Tak ada pergerakan lagi dari gadis itu, Fatih mulai melirik. Ia termenung sesaat hingga berdiri meraih bantal di sebelah Rani. Fatih pun meredupkan cahaya lampu utama dan tidur di sofa tadi. Malam ini, suasana tambah lain. Wajah gadis itu kembali mengganggu ruang kepalanya. Juga melapisi kelopak mata di atas senyuman semanis madu.Apalagi saat Rani mengulas senyum ikhlas pada Arfan, dada Fatih terasa sesak dan kesal. Pemuda dengan kaus hitam itu bangkit dari tidurnya lagi. Ia meneguk satu gelas berisi air putih lalu menyalakan lampu utama. Dua tiket untuk besok pagi pun siap dipesan dari ponselnya.***Ruangan yang mereka tempati begitu penuh. Dua kursi telah siap menjadi sandaran empuk penghuninya. Rani duduk di bagian dekat jendela, sementara Fatih masih saja memasang wajah juteknya. Namun, mereka mempunyai misi yang sama. Yaitu, sampai di tempat tujuan dengan segera dan selamat.Pramugara telah menunjukkan aksinya, memberi pengumuman mengenai apa saja yang harus dilakukan dan yang
Punggung lelah, seharian dalam perjalanan. Kini, menggelepar sudah menyandar kursi sederhana dalam ruang tamu yang juga tampak apa adanya. Anggi datang membawa nampan berisi dua gelas minuman segar dan satu piring pisang goreng yang masih terlihat kepulan panas."Silakan," ucap Anggi. Senyumnya tak berhenti berkibar karena kedua mata tak lepas dari melirik sosok tampan berbalut jaket bombers keluaran terbaru. "Mas Arfan, silakan, Mas! Jangan sungkan. Di sini adanya ini. " Beralih pada sang adik yang terus salah tingkah, Rani bertanya, "Siapa yang bikin, Ang? Eh, Ibu mana? Kenapa dari tadi enggak ada?" Sambil mengunyah, Rani melirik lebih ke dalam. Lalu, tatapan keluar lagi karena memang tampak sepi sejak tadi. Pria dengan potongan rambut rapi itu mulai meraih makanan yang disediakan di meja. Arfan adalah tipe lelaki yang sangat menghargai pemberian siapa pun. "Ang? Aang?" Rani kembali mengulangi pertanyaannya. Ia menyadari sebuah kerlingan mata yang baru saja beralih padanya. "Heee
Udara di pinggiran kota Jakarta, menuai banyak pujian. Embun yang membasahi dedaunan dan rumput hijau pagi ini, bukan hanya memanjakan mata tetapi membuat penduduk setempat menikmatinya dengan olahraga. Waktu libur telah tiba, Rani baru saja keluar dari kamarnya setelah selesai mengecek berkas untuk besok. Hari ini, ia mempunyai jadwal lari pagi di sekitar tempatnya tinggal. Semoga tidak mendengar para tetangga membicarakannya lagi."Ran, kapan nikah? Lu udah umur berapa, tuh?""Jangan lama-lama sendirian, nanti takut jadi perawan tua!" "Gimana mau hidup enak, orang rumah aja dikasih orang."Dan lain sebagainya, terus terngiang dalam benak dan tak jarang menggores luka di hatinya apalagi saat sang ibu yang menjadi bahan perbincangan.Menautkan tali sepatu hingga menjadi simpul kupu-kupu, membenahi pakaian yang tidak ketat, satu lagi uang. Rani menyelipkan lembaran biru pada saku gamis ringannya. Sebelum pulang, dia berencana mampir membeli bubur ayam. "Ang! Aang? Kamu jadi ikut, en
"Ih, enggak jelas!" Rani hendak menghindar tetapi tangannya langsung dicekal oleh Fatih. Ia berusaha melepaskan tetapi tetap saja percuma.Keramaian pagi itu tak membuat surut nyali Faith untuk mengganggu ketenangan Rani. Padahal, hanya menyapa saja, Fatih merasa Rani telah menggoda Papanya."Jangan sok-sokan mencari muka di hadapan Papa! Dia itu sudah tua sementara kamu gadis dari desa. Jangan sok perhatian!" "Astaga, Fatih! Jaga ucapan kamu! Aku bukan seperti yang kau tuduhkan." Napas Rani naik turun. Ia mencoba mengalah karena menjaga Marwah keluarga.Seringai tajam Fatih berhasil membuat Rani menahan luka. "Sudahlah, Ran! Tidak usah menutupi. Kau sam saja dengan Ibumu yang berniat mengambil hati Papaku! Enyah kau dari hadapanku!" Fatih menabrak gadis itu dan mendekati Papanya yang kebetulan tidak melihat pertengkaran mereka."Mbak, siapa, sih itu? Kenapa omongannya pedes banget? Amit-amit, deh, aku punya laki begitu. Sembarangan nuduh orang." Anggi mulai menunjukkan perhatian. Ga
"Mereka lagi, Mbak." Menjawab dengan fokus masih pada dua lelaki di luar sana, Anggi kemudian membalik badan dan menemui Ibu dan kakaknya.Erika yang masih belum paham pembahasan kedua putrinya itu masih plonga-plongo. Wanita tua yang mengenakan jilbab soft green itu ditarik masuk ke kamar. Mereka bertiga berunding di dalam sana. Namun, waktu sudah menunjukkan untuk mereka segera keluar.Suara ketukan pintu yang disertai dengan salam lembut dari sosok gagah Bramantyo, membuat Erika terperanjat. Ia baru paham kalau sejak tadi dua gadisnya tengah membicarakan pria itu. Pria yang sempat melamarnya tetapi gagal."Itu Pak Bram," pekik Erika. "Udah, Bu. Ibu di dalam aja! Tidak perlu keluar karena kita tidak bisa menjamin ucapan si Fatih tidak akan menyakiti Ibu." Rani memberikan peringatan."Bener kata Mbak Rani, Bu. Tunggu sini, kita yang akan keluar," tambah Anggi. Mereka pun berpura-pura bersikap biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, mereka keluar menjawab salam secara bersama
"Baiklah, saya akan pulang dulu." Lelaki berwibawa itu menegakkan punggungnya lagi setelah menekan lutut dengan menahan nyeri pada dada yang akhir-akhir ini kembali mengikat dari dalam. "Saya tunggu jawaban kamu, Ran. Bersedialah menjadi menantu saya. Bukan hanya hutang Bapakmu saja yang lunas, tetapi aku akan sangat lega karena telah menjalankan satu amanah besar almarhum." Begitu besar harapan pria itu pada Rani, tak peduli dengan Fatih yang akan menolak atau tidak. Bram tahu persis, Fatih tidak akan bisa hidup tanpa naungan darinya."Insyaallah, Om. Tapi ... saya tidak bisa janji akan menjawab dengan cepat. Bagi saya, itu permintaan yang sangat berat." Rani berdiri diapit oleh dua wanita lainnya. Mereka mengantar Bram hingga pergi dari sana."Oke. Saya pamit dulu, assalamualaikum?" Bram mulai melangkah mendekati mobil. Sebenarnya, ia masih sangat ingin menginjak tanah subur di bawah pepohonan rindang itu. Sebab, dia begitu betah di sana. Akan tetapi, tak enak dengan tetangga yang m
Rani sudah tak sanggup lagi mendengar yang sangat keterlaluan menurutnya. Akhirnya, mobil sampai juga di pelataran kantor. Rani pun kembali mencoba membuka pintu berkaca itu tetapi percuma. Fatih masih menguncinya.Seringai yang terlukis di sudut bibir pria egois itu menunjukkan betapa dia telah puas melontarkan semua kata yang patut untuk Rani."Buka pintunya, Fatih! Kau masih belum puas juga menghinaku? Suatu saat hinaanmu itu akan kembali pada dirimu sendiri." Sudah tak tahan lagi, kedua mata Rani pun memerah siap meletupkan buliran bening. Mereka saling berbalas tatapan dan beradu emosi."Aku belum puas!" Fatih terus menajamkan tatapannya. Bahkan dia sudah berani semakin mendekatkan wajahnya pada Rani tetapi gadis itu segera memberikan kepalan tangannya yang akhirnya berhasil membuat Fatih meringis, menahan panasnya tamparan."Jangan macam-macam kamu, Fatih! Aku tidak segan-segan membuatmu menyesal nanti. Cepat buka pintunya!" Kembali terdengar sentakan keras Rani. Fatih pun seger
"Hallo?" Arfan mengangkat panggilan dari nomor kantor. Suara wanita di seberang sana terdengar panik dan gugup. Pria berkumis tipis itu pun mendelik kala sebuah nama terkabarkan kembali memasuki ruangan IGD. Rani yang mendengar lirih dari balik telepon itu juga tak kalah kaget. Mereka saling melempar pandangan dan Rani segera berdiri menyamai Arfan."Kenapa dengan Om Bram, Mas? Ada apa?" Tubuh yang terasa meremang kembali menekan debat dalam dada."Om Bram masuk rumah sakit lagi. Dia telah menulis wasiat untuk kalian, kabarnya. Ayo, kita ke sana!" Arfan mengemasi barang-barang yang tergeletak di meja makan. Mereka segera meluncur ke rumah sakit.Brankar didorong dengan kuat dan kaki-kaki berlari mempercepat penanganan. Masuk ke ruangan khusus dan lampu-lampu berpusat di tengah. Bram sudah tak sadarkan diri. Napasnya lemah dan denyut jantung kembali dipompa.Fatih hanya bisa menyesali perbuatannya dan duduk menunggu di depan ruangan tertutup itu. Kedua telapak tangan berubah dingin da
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
"Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara
Setelah kembali ke depan ruangan Fatih, Rani bertemu dengan salah seorang suster. Gadis itu segera bertanya, "Sus, bagaimana keadaan Fatih?" "Sudah membaik, Mbak. Boleh dijenguk. Silakan!" "Makasih, Sus."Suster membalas dengan senyuman. Lalu pergi setelah Rani izin masuk ke dalam. Rani mengusap wajahnya melihat Fatih terbujur dengan alat bantuan kesehatan. Kepalanya dibalut dengan perban, hidungnya tampak cup oksigen menempel. Rani pun segera duduk dan mencoba menyentuh tangan Fatih. Meskipun Fatih sudah memporak-porandakan hatinya, tetap saja ia tak bisa diam saja melihat Fatih begitu. "Fatih, kamu belum bisa bangun ya? Aku menunggumu membuka mata sejak semalam. Bertahanlah, Fatih!" "Fatih, aku tau kalau kamu sangat membenciku. Aku tidak marah karena itu hakmu. Tapi, kumohon buka matamu.""Setelah kamu sadar, aku janji akan pergi dari sini. Kau tidak akan melihatku lagi."Beberapa menit Rani di sana, Fatih tak juga membuka mata. Tak lama Bram masuk dan Rani menoleh ke belakang.
Fatih duduk di sebelah rani yang tak bergerak sama sekali. Lalu Bram menahan napas sejenak, ia berusaha bersikap adil dan menyesali perpisahan Rani dan putranya itu. "Papa kecewa sama kamu, Fatih. Kalian harusnya bisa bicarakan semuanya baik-baik. Papa batu tau kalau Rani dan kamu sudah bercerai. Dan akta nikah kalian baru sampai hari ini. Kalau bukan karena Papa bertemu tukang pos tadi, mungkin Papa tidak akan tau kalau kalian sudah ...." Bram menggeleng kepala sambil menghentakkan ucapannya. Rani terlihat menunduk. Ia tak lepas dari lirikan mata Fatih. Fatih sendiri pun tak bisa berkata-kata lagi. Selain kata maaf untuk papanya yang ia sampaikan dengan lirih. "Maaf, Pah." "Apa kalian tidak berniat rujuk? Papa sangat berharap kalian kembali bersatu. Bagaimana, Ran?" Bram meminta pada Rani sebuah pertimbangan lagi. "Maaf, Pak Bram. Terima kasih sebelumnya, tapi saya sudah memutuskan untuk sendiri juga. Saya dan ibu saya juga adik saya satu-satunya, akan kembali pulang tempat kela
"Makasih Mas Arfan," ucap Rani seraya mengulas senyuman di tengah pesta pernikahan salah satu rekan kerja. Arfan juga menarik kursi untuk gadis itu agar duduk di sebelahnya. Mereka duduk dengan gelas-gelas minuman juga makanan yang tersaji di atas meja. "Ran, kamu mau makan apa? Banyak menunya. Kebetulan kita kan tadi memang sengaja janjian makan di sini." Arfan tertawa. "Aku apa aja deh, Mas. Salad aja dulu, tiba-tiba kenyang." "Aku ambilkan, ya." Lelaki dengan jas hitam itu itu segera meletakkan sepiring salad hijau di depan Rani. Sambil menatap pada hiburan seorang penyanyi, mereka mulai makan. Dari pintu utama, seorang pria dengan jas dark green berjalan menggandeng wanita cantik. Mereka masuk ke dalam. Tampak wanita itu mengenakan gaun dengan belahan dada dan rambutnya mengembang hitam legam. Tentu Fatih mencintainya. Namun, yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah Rani. Hanya istrinya saja. Meskipun ada wanita cantik yang selalu menemaninya, tetap saja Fatih tak bisa t