-baik saja, baik ayah maupun si pendonor ginjal untuk ayah. "Kita berdoa saja Bu." Bujukku. Entah berapa kali aku mondar-mandir di depan ruang operasi, sungguh aku sendiri juga takut. Satu jam kemudian kulihat lampu operasi telah padam, artinya operasi telah selesai. "Bagaimana operasinya dok?" saat dokter keluar aku langsung memberondongnya dengan pertanyaan. "Operasinya berhasil, tapi pasien kini masih belum sadarkan diri." Jawab Dokter dengan wajah lel
Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan