Jingga di ujung senja membuat hati Rani semakin nelangsa. Semua barang miliknya telah terlempar keluar dari rumah beserta Ibunya yang tengah tersedu tepat di depan pagar bertuliskan 'Disita'.
Rani baru saja sampai dan mendapati Ibunya dengan memar di pipi serta tangis pilu. Wajah keriput Erika membuat Rani langsung menghambur dalam pelukan wanita itu. Sekarang, sedetik pun Rani berjanji tak akan meninggalkan Ibunya lagi."Maafkan Rani, Bu." Gadis itu mengusap wajahnya setelah melepas pelukan. "Tidak usah takut lagi, Bu! Rani sudah di sini. Rani akan jagain Ibu." Gadis itu terus menguatkan Erika. Wanita tua yang baru saja mendapat perlakuan tak enak oleh dua lelaki berbadan kekar. Sayang, sampai di sana Rani hanya melihat Ibunya saja.Gadis mungil yang kini tumbuh dewasa itu bersumpah dalam hati. Jika ia bertemu dengan para rentenir yang tak punya hati itu, ia akan memberinya pelajaran karena telah menyakiti Erika."Ibu enggak apa-apa?" tanya Arfan. Yang sejak tadi masih tercengang melihat keadaan Erika. Ia prihatin dengan orangtua Rani karena kabarnya Erika mengalami sesak napas paska meninggalkannya sang suami. Apalagi setelah mendapat perlakuan kejam dari para rentenir."Tidak apa-apa, Nak." Erika memaksa bibirnya tersenyum. Meski perih menyiksa batinnya. "Bu, sabar, ya! Kita cari kontrakan saja. Lepas ini, Rani akan cari pekerjaan. Biar bisa buat bayar tempat tinggal dan kuliah." Rani kembali terisak. Dua wanita itu masih saling berpelukan. "Ran, aku akan bilang sama orangtuaku agar kalian bisa tinggal di sana sementara waktu. Kalian tidak usah khawatir," ucap Arfan. Hanya itu yang mampu ia lakukan. Sayang, dia juga belum kerja."Tidak, Mas. Aku akan cari kontrakan saja. Ibu adalah tanggung jawabku. Kami tidak ingin lagi merepotkan siapa pun," balas Rani. Sebagai anak perempuan pertama, pundaknya sudah sekuat baja, tekatnya sudah bulat apalagi prinsip hidup yang tak pernah karang."Hanya sementara waktu, Ran. Sampai kamu gajian pertama paling tidak." Arfan masih mencoba membujuk. Ia tak ingin terjadi apa-apa lagi dengan Rani, gadis yang diam-diam mendiami ceruk di hatinya."Terima kasih, Mas. Mas Arfan sudah banyak membantu saya. Kali ini saja saya akan berusaha sendiri. Tolong, Mas Arfan mengerti." Rani begitu yakin dirinya akan mampu menjalani semua ujian.Arfan hanya bisa menghela napas pasrah. Gadis tangguh seperti Rani tidak mungkin akan terus dalam posisi lemah. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya menyedihkan, tetapi dalam benak Arfan, Rani adalah sosok yang kuat dan tahan banting meski dia terlihat polos. "Baiklah, Ran. Aku akan menghargai keputusan yang telah kau ambil. Tapi, jika kau dalam keadaan benar-benar mendesak, jangan sungkan untuk bilang dan meminta bantuan padaku." Arfan tersenyum. Ia bangga dengan Rani. Gadis itu semakin membuatnya kagum.Di samping itu, Fatih masih terus mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Dari dalam mobilnya, dia hanya bisa bergeming. Tak ada yang bisa ia lakukan. Hari berganti hari, Rani mendapat pekerjaan di sebuah kafe. Kerja paruh waktunya dimulai setelah pulang kuliah. Gadis itu tampak bersemangat. Gerakan tangannya lincah, celemeknya selalu bersih. Ia tampak ahli dalam bidang tersebut. Hingga sang manajer kagum dengannya."Rani? Kamu Rani?" Sebuah panggilan tertuju padanya saat tengah membersihkan meja bekas pakai pelanggan. Gadis dengan topi hitam dan seragam khas kafe tersebut menoleh. Ia kaget karena tepat di belakangnya Bram berdiri dengan seorang lelaki yang ia tebak adalah rekan kerja lelaki itu."Eh, Om. Iya, ini Rani." Gadis itu menunduk sopan. Mempersilakan dua lelaki itu duduk di sana. Ia segera memberikan buku menu dan menunggu pesanan dari mereka."Ran, kamu sekarang kerja, Nak? Kenapa kamu tidak mengabari saya? Kamu masih tinggal di tempat yang sama?" Bram mewanti-wanti keadaan Rani dan Ibunya. Pasalnya, ia tahu betul bagaimana kehidupan dua wanita itu. Tubuh Rani bergetar seketika. Lidahnya mendadak kelu, pikirannya melayang. Teringat Erika yang menunggu di rumah. Akan tetapi, ia juga takut dan sungkan mengatakan keadaan sebenarnya pada Bram."Ran, kamu baik-baik saja, kan? Bagaimana dengan keadaan Ibumu?" Bram gelisah melihat wajah Rani yang tiba-tiba berubah tegang."Ba ... baik, Om. Ibu sehat di rumah," balas Rani setelah Bram menyenggol lengannya. "Ya, sudah. Setelah kamu wisuda nanti, bersiaplah! Kau akan kerja di tempat saya. Jika kalian enggan menerima bantuan dari saya, bekerjalah. Tetapi, di kantor saya. Jangan biarkan kelak Om akan menanggung beban berat di akhirat karena tidak menjalankan amanah Bapakmu."Bram sudah mantap dengan keputusannya. Ia tidak akan mencegah Rani untuk bekerja saat ini. Ia tahu, wanita jika sudah mempunyai tekat yang kuat, dia akan bersungguh-sungguh dengan apa yang ia inginkan. "Terima kasih, Om. Insyaallah, jika sudah waktunya nanti." Sedikit angin segar masuk ke dalam rongga paru-parunya. Bekerja di kantor Bram akan mendapat penghasilan yang lumayan dibanding dengan cafe kecil seperti tempatnya bekerja saat ini.Rani semakin bersemangat dengan mimpi yang akan ia raih. Lulus dengan nilai terbaik dan mendapat banyak ucapan selamat. Ia lulus bersamaan dengan Fatih. Mereka saling bersitegang, tetapi Rani berusaha tak acuh. Buket mawar merah muda dipadu dengan bunga lili mendarat di tangan Rani. Seorang lelaki berwajah tampan dengan setelan jas hitam mengulum senyuman padanya."Selamat, Ran. Akhirnya kamu nyusul aku juga," ucap Arfan. Lelaki yang baru saja datang bersama Erika.Arfan sengaja mengajak Erika berangkat bersamanya. Tak lupa mengajak wanita dua anak itu ke salon terlebih dahulu. Erika tampak lebih muda dan anggun. Sampai-sampai membuat putrinya pangling."Ibu, cantik sekali? Rani tak menyangka Mas Arfan menyulap Ibu jadi begini." Kedua mata Rani berkaca-kaca menelisik setiap jengkal penampilan Ibunya. Ia kembali memeluk Erika.Hari ini adalah hari paling bahagia baginya selama hidup. Akan tetapi, di satu sisi Rani juga sedih teringat Santoso yang telah pergi beberapa bulan lalu. Gadis itu menyesal tak bisa mempersembahkan hasil studinya selama ini pada Santoso yang kini telah menyatu dengan lumbricina."Ran, tak usah bersedih. Bapak pasti bangga denganmu di sana. Kau harus tunjukkan bahwa dirimu akan menjadi kebanggaan tidak hanya di dunia tetapi di akhirat juga." Erika paham betul tatapan mata putrinya. Di saat bahagia gadis itu malah melamun, apalagi kalau bukan teringat sang Bapak."Iya, Bu." Rani kembali tersenyum. ***"Ran, kamu sudah siap?" tanya Bramantyo. Ia datang menjemput gadis itu di kontrakan dan mengajaknya perkenalan di kantornya. "Rani yang masih gugup hanya bisa mengangguk. Ia pergi mengenakan mobil mewah lelaki itu. Melambai pada wanita tua yang bermimpi anaknya akan menjadi orang hebat kelak. Wajah Rani terlihat berat ketika kendaraan besi itu semakin menjauh.Selama hampir kurang lebih setengah jam, akhirnya ia dan Bram sampai di sebuah gadung pencakar langit milik lelaki itu. Bramantyo Airlangga Nabhan, lelaki lembut dengan sejuta kesabaran membawanya masuk.Pertama kali gadis dengan lesung di pipi itu menjejakkan kakinya di depan lobi, ia langsung melihat siapa yang lebih dulu datang. Ada rasa canggung, selama menjadi mahasiswi ia dan Fatih selalu meributkan hal sepele dan kini mereka harus akur dalam satu misi.Tatapan Fatih mengunci setiap gerakan Rani. Alisnya yang tebal dengan rahang mengeras serta wajah yang tak bersahabat membuat Rani enggan membalas tatapan Fatih. Untuk sekadar menyapanya saja, tak lagi berminat. Rani telah resmi menjadi karyawati di kantor Bram. Pertama ia dibantu oleh karyawati lain melihat ruangan khusus untuknya. Air mata Rani jatuh tiba-tiba. Ia tak bisa mengungkapkan rasa bahagianya hingga sebuah senggolan pada bahu membuatnya terkejut."Jangan senang dulu! Aku ada kejutan untukmu, dasar anak pelakor!" lirih Fatih di dekat telinga Rani yang terbungkus jilbab berwarna hitam.Kedua bola mata berwarna madu milik Rani seakan keluar dari tempatnya. Kepalanya mendidih ketika Ibunya disebut pelakor. Ia segera mengejar langkah Fatih dan menarik jas lelaki itu dari belakang.Rani benar-benar menarik keras pakaian kebanggaan lelaki berwajah muram itu. Hingga Fatih hampir saja terjungkal ke belakang. Rani sudah tak bisa sabar lagi mendengar setiap umpatan Fatih sejak pertama Bramantyo menyatakan niatnya menikahi sang Ibu."Apa sih maumu sebenarnya?" bentak Fatih. Hingga beberapa karyawan dan karyawati berdiri menyaksikan dua anak manusia itu bertengkar. Fatih memang berwajah tampan, tetapi sifatnya sangat jauh berbeda dengan fisiknya."Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu! Sekali lagi kau sebut Ibuku dengan sebutan seperti tadi, kupastikan kau akan menyesal!" ancam Rani. Gemeretuk gigi Rani bisa terdengar hingga ke telinga Fatih.Melihat Rani yang menyeringai tajam, Fatih tak mau kalah. Lelaki berhidung bangir itu mengayun langkahnya semakin maju. Membuat Rani terbelalak. Fatih telah membuat gadis itu terpojok di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan wajahnya hampir bersentuhan kulit hidung Rani. "Jangan harap kau akan tenang kerja di sini! Sebentar lagi
"Mas Arfan, bukan? Ya Allah." Rani terkejut setelah lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. "Iya, Ran. Ini aku, Arfan." Pemuda tampan dengan segudang prestasi itu mengulum senyuman. Membuat Bram tercengang. "Kalian sudah saling kenal?" Bram menunjuk dengan jarinya pada mereka secara bergantian. "Iya, Om. Saya dan Rani satu kampus dulu. Dalam hati Arfan, ia memang sengaja pindah kantor karena tahu kalau Rani bekerja pada Bram, sahabat Papanya."Wah, saya yakin perusahaan ini akan semakin maju dengan adanya kalian." Kedua mata Bram berbinar-binar. Tak salah ia mengajak Rani dan Arfan bekerja di sana. Bram mengajak mereka makan siang mewah. Sebagai acara penyambutan mereka berdua. Dalam hati lelaki itu, sebenarnya ia teringat dengan Fatih. Andai, Fatih seperti Arfan atau Rani yang mudah diatur dan menerima keadaan. Pasti Bram akan menjadi orangtua paling bahagia."Oiya, Om, gimana Fatih? Apakah dia juga bergabung di perusahaan Om?" tanya Arfan di sela-sela menikmati jamuan siang. Meat
Dengan hati perih, Fatih dan dua orang di belakangnya membuka pintu ruangan tempat Bram terkulai tak berdaya. Selang infus serta cup oksigen telah menempel pada bagian tubuhnya. Bram masih belum sadarkan diri.Fatih segera mendekat dan menatap setiap jengkal tubuh lelaki yang telah menyebabkan ia terlahir di dunia ini. Saat seperti ini, pemuda itu menyesali semua perbuatannya. Ia terduduk di samping ranjang rumah sakit dengan bibir mengatup rapat."Sabar, Fatih!" Rani menyentuh pundak lelaki itu. Fatih tak menjawab. Pikirannya masih bergulat tentang sebab-sebab Bram terbujur di sana.Lepas beberapa detik berlalu, Bram menunjukkan gerakan lewat tangannya. Napasnya juga terdengar berat membuat Fatih segera beranjak dari kursi. Bram telah melewati masa kritis."Pa," panggil Fatih seraya menyentuh tangan Papanya.Rani dan Arfan pun sontak mendekat. "Papa," panggil Fatih lagi. Ia tak sabar ingin melihat Bram membuka mata. "Fatih." Bram mengeratkan genggaman tangan putranya. Suasana beru
Pemandangan laut lepas membentang di hadapan gadis cantik itu. Ia seperti orang kebingungan karena mencari keberadaan Fatih yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sudah beberapa menit berlalu, sejauh hamparan pasir di depan mata Rani, Fatih nihil tak ditemukan."Fatih, jangan mulai membuatku repot dan kehilangan waktuku!" gumam Rani seraya pasrah dan duduk menyandar pohon kelapa dan menatap laut biru yang menggulung ombak, menerpa karang.Di belakang sana, tepatnya di kursi kayu dengan kaki bertopang, Fatih menyeringai puas. Satu sudut bibirnya terangkat bersorak dalam hati. Ia mulai berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, lalu mendekati gadis muda yang telah menunggunya sejak tadi.Rani masih mencari sosok yang membuatnya bimbang, awan mulai bergumul membentuk kepalan hitam. Ia khawatir jika badai akan datang. Angin pun seakan tak mau tenang, menerbangkan jilbabnya ke sana ke mari."Heh!" Fatih membuat Rani terkejut. Gadis itu mengguncangkan bahu yang menjiplak k
Benda persegi panjang dengan layar menyala menampilkan gambar-gambar design milik Rani. Tercatat ratusan design yang telah mendapat persetujuan perusahaan. Design-design itu rencananya akan dibuat bahan meeting dan pengajuan kerja sama. Rani segera menyimpan semua file pada flashdisk yang telah disiapkan sejak dari Jakarta."Mbak, enggak tidur?" Fita yang sudah merebahkan diri sejak tadi, kini membuka mata lagi karena merasakan tenggorokan yang kering. Gadis itu pun segera bangkit dan berjalan sempoyongan bak orang mabuk menuju tempat air minum."Aku enggak bisa tidur, Fit." Masih dengan tatapan pada laptop, Rani menjawab. Tangannya masih menari di atas keyboard, lalu Fita ikut duduk di sebelahnya. Memahami setiap perkataan Rani agar ia tidak kagok besok.*Semburat mentari pagi membuat dua raga melangkah cepat. Mondar-mandir mencari pakaian dan menata berkas, mereka terlihat kalang kabut meski semalam sudah disiapkan, tetapi mereka tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Mereka harus
"Fatih!" Suara Rani memekik. "Apa-apaan kamu?" Rani yang hendak mencari kembali liontin yang telah lenyap entah ke mana langsung dicegah oleh Fatih. "Dasar wanita tak tau malu! Kemarin kau menggoda Papaku, sekarang kau menggoda bawahannya? Lantas, setelah ini siapa lagi? Aku?" Seringai mengejek itu selalu mengikuti setiap ucapan Fatih. "Bukan urusan kamu!" Saat Rani terus menjawab, Arfan mencoba melerai. Pemuda yang lebih tua dari Fatih itu tak ingin mereka menjadi bahan perhatian para pengunjung. Rani melepaskan tangan Arfan yang menyentuhnya. Napasnya tersengal hanya dengan satu kalimat saja. Namun, di dalam dada sana ia menyimpan ribuan kata yang tak mampu terlontar."Sudahlah, Ran! Kita tidak perlu berlelah-lelah meladeni dia. Apakah kamu lupa, Om Bram sendiri yang mengatakan kalau dia itu ...." Arfan sengaja menyudahi kalimatnya. Ia rela Rani mengalami tekanan terus menerus. Apalagi, semua itu karena ulah Fatih.Bibir mengatup, Fatih seketika melangkah dan menantang dengan dada
Fatih membalik badan. "Ran!" Ia melihat Rani tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Wajah yang menoleh kanan kiri itu memastikan bantuan. Dengan segala daya yang ia miliki, Fatih mengangkat tubuh kurus Rani dan membawanya kembali ke hotel. Arfan sudah tak terlihat lagi di dalam kamar. Fatih lantas meletakkan Rani di atas ranjang. Namun, saat memastikan sekelilingnya, Fatih tak menemukan barang-barang Arfan tak terlihat lagi. Koper sedang yang tadi pagi masih teronggok di sudut ruangan, kini bersih tanpa jejak. Fatih segera menuang air dalam gelas. Ia mencipratkan pada wajah Rani. Rani masih diam tak juga sadar juga, membuat Fatih semakin gelisah, sungguh ini keadaan di luar bayangannya. Ada apa dengan gadis itu?Fatih sudah mencoba menghubungi Papanya, tetapi tidak diangkat. Akhirnya, hanya sebuah kepasrahan yang mampu ia perbuat. Menunggu Rani hingga sadar. Selain itu, pekerjaan kantor yang baru saja disepakati tadi pagi, ia cek kembali di sofa dalam ruangan itu.Keputusan yang te
Ragu Rani mengatakannya. Akan tetapi, ia tak punya cadangan benda itu. Kedua mata menatap ke bawah mencari solusi yang tepat. Sejujurnya, Rani pun malu mengatakan hal itu."Apa, Ran? Cepat katakan!" Fatih mulai lelah menunggu. Ia berdecak tetapi tak tega."Aku ... nitip pembalut," bisik Rani dengan sangat pelan. Bahkan hampir saja Fatih tak mendengar. "CK, ada-ada saja. Enggak mau! Beli aja sendiri!" Dengan nada sewot, Fatih menyedekapkan tangannya di depan dada. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding dan menatap ke depan."Please, Fatih! Perutku kram, ini sudah biasa terjadi. Kalau lagi begini, tensiku pasti rendah. Ibu biasanya membuatkan jamu khusus. Tapi, kan, kita sekarang lagi ada di sini." Tak kuat lama-lama berdiri, Rani mencoba meraih pegangan setelah kaki kanannya yang basah menjejak kain keset di bawah mereka."Hem, biar kubantu!" Meskipun terlihat menyebalkan, tetapi Fatih diam-diam memiliki sifat perhatian.Ia membantu Rani lagi kembali ke atas tempat tidur. Ketika gadi
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
"Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara
Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.
Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela
"Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t