"Maaf, Bu. Kami tidak pacaran. Kami sedang diskusi. Lagipula ini masih ada sisa jam istirahat." Rani menjawab dengan tegas. Setelah sempat bicara berdua dengan wanita itu beberapa saat lalu, kini ia tak takut lagi."Apakah kamu tidak pernah diajari sopan santun dengan atasan? Bicaramu lancang sekali." Dini membalik badan dan pergi dari sana. Saat wanita itu sudah tak tampak lagi, pundak Rani luruh. Ia menghela napas panjang dan semakin ingin keluar dari kantor itu. "Sabar, Ran! Kalau kamu mau, aku bisa Carikan kerjaan lain. Kamu bisa tenang tanpa setiap hari bertemu dengan mereka." Pria itu tersenyum manis. Ketulusan yang ia tujukan mengubah cara pandang Rani. "Makasih banyak, Mas. Aku akan coba pikirkan rencana ke depan. Aku ingin pulang ke rumah Ibu. Tapi, masih berat karena sudah janji dengan Om Bram. Akan membantu Fatih berubah." "Oke, kalau begitu. Aku hanya bisa bantu sedikit, jika kamu berkenan jangan sungkan bilang sama aku."Mereka beriringan melangkah menuju ruangan masi
"Jawab dulu, kita ada di mana ini? Kenapa hanya aku dan kamu?" Fatih memaksa. Dia terus mencekal tangan Rani, tak mengizinkan ia pergi."Lepasin, Fatih! Kamu sudah terlampau jauh. Maka dari itu, aku dan Roy membawamu ke sini. Lagipula, aku sudah bilang sama Papamu untuk sementara Waktu tidak tinggal di sana." Sebenarnya, Rani tengah menahan hawa panas di dadanya, tetapi ia harus berkata jujur. "Jadi ... ini di rumah Roy? Kenapa kamu mengajakku ke sini?" Rani mengernyit. Ia heran dengan Fatih yang terlalu plin-plan. Lelah menjelaskan, Rani lantas pergi ke luar kamar.Fatih pun segera masuk ke kamar mandi. Ia melihat handuk dan pakainnya sudah siap di sana. Ia menghela napas. Tidak sepenuhnya menyalahkan Rani, ia tahu Rani melakukan semua itu untuknya. Rani benar-benar berperan menjadi istri. Namun, Fatih merasa dirinya sulit untuk menjadi suami gadis itu. Ia belum siap dan entah sampai kapan. Perih di hati kembali menganga ketika mengingat kejadian kemarin siang. Kedekatan antara ga
Rani mendesis perih disertai rasa dingin yang mulai mendominasi. Fatih menutup kembali bagian yang terekspos. Ia segera berdiri dan meninggalkan Rani lagi. Di saat, Rani ingin mendapat sejumput perhatian, fatih selalu menghindar. Meski rasa malu masih tampak pada diri gadis itu, sejatinya ia ingin berlama-lama di dekat Fatih.Rani membenamkan diridi dalam selimut. Bukan hanya dirinya, tetapi hatinya juga. Ia memendam perasaan yang tak mampu tertuang di hadapan pria itu. Kepada siapa lagi ia harus bercerita, selain kepada Ibunya. Rani segera menelpon Erika dan bertanya kabar. Basa-basi itu mudah sekali terbaca oleh Erika. Wanita tua yang seumuran dengan Bram itu banyak memberikan nasihat agar Rani bertahan. Erika tak ingin putri bungsunya gegabah dalam mengambil tindakan. "Makasih, Bu. Rani ... sebenarnya ingin pulang. Tapi ...."Pembicaraan yang singkat itu ternyata didengar oleh Fatih dari balik dinding. Siapkan tanpa suara itupun membuat Fatih tak bisa mencegah obrolan antara anak
"Fatih, em ...." Rani mendadak bimbang. Ia ingin mengutarakan keinginannya tetapi sungkan. "Apa?" Lirikan mata elang itu membuat Rani semakin takut mengungkapkan niatnya."CK. Cepetan bilang! Atau aku enggak mau dengar," ancam pria itu sambil menutup lagi buku bacaannya. Fatih mulai lelah menunggu dan berdiri setelah beberapa saat duduk di sofa kamar."Em." Gadis itu masih memainkan jemarinya. "Boleh, enggak kalau Anggi ikut tinggal di sini? Aku ... enggak enak perempuan sendiri di sini. Atau, aku pulang aja ke rumah Ibu. " Fatih mengerutkan keningnya. "Bahaya di sana. Nanti kalau penculik kamu datang lagi gimana? Di sana tidak ada laki-laki. Siapa yang akan menolong nanti?" Rani membenarkan ucapan pria itu. Ia diam membisu setelah tak mampu menampik saran Fatih. Fatih menghela napas dalam-dalam. "Kalau kamu rindu dengan Ibu dan adikmu, aku akan antar nanti sore. Kita menginap di sana. Tapi, hanya sehari saja, aku tak mau terus-terusan satu atap dengan mereka." Fatih keluar kamar.
"Aku tak ada waktu untuk menjawab semua itu." Fatih yang baru saja menutup map berisi berkas-berkas penting harus mendengarkan ucapan kakaknya dulu sebelum beranjak dari kursinya."Jangan bilang kau sudah mulai cinta dengannya. Apa kau lupa dengan ucapan Papa ketika hinaan yang lolos dari mulutnya itu? Kau akan datang padanya ketika uangmu habis." Dini mengulas senyum miring. "Itu urusanku dengan dia. Aku berdiri di sini bukan untuk siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Aku juga tak peduli jika Papa masih menghina di belakangku. Semua itu akan ada balasannya." Fatih menghentakkan kumoulang berkas di tangannya dan membentur menja. Ia segera meninggalkan tempat itu.Kesal dengan sikap Fatih, Dini meremas tangannya sendiri. Ia tak bisa melihat Fatih bertahan di tahtanya. Wanita dengan blazer orange itu kembali pergi ke ruangannya.Fatih berjalan keluar kantor. Tepatnya, berdiri di antara pavingan yang sedikit ditumbuhi rumput hijau. Pemandangan segar di taman samping itu membuatnya menata
"Biar aku saja yang buka. Lagipula, hujan-hujan begini siapa malam-malam, yang datang?" Arfan mendorong kursi dengan kakinya ke belakang. Ia membenahi kemeja tiga perempatnya lalu memutar kunci pintu.Saat dibuka, kedua matanya terlihat melebar. "Fatih?" Fatih juga terkejut. Ia tak melihat tadi jika di depan sana ada mobil Arfan. Ke mana lagi Rani tak pulang selain ke rumah orangtuanya."Ada apa, Fatih?" tanya Arfan. Masih membiarkan Fatih berdiri di luar sana."Harusnya aku yang tanya, ngapain kamu ada di sini? Satu atap di rumah istri orang, malam-malam lagi." Fatih menarik ekor matanya menatap ke lain arah."Aku tadi habis mengantar Rani. Kehujanan juga, dan diajak makan malam sekalian dengan keluarga ini. Keluarga yang sangat menghargaiku meski aku bukan suami Rani." Seperti tak pernah takut dengan sikap arogan Fatih, Arfan memang ingin membenturkan ego dari suami gadis yang ia sukai."Lebih baik kamu pulang! Atau penduduk akan mengira kalian kumpul kebo. Sekarang, di mana Rani?!
"Baju siapa aja terserah aku mau nyuciin punya siapa juga bukan masalah kamu, kan?" Rani hendak melangkah tetapi tangan Fatih mencegah dengan kilatnya. Cengkeraman bagai elang itu membuat denyut nadi seperti tersumbat."Ya, enggak bisa gitu lah! Gimana nanti kalau Papa tau?!" katus Fatih lagi. "Bukan urusan aku! Lagian aku tinggal bilang aja itu bajunya Mas Arfan. Gitu aja, kok, repot!" Rani membalik badan lagi dan buru-buru pergi tetapi lagi-lagi Fatih mendapatkannya. Kali ini, bukan hanya tangan yang sampai pada pemuda itu melainkan tubuh Rani terpental pada dada bidang yang masih terlihat aliran bening nan dingin.Sesaat, Rani merasakan sesuatu. Bumi seakan menghimpit mereka berdua. Sampai-sampai, Rani merasakan debaran yang ia rasakan lewat punggungnya. Fatih yang terpaku juga, sekarang tak bisa berkata-kata lagi. Mendadak bibirnya terkalahkan oleh rasa yang belum pernah melewati relung hatinya. Rani mencoba bergerak melepas dekapan lengan kekar itu. Pria dengan tubuh atletisny
Bram menatap awan yang bergumul dengan bayangan seorang wanita. Pernikahan tak bertahan hingga napas terakhir, saling mempertahankan ego masing-masing. Dirinya dan Melania sudah melewati hidup bersama bukan setahun dua tahun melainkan puluhan tahun. Mereka terlepas oleh sebuah takdir yang memang menjadi bagian yang harus dilewati.Di balik pot-pot bunga itu, pria matang dengan wajah yang masih tampak segar terus merenungi kesalahannya. Cara mendidik yang memang kurang perhatiannya, membuat Fatih cemburu. Apalagi ketika Mamanya pun lebih mementingkan karir. Tidak ada yang Bram salahkan selain dirinya sendiri. Pria itu mengusap wajahnya penuh penyesalan. "Sedang apa di sini, Pa?" Rani mengambil posisi di sebelah pria itu yang duduk pada kursi yang menatap taman."Eh, kamu, Ran? Papa cuman mau menghirup udara segar saja. Cuman ingin menatap rindangnya taman ini. Mumpung udara panas, di sini cukup segar daripada AC ruangan.""Iya, Pa. Tapi, ngomong-ngomong apa Fatih ada bilang sesuatu?"
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
"Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara
Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.
Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela
"Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t