Lepas menemui Alin, Fatih pun pulang. Namun, hari sudah tak terang lagi. Sudah pukul sebelas malam. Sepeda motor telah ia matikan dan pintu gerbang ia tutup. Kebetulan satpam belum bisa masuk karena alasan sakit. Kedua alis Fatih hampir bertautan karena melihat rumah dalam keadaan sepi pun dengan gelap gulita. Fatih dengan langkah pelan mencoba masuk. Ia langsung merambat dinding dan menyalakan lampu.Namun, yang ia lihat seperti telah terjadi sesuatu. Barang pecah belah telah berserakan di lantai. Seisi ruang kepala langsung tertuju pada Rani. Fatih berlari mencari gadis itu ke kamar. Akan tetapi, setelah sampai sana ia juga tak menemukan sesuatu. "Ran!" Fatih panik. "Rani!" Sekali Fatih berteriak dan mencari semua sudut ruangan tetapi nihil.Fatih kebingungan dan ia sampai bergetar memegangi ponselnya.Fatih menghubungi salah seorang temannya untuk datang ke rumah dan mencari keberadaan Rani bersama dengannya.Lepas menunggu beberapa saat, datang seorang pemuda juga dengan usia s
"Alhamdulillah, udah masuk lagi. Aku kesepian enggak ada Mbak." Gadis berambut panjang itu mengulas senyuman bahagia. Saking bahagianya, ia sampai memeluk Rani dengan erat dan membuat sesak napas."Aduh!" Rani meringis menahan pelukan."Hehehe, maaf, Mbak! Aku saking kangennya." Gadis itu kembali mengayun senyuman. Mereka memasuki lift secara bersamaan. Hari ini terasa lain bagi Rani. Ia tidak begitu bersemangat. Semua berawal dari urusan pribadi yang tak menemukan ujung. Rani membenahi jilbabnya menatap cermin kaca jendela. Pekerjaan yang sudah menumpuk karena beberapa hari tidak masuk, Rani tak sempat makan di siang. Ia sengaja menolak ajakan Fita tadi. Seakan tak ada jeda waktu untuk istirahat, penyemangat Rani hanyalah dua wanita yang ia punya, Ibu dan adiknya. Pundak terasa panas dan pegal pun tak dirasa. Jemari cantik dengan kulit putih bersih terus menari di atas keyboard, Rani tak mengindahkan waktu. Sesekali mendesis karena kakinya yang masih sedikit perih."Ran?" Seseora
Rani menatap wanita itu dengan hati berdebar-debar. Selama menjalin kehidupan di dalam keluarga Fatih, baru kali ini dia bertatapan berdua saja dengan Dini. Wanita itu lantas duduk tanpa mengalihkan matanya dari wajah Rani yang memucat tiba-tiba."Aku ingin tanya satu hal denganmu." Dini mulai menarik napasnya lalu mengembus sebagai tanda dia sedang serius. "Apa kamu mencintai adikku--Fatih?" Rani mendongak. Ia bingung harus bilang apa. "Jawab saja dengan jujur. Tidak usah takut atau khawatir akan dikeluarkan dari perusahaan. Karena kau menikah dengannya hanya karena harta. Hanya karena ingin melunasi hutang Bapakmu yang menyusahkan kami. Ingat, harusnya kau dan Ibumu tau diri.""Maaf, saya hanya mengikuti permintaan Om Bram. Beliau sudah sangat berjasa pada kami. Lagipula, kami semua menginginkan Fatih kembali dekat dengan Papanya. Dia hanya terjebak dalam ego-nya sendiri." Rani tak peduli andai ada yang mendengar percakapan mereka. Ia bahkan tak memikirkan perasaannya sendiri."K
Rani duduk di ruang makan dengan mengaduk sereal di mangkuknya. Berhadapan dengan Fatih yang sejak tadi diam saja. Selang seling bergantian mereka saling melirik. Bingung ingin mengatakan apa.Kala diam mereka, terdengar bel dari pintu utama. Mereka menoleh. Fatih berdiri ingin membuka pintu tetapi Rani melarangnya. "Biar aku aja." Fatih urung. Ia duduk lagi dan menyantap sarapan yang dibuatkan oleh gadis itu. "Iya, cari siapa?" Saat Rani membuka pintu, muncul wajah wanita tempo lalu. Wanita yang membuat hatinya hancur kala mendapati Fatih berduaan dengannya."Fatih mana? Aku ingin bertemu dia," ucap Alin dengan wajah angkuhnya. Ia tak mau tahu siapa yang tengah berhadapan dengannya."Fatih masih sibuk. Untuk apa kamu mencarinya?" Rani tak mengizinkan wanita itu masuk. Ia menutup kembali pintu dan tubuh Rani keluar sempurna.Rani menguatkan dirinya sendiri. Ia tak boleh takut, apalagi minder lagi setelah mengetahui Fatih juga memiliki perasaan padanya. "Katakan padanya aku menungg
"Maaf, Bu. Kami tidak pacaran. Kami sedang diskusi. Lagipula ini masih ada sisa jam istirahat." Rani menjawab dengan tegas. Setelah sempat bicara berdua dengan wanita itu beberapa saat lalu, kini ia tak takut lagi."Apakah kamu tidak pernah diajari sopan santun dengan atasan? Bicaramu lancang sekali." Dini membalik badan dan pergi dari sana. Saat wanita itu sudah tak tampak lagi, pundak Rani luruh. Ia menghela napas panjang dan semakin ingin keluar dari kantor itu. "Sabar, Ran! Kalau kamu mau, aku bisa Carikan kerjaan lain. Kamu bisa tenang tanpa setiap hari bertemu dengan mereka." Pria itu tersenyum manis. Ketulusan yang ia tujukan mengubah cara pandang Rani. "Makasih banyak, Mas. Aku akan coba pikirkan rencana ke depan. Aku ingin pulang ke rumah Ibu. Tapi, masih berat karena sudah janji dengan Om Bram. Akan membantu Fatih berubah." "Oke, kalau begitu. Aku hanya bisa bantu sedikit, jika kamu berkenan jangan sungkan bilang sama aku."Mereka beriringan melangkah menuju ruangan masi
"Jawab dulu, kita ada di mana ini? Kenapa hanya aku dan kamu?" Fatih memaksa. Dia terus mencekal tangan Rani, tak mengizinkan ia pergi."Lepasin, Fatih! Kamu sudah terlampau jauh. Maka dari itu, aku dan Roy membawamu ke sini. Lagipula, aku sudah bilang sama Papamu untuk sementara Waktu tidak tinggal di sana." Sebenarnya, Rani tengah menahan hawa panas di dadanya, tetapi ia harus berkata jujur. "Jadi ... ini di rumah Roy? Kenapa kamu mengajakku ke sini?" Rani mengernyit. Ia heran dengan Fatih yang terlalu plin-plan. Lelah menjelaskan, Rani lantas pergi ke luar kamar.Fatih pun segera masuk ke kamar mandi. Ia melihat handuk dan pakainnya sudah siap di sana. Ia menghela napas. Tidak sepenuhnya menyalahkan Rani, ia tahu Rani melakukan semua itu untuknya. Rani benar-benar berperan menjadi istri. Namun, Fatih merasa dirinya sulit untuk menjadi suami gadis itu. Ia belum siap dan entah sampai kapan. Perih di hati kembali menganga ketika mengingat kejadian kemarin siang. Kedekatan antara ga
Rani mendesis perih disertai rasa dingin yang mulai mendominasi. Fatih menutup kembali bagian yang terekspos. Ia segera berdiri dan meninggalkan Rani lagi. Di saat, Rani ingin mendapat sejumput perhatian, fatih selalu menghindar. Meski rasa malu masih tampak pada diri gadis itu, sejatinya ia ingin berlama-lama di dekat Fatih.Rani membenamkan diridi dalam selimut. Bukan hanya dirinya, tetapi hatinya juga. Ia memendam perasaan yang tak mampu tertuang di hadapan pria itu. Kepada siapa lagi ia harus bercerita, selain kepada Ibunya. Rani segera menelpon Erika dan bertanya kabar. Basa-basi itu mudah sekali terbaca oleh Erika. Wanita tua yang seumuran dengan Bram itu banyak memberikan nasihat agar Rani bertahan. Erika tak ingin putri bungsunya gegabah dalam mengambil tindakan. "Makasih, Bu. Rani ... sebenarnya ingin pulang. Tapi ...."Pembicaraan yang singkat itu ternyata didengar oleh Fatih dari balik dinding. Siapkan tanpa suara itupun membuat Fatih tak bisa mencegah obrolan antara anak
"Fatih, em ...." Rani mendadak bimbang. Ia ingin mengutarakan keinginannya tetapi sungkan. "Apa?" Lirikan mata elang itu membuat Rani semakin takut mengungkapkan niatnya."CK. Cepetan bilang! Atau aku enggak mau dengar," ancam pria itu sambil menutup lagi buku bacaannya. Fatih mulai lelah menunggu dan berdiri setelah beberapa saat duduk di sofa kamar."Em." Gadis itu masih memainkan jemarinya. "Boleh, enggak kalau Anggi ikut tinggal di sini? Aku ... enggak enak perempuan sendiri di sini. Atau, aku pulang aja ke rumah Ibu. " Fatih mengerutkan keningnya. "Bahaya di sana. Nanti kalau penculik kamu datang lagi gimana? Di sana tidak ada laki-laki. Siapa yang akan menolong nanti?" Rani membenarkan ucapan pria itu. Ia diam membisu setelah tak mampu menampik saran Fatih. Fatih menghela napas dalam-dalam. "Kalau kamu rindu dengan Ibu dan adikmu, aku akan antar nanti sore. Kita menginap di sana. Tapi, hanya sehari saja, aku tak mau terus-terusan satu atap dengan mereka." Fatih keluar kamar.
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
"Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara
Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.
Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela
"Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t