Jingga di ujung senja membuat hati Rani semakin nelangsa. Semua barang miliknya telah terlempar keluar dari rumah beserta Ibunya yang tengah tersedu tepat di depan pagar bertuliskan 'Disita'. Rani baru saja sampai dan mendapati Ibunya dengan memar di pipi serta tangis pilu. Wajah keriput Erika membuat Rani langsung menghambur dalam pelukan wanita itu. Sekarang, sedetik pun Rani berjanji tak akan meninggalkan Ibunya lagi."Maafkan Rani, Bu." Gadis itu mengusap wajahnya setelah melepas pelukan. "Tidak usah takut lagi, Bu! Rani sudah di sini. Rani akan jagain Ibu." Gadis itu terus menguatkan Erika. Wanita tua yang baru saja mendapat perlakuan tak enak oleh dua lelaki berbadan kekar. Sayang, sampai di sana Rani hanya melihat Ibunya saja.Gadis mungil yang kini tumbuh dewasa itu bersumpah dalam hati. Jika ia bertemu dengan para rentenir yang tak punya hati itu, ia akan memberinya pelajaran karena telah menyakiti Erika."Ibu enggak apa-apa?" tanya Arfan. Yang sejak tadi masih tercengang me
Rani benar-benar menarik keras pakaian kebanggaan lelaki berwajah muram itu. Hingga Fatih hampir saja terjungkal ke belakang. Rani sudah tak bisa sabar lagi mendengar setiap umpatan Fatih sejak pertama Bramantyo menyatakan niatnya menikahi sang Ibu."Apa sih maumu sebenarnya?" bentak Fatih. Hingga beberapa karyawan dan karyawati berdiri menyaksikan dua anak manusia itu bertengkar. Fatih memang berwajah tampan, tetapi sifatnya sangat jauh berbeda dengan fisiknya."Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu! Sekali lagi kau sebut Ibuku dengan sebutan seperti tadi, kupastikan kau akan menyesal!" ancam Rani. Gemeretuk gigi Rani bisa terdengar hingga ke telinga Fatih.Melihat Rani yang menyeringai tajam, Fatih tak mau kalah. Lelaki berhidung bangir itu mengayun langkahnya semakin maju. Membuat Rani terbelalak. Fatih telah membuat gadis itu terpojok di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan wajahnya hampir bersentuhan kulit hidung Rani. "Jangan harap kau akan tenang kerja di sini! Sebentar lagi
"Mas Arfan, bukan? Ya Allah." Rani terkejut setelah lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. "Iya, Ran. Ini aku, Arfan." Pemuda tampan dengan segudang prestasi itu mengulum senyuman. Membuat Bram tercengang. "Kalian sudah saling kenal?" Bram menunjuk dengan jarinya pada mereka secara bergantian. "Iya, Om. Saya dan Rani satu kampus dulu. Dalam hati Arfan, ia memang sengaja pindah kantor karena tahu kalau Rani bekerja pada Bram, sahabat Papanya."Wah, saya yakin perusahaan ini akan semakin maju dengan adanya kalian." Kedua mata Bram berbinar-binar. Tak salah ia mengajak Rani dan Arfan bekerja di sana. Bram mengajak mereka makan siang mewah. Sebagai acara penyambutan mereka berdua. Dalam hati lelaki itu, sebenarnya ia teringat dengan Fatih. Andai, Fatih seperti Arfan atau Rani yang mudah diatur dan menerima keadaan. Pasti Bram akan menjadi orangtua paling bahagia."Oiya, Om, gimana Fatih? Apakah dia juga bergabung di perusahaan Om?" tanya Arfan di sela-sela menikmati jamuan siang. Meat
Dengan hati perih, Fatih dan dua orang di belakangnya membuka pintu ruangan tempat Bram terkulai tak berdaya. Selang infus serta cup oksigen telah menempel pada bagian tubuhnya. Bram masih belum sadarkan diri.Fatih segera mendekat dan menatap setiap jengkal tubuh lelaki yang telah menyebabkan ia terlahir di dunia ini. Saat seperti ini, pemuda itu menyesali semua perbuatannya. Ia terduduk di samping ranjang rumah sakit dengan bibir mengatup rapat."Sabar, Fatih!" Rani menyentuh pundak lelaki itu. Fatih tak menjawab. Pikirannya masih bergulat tentang sebab-sebab Bram terbujur di sana.Lepas beberapa detik berlalu, Bram menunjukkan gerakan lewat tangannya. Napasnya juga terdengar berat membuat Fatih segera beranjak dari kursi. Bram telah melewati masa kritis."Pa," panggil Fatih seraya menyentuh tangan Papanya.Rani dan Arfan pun sontak mendekat. "Papa," panggil Fatih lagi. Ia tak sabar ingin melihat Bram membuka mata. "Fatih." Bram mengeratkan genggaman tangan putranya. Suasana beru
Pemandangan laut lepas membentang di hadapan gadis cantik itu. Ia seperti orang kebingungan karena mencari keberadaan Fatih yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sudah beberapa menit berlalu, sejauh hamparan pasir di depan mata Rani, Fatih nihil tak ditemukan."Fatih, jangan mulai membuatku repot dan kehilangan waktuku!" gumam Rani seraya pasrah dan duduk menyandar pohon kelapa dan menatap laut biru yang menggulung ombak, menerpa karang.Di belakang sana, tepatnya di kursi kayu dengan kaki bertopang, Fatih menyeringai puas. Satu sudut bibirnya terangkat bersorak dalam hati. Ia mulai berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, lalu mendekati gadis muda yang telah menunggunya sejak tadi.Rani masih mencari sosok yang membuatnya bimbang, awan mulai bergumul membentuk kepalan hitam. Ia khawatir jika badai akan datang. Angin pun seakan tak mau tenang, menerbangkan jilbabnya ke sana ke mari."Heh!" Fatih membuat Rani terkejut. Gadis itu mengguncangkan bahu yang menjiplak k
Benda persegi panjang dengan layar menyala menampilkan gambar-gambar design milik Rani. Tercatat ratusan design yang telah mendapat persetujuan perusahaan. Design-design itu rencananya akan dibuat bahan meeting dan pengajuan kerja sama. Rani segera menyimpan semua file pada flashdisk yang telah disiapkan sejak dari Jakarta."Mbak, enggak tidur?" Fita yang sudah merebahkan diri sejak tadi, kini membuka mata lagi karena merasakan tenggorokan yang kering. Gadis itu pun segera bangkit dan berjalan sempoyongan bak orang mabuk menuju tempat air minum."Aku enggak bisa tidur, Fit." Masih dengan tatapan pada laptop, Rani menjawab. Tangannya masih menari di atas keyboard, lalu Fita ikut duduk di sebelahnya. Memahami setiap perkataan Rani agar ia tidak kagok besok.*Semburat mentari pagi membuat dua raga melangkah cepat. Mondar-mandir mencari pakaian dan menata berkas, mereka terlihat kalang kabut meski semalam sudah disiapkan, tetapi mereka tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Mereka harus
"Fatih!" Suara Rani memekik. "Apa-apaan kamu?" Rani yang hendak mencari kembali liontin yang telah lenyap entah ke mana langsung dicegah oleh Fatih. "Dasar wanita tak tau malu! Kemarin kau menggoda Papaku, sekarang kau menggoda bawahannya? Lantas, setelah ini siapa lagi? Aku?" Seringai mengejek itu selalu mengikuti setiap ucapan Fatih. "Bukan urusan kamu!" Saat Rani terus menjawab, Arfan mencoba melerai. Pemuda yang lebih tua dari Fatih itu tak ingin mereka menjadi bahan perhatian para pengunjung. Rani melepaskan tangan Arfan yang menyentuhnya. Napasnya tersengal hanya dengan satu kalimat saja. Namun, di dalam dada sana ia menyimpan ribuan kata yang tak mampu terlontar."Sudahlah, Ran! Kita tidak perlu berlelah-lelah meladeni dia. Apakah kamu lupa, Om Bram sendiri yang mengatakan kalau dia itu ...." Arfan sengaja menyudahi kalimatnya. Ia rela Rani mengalami tekanan terus menerus. Apalagi, semua itu karena ulah Fatih.Bibir mengatup, Fatih seketika melangkah dan menantang dengan dada
Fatih membalik badan. "Ran!" Ia melihat Rani tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Wajah yang menoleh kanan kiri itu memastikan bantuan. Dengan segala daya yang ia miliki, Fatih mengangkat tubuh kurus Rani dan membawanya kembali ke hotel. Arfan sudah tak terlihat lagi di dalam kamar. Fatih lantas meletakkan Rani di atas ranjang. Namun, saat memastikan sekelilingnya, Fatih tak menemukan barang-barang Arfan tak terlihat lagi. Koper sedang yang tadi pagi masih teronggok di sudut ruangan, kini bersih tanpa jejak. Fatih segera menuang air dalam gelas. Ia mencipratkan pada wajah Rani. Rani masih diam tak juga sadar juga, membuat Fatih semakin gelisah, sungguh ini keadaan di luar bayangannya. Ada apa dengan gadis itu?Fatih sudah mencoba menghubungi Papanya, tetapi tidak diangkat. Akhirnya, hanya sebuah kepasrahan yang mampu ia perbuat. Menunggu Rani hingga sadar. Selain itu, pekerjaan kantor yang baru saja disepakati tadi pagi, ia cek kembali di sofa dalam ruangan itu.Keputusan yang te
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
"Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara
Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.
Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela
"Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t