"Mas apa kamu akan terima jika tau aku selalu berbohong?" Aku bergumam sendiri. Mas Daffa begitu mengharapkanku sedangkan aku di sini terperangkap cinta mas Raka, keinginan orang tau serta harapan mertua. Apa yang harus aku katakan kepada Mas Daffa? Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Tak ingin pusing dengan aneka panggilan telepon aku memutuskan untuk mematikan ponselku, aku ingin tenang hari ini saja. Tepat pukul 06.00 pagi aku keluar kamar berjalan menyusuri koridor menuju kantin. Perutku yang semalam tidak terisi pagi ini terasa sangat perih. "Maafkan Mama Nak, telah buat kamu lapar." Sambil ku elus perut buncit ku ini. Ada rasa sesal karena tak memikirkan anak yang kukandung sama sekali sementara dia butuh asupan nutrisi untuk tumbuh. Karena masih sepi aku tak perlu antri untuk mendapatkan makanan, usai makan aku bergegas kembali ke kamar. Kulihat sejenak keadaan Mas Raka, aku berharap ada kabar lebih baik lagi. Sudah dua j
Aku yang tak kau tahu harus menjawab apa hanya bisa diam, tuntutan orang tua maupun mertua hingga balas budi yang harus aku lakukan menuntut aku untuk kembali ke mas Raka tapi aku tak memiliki keberanian mengungkapkan semua itu kepada Mas Daffa. "Mel, Kenapa diam saja?" Mas Daffa bertanya kembali. Aku tersenyum menatapnya tapi aku masih setia dengan diamku. Lalu kulihat Mas Daffa juga tersenyum, senyumnya kali ini mengundang rasa ibaku, aku dapat merasakan betapa kecewanya dia. "Diammu sudah menjawab semua, kamu tidak mungkin memilihku kan? Kamu akan kembali lagi ke suami kamu kan?" Mendengar penuturannya hatiku rasanya tercabik, Maafkan aku, sungguh aku tak bermaksud mengecewakan Mas Daffa hanya saja keadaan yang menuntut aku untuk kembali ke mas Raka. "Maafkan aku Mas, aku tak bisa menolak tuntutan mereka." Ucapku dengan menangis. Mas Daffa mengangguk paham, "Maafkan aku Mel yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika ayah kamu perlu pertolongan." Sahutnya dengan mata berkaca. Se
Mas Daffa terus saja mengucapkan kata-kata yang mengundang emosi, detak jantung Mas Raka terus meningkat. "Mas aku takut terjadi apa-apa dengannya." Aku sungguh was-was. Hingga hal mengejutkan terjadi, Mas Raka membuka matanya."Mas! Mas Raka membuka matanya!" Aku berteriak lalu memencet tombol. Mas. Daffa tersenyum sementara aku menatap Mas Raka yang masih lemah. "Mas." "Raka Raka, diancam dulu baru bangun kamu!" Ujar Mas Daffa. Beberapa saat kemudian rombongan dokter datang. Belum sampai dokter berada di bangsal mas Raka aku segera berteriak mengatakan jika mas Raka sudah bangun. "Dok mas Raka bangun!" Dokter segera memeriksa keadaan mas Raka, lalu beliau tersenyum. "Sungguh keajaiban, pasien telah melewati masa komanya dengan cepat." Kata dokter. Suster diperintahkan untuk menyuntik obat di infus mas Raka. "Keadaan pasien masih sangat lemah, jangan terlalu diajak bicata yang berat dulu." Selepas itu dokter keluar, sedangkan aku dan Mas Raka sama-sama menatap Mas Raka.
Tangan telunjukku menunjuk ke wajahnya dengan cemberut lalu segera tangan Mas Raka memegang telunjukku. "Baik, jika aku ingkar janji kamu bisa pergi dengan membawa anak kita," sahutnya dengan tersenyum. Air mataku keluar, akupun kembali jatuh dalam dekapannya."Aku sangat rindu." Bisik Mas Raka. Beginikah rasanya berada dalam dekapan seorang suami? nyaman sekali. Dua tahun berumah tangga dengannya inilah kali pertama aku merasakan kebahagiaan memiliki seorang suami."Kenapa baru sekarang kamu seperti ini Mas? kenapa nggak dari dulu kamu memperlakukan aku layaknya seorang istri?" Cicitku pelan. Air mataku semakin deras, ingatan-ingatan masa lalu menyeruak masuk, sakit hati serta rasa benci yang beberapa hari ini entah ke mana kini kembali hadir. Trauma diperlakukan dengan buruk, disakiti dengan poligami bahkan disandingkan dengan seorang madu terus bergejolak di dadaku. "Maafkan aku Sayang," ujarnya. Aku menarik tubuhku dari tubuhnya kemudian menatapnya nanar, "Gampang sekali k
"Biar saja lagipula Mama pasti paham kalau anaknya lagi kasmaran." Mas Raka pun tertawa.Lambat laun kulihat Mas Raka sudah mulai mengantuk mungkin pengaruh obat sudah bereaksi"Mas Kamu mengantuk ya?" Tanyaku sambil menatapnya lekat. Mas Raka menggeleng dia terus bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak mengantuk."Aku tidak mengantuk aku ingin bersamamu katanya." Katanya sambil menguap. Tak ingin mendebatnya, aku pun terus mengobrol hingga kulihat suamiku itu sudah tertidur."Tidur yang nyenyak ya, aku temenin Mama dulu." Ku elus pipinya lalu pergi. Ku langkahkan kaki ke sofa menemani Mama yang saat yang saat ini tengah menonton TV. "Raka sudah tidur?" Mata Mama mengarah ke bangsal Mas Raka. "Iya Ma mas Raka tidur." Segera aku bergabung bersama Mama lalu menonton siaran TV ya mama lihat.Seru-serunya menonton iklan muncul, Mama Mas Raka yang kesal ngedumel sendiri. "Gak enaknya nonton acara begini pasti banyak iklan." Gerutunya. Sungguh geli melihat tingkah mertuaku, jangank
"Lihat lah menantu kamu jeng sekarang sudah mulai kurang ajar!" kata Mama dengan tertawa."Nggak apa-apa Jeng, lagipula memang kita yang mengganggu kesenangan mereka," sahut ibu.Kami semua tertawa. Ucapan kedua wanita paruh baya ini benar-benar menggelikan. Melihat pemandangan seperti ini aku sungguh bahagia, anak saling mencintai, antar besan sangat akur sungguh indah sekali.Kebahagiaanku kini lengkap sudah rasanya Tuhan sudah kasihan padaku sehingga kali ini aku mendapatkan kebahagiaan yang begitu berlimpah.Suami mencintaiku, mertua mencintaiku, orang tua mencintaiku, semua mencintaiku. Terima kasih Tuhan atas anugerahnya.#####Pagi itu sebelum mas Raka pulang, dokter datang ke ruang inap kami. Dokter memberikan resep obat khusus untuk Mas Raka, selain itu beliau juga berpesan kepada kami."Satu ginjal sudah cukup menyaring darah tapi masih ada resiko jika tidak memperhatikan kesehatan ginjalnya. Batasi garam dan protein, olahraga teratur, jangan melakukan aktivitas berat ya P
Aku mengangguk, ribuan masalah yang kuhadapi membuat aku tidak pernah belajar seputar kehamilan hingga hal seperti ini saja aku tidak tahu. Sungguh aku merasa bersalah pada calon bayiku ini. “Jadi gimana sayang? Lanjut atau enggak?” Mas Raka melirikku. Anggukan kecil aku tunjukkan, jika untuk memperlancar jalan bayi apa salahnya aku bercinta? Lalu kulihat suamiku membalikkan badannya. “Yes.” Ucapnya. Senyumanku merekah, begitu bahagianya dia hingga membalikkan badan dan hore-hore dalam hati. Sesaat kemudian dia membalikkan badannya lagi, perlahan dia menidurkanku. Inilah malam pertama yang aku inginkan Mas bukan seperti saat kamu memaksaku. “Mas aku malu.” Kututup sebagian tubuhku dengan tangan ketika Mas Raka berhasil membuka resleting bajuku. “Ngapain malu sayang.” Kata Mas Raka. Mas Raka kini melepas satu-satu bajunya, melihatnya telanjang begini membuat salivaku tertelan kasar. Harus aku akui, dia memiliki tubuh yang indah dan kulit putih hanya saja
Hari berlalu dengan cepat, keadaan mas Raka sudah semakin membaik, tubuhnya yang kurus perlahan mulai terisi. Malam itu kami berada di balkon, Mas Raka terus menatapku membuat aku malu dibuatnya. "Mas kenapa sih, aku kan malu jika kamu terus menatapku." Protesku sambil mendorong wajahnya. "Begini ya rasanya jatuh cinta sama istri." Ujarnya lalu kembali menatapku. Mendengar gombalannya aku pun tertawa, "Alah gombal."Mas Raka justru mendekap tubuhku, "Aku tidak bergombal sayang tapi memang aku jatuh cinta padamu, bersamamu membuat aku bahagia." bisiknya. Tak hanya dia aku sebenarnya sama, setiap hari aku bahagia, dia sangat-sangat memperlakukan aku dengan baik. Oh inikah rasanya jatuh cinta??? "Aku juga Mas, tak kusangka cinta yang kamu bunuh perlahan kini bersemi dan tumbuh subur di hatiku." Aku melepas pelukannya. "Teruslah mencintaiku Sayang dan jangan berhenti sampai maut memisahkan kita." katanya. "Iya Mas." Karena udara malam semakin dingin kami memutuskan untuk masuk k
Di perjalanan pulang dari rumah Renata aku menghubungi Daniel, aku mengatakan jika Renata setuju menikah dengannya.Ternyata dia yang dingin itu langsung menelponku. "Kamu pasti berbohong." Kata itu yang aku dengar saat aku menerima panggilannya. "Terserah kamu percaya apa tidak," sahutku kesal.Pria itu kemudian mengajakku untuk bertemu di kantornya dia ingin membahas masalah Renata lebih lanjut lagi. Aku pun menyetujuinya lalu meminta sopir putar balik. Kini aku berada di ruangan Daniel, dia mengambilkan aku minuman dinginnya. "Minumlah!" Titahnya. Aku tahu pria ini sangat senang tapi entah mengapa wajahnya masih saja datar suaranya juga masih dingin sehingga membuat aku kesel sendiri. "Iya."Aku yang haus segera meminum minumannya sampai tandas. Grrrrkkk, aku malah sendawa dengan keras. "Ups maaf Pak Daniel." Kutatap pria itu. "Tak masalah." Ujar Daniel. "Lalu apa rencanamu?" tanyanya kemudian. Sejauh ini aku masih belum memiliki rencana untuk mereka namun karena Daniel s
Aku segera mengambil ponselku, lalu meletakkannya kembali."Dari siapa sayang? kenapa namanya kuda nil?" Mas Raka nampak bingung."Temanku," jawabku dengan was-was.Mas Raka tersenyum kemudian merangkulku, "Kamu tuh ya, seorang teman malah dinamai kuda nil." Mas Raka terlihat menggelengkan kepala."Habisnya badannya besar seperti kuda nil," sahutku sambil tertawa juga.Tak ingin Mas Raka tertanya lebih aku segera mengajaknya turun. Setelah makan kami di ajak mengobrol oleh Papa dan Mama."Ada apa Pa?" Tanya Mas Raka dengan tatapan heran. "Papa dengan omset menurun drastis, sana sini banyak rumor buruk, kinerja kamu itu gimana?" Pertanyaan Papa membuat Mas Raka menghela nafas, kutahu dia tidak akan menceritakan yang sesungguhnya kepada sang Papa. "Raka akan kerja keras lagi Pa." Hanya kata semangat itu yang dia ucapkan. Papa meminta Mas Raka untuk menjaga baik-baik hotel itu karena bagaimanapun juga itu hotel beliau rintis sejak muda. "Jangan sampai bangkrut Raka, Papa mohon." Te
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar