Aku hanya bisa mematung dan tak percaya saat tiba-tiba Heri memberi ciuman pada bibirku. Ciuman itu terasa hangat dan lembut, walau hanya sebentar namun aku bisa menikmati bahkan darahku rasanya berdesir halus.Heri menyudahi ciumannya dan mengusap bibirku dengan jarinya, ia tersenyum simpul menatapku. Meski aku gugup namun aku juga bisa melihat dengan jelas wajah Heri yang sama gugupnya."Kamu mau ganti baju duluan?" tanya Heri."Hah, a-apa?" Aku yang gugup justru melontarkan pertanyaan padahal dengan jelas aku mendengar perkataan Heri. Duh kenapa pertanyaan Heri membuat jantungku berulah sih."Kamu mau ganti baju dan bersih-bersih badan duluan, atau aku dulu," ulang Heri. Aku benar-benar canggung berada di situasi seperti ini, "Emm, kamu duluan aja deh, Her." Aku benar-benar tak bisa melakukan hal pribadi di kamar orang lain, meski pun Heri sudah sah menjadi suamiku namun aku belum terbiasa. Pernikahan kedua ini terasa seperti pernikahan pertama padahal kami sudah sama-sama pernah
*Janganlah engkau mengucapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu.*______Aku keluar dari kamar mandi sudah memakai baju tidur, saat keluar terlihat Heri menoleh ia menatapku tanpa berkedip. Aku terdiam sejenak, merasa canggung dengan tatapan Heri yang begitu intens. "Ada apa, Her? Apa ada yang aneh denganku?" tanyaku dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan.Heri menggelengkan kepala sedikit, seolah baru tersadar dari lamunannya. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, tetapi tatapannya masih belum lepas dariku.Aku merasa pipiku memerah. "Kamu kok menatapku begitu?" tanyaku lagi, setengah bercanda untuk mengurangi rasa canggung.Heri akhirnya tersenyum tipis, meski matanya masih menunjukkan sesuatu yang tak biasa. "Kamu terlihat berbeda malam ini," katanya pelan.Aku tersenyum balik, meski masih penasaran dengan perubahan sikapnya. "Maksudmu?"Heri menggeleng lagi, kali ini dengan senyum yang lebih jelas. "Nggak ada. Cuma...
POV Tedy Malam ini aku sangat gelisah memikirkan Lia yang menikah lagi. Aku tak menyangka secepat itu dirinya menerima pinangan lelaki lain, apa dia benar-benar sudah melupakanku? Padahal, baru beberapa bulan lalu kami berpisah.Setiap sudut kamarku terasa sesak oleh kenangan-kenangan bersamanya. Aku mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan wajahnya terus mengganggu pikiranku. Aku ingat saat-saat kami tertawa bersama, berbagi mimpi dan harapan. Semua itu kini terasa seperti ilusi yang rapuh.Aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu mudah dilupakan? Apakah semua yang kami lalui bersama tidak berarti baginya? Ataukah aku yang terlalu sulit melepaskan? Rasanya seperti ada lubang besar dalam hatiku yang tidak bisa diisi oleh apa pun.Ku rebahkan tubuh di ranjang, mencoba mencari kenyamanan. Namun, bayangan Lia yang berbahagia dengan pria lain terus menghantui pikiranku. Mungkin, sudah saatnya aku menerima kenyataan bahwa kami memang bukan ditakdirkan untuk bersama. Meskipun berat, aku har
Pov Author*Jika kamu tidak menyerah, berarti kamu masih memiliki kesempatan. Menyerah adalah kegagalan terbesar.*_____Tepat jam tiga sore Sutri berkumpul di gazebo bersama Ibu-Ibu arisan lainnya. Saat arisan berkumpul mereka ada yang membawa mangga, timun, bengkoang, pepaya, bumbu serta cobeknya, mereka akan menggelar menu rujaan. Tak ketinggalan ada yang membawa es teh dan cemilan gorengan.Sambil menunggu yang lain datang mereka mengupas buah, membuat bumbu, dan memotong buah-buahan. Hari ini Surti membawa es teh berjumlah sepuluh cup, padahal Ibu-ibu yang lain sudah menyarankan untuk membuat teh satu teko biar hemat. Namanya juga Surti ia lebih memilih praktis tanpa ribet, akhirnya ia membeli es teh tiga ribuan per cup."Waah nggak salah tah, ini si Lia beneran? Eh, Sur, apa Lia udah nikah lagi?" Wanti, berambut panjang warna coklat sejak tadi hanya bermain hp sesekali ia memvidio dan membagikannya di sosial media sebagai vidio reels."Enggak tahu," balas Sutri acuh. Ia masih ke
POV Author *Belajarlah dari bulu ketek, walaupun selalu terhimpit, tapi tetap tegar bertahan dan tetap tumbuh.*_____"B4ngs4* Lo, ngapain pakai dorong-dorong segala. Kalau enggak ngerasa enggak usah b4c*t! Hidup numpang aja belagu! Mau gue sebarin aib elo yang suka mer4mpas itu! Hah!" Utami menantang Sutri, ia mendorong balik wanita berambut smoting tetapi sudah mulai kriting itu. Jiwa singanya meronta-ronta tak terima di perlakukan seperti orang rendahan.Kedua mata Sutri sudah memerah menahan air mata, ia tak menyangka kejadian ini akan menimpanya di hadapan banyak orang. Perasaannya campur aduk antara malu, sedih, dan marah. Ia berdiri kaku, mencoba menenangkan diri, tapi rasanya semakin sulit mengendalikan emosi. Tepat di depannya, orang-orang mulai berbisik, menambah beban di hatinya. Sutri tak menyangka Utami yang ia kira kalem ternyata memiliki jiwa bar-bar."Napa diam aja elo, takut! Nangis aja sana, dasar cengeng! Munafik elo!" Utami terus mengatai Sutri dengan kalimat kasa
Pov Nur CahyaniMbak Lia menatap kami penuh tanya namun aku hanya diam tanpa mau membuka suara. Aku sudah terlanjur kesal dengan Mamak namun masih berharap bisa tinggal lebih lama bersama Mbak Lia."Ini lo Nur belum ingin pulang tapi Bapak sama Mamaknya maksa untuk pulang," sahut Bu Salma."Oalah gitu. Ya udah Nur di sini aja, pulang bareng Ibuk dan Bapak kan juga enggak apa-apa. Atau mau pulang kapan aja juga enggak apa-apa biar nanti di antar Pak supir," balas Mas Heri menatapku. Aku menatapnya penuh harap karena hal itu memang yang ku inginkan."Mamak, boleh ya. Boleh lah." Aku kembali memelas pada Mamak berharap ia akan kasihan dan akhirnya mengizinkan."Tapi, Nur...." Mamak masih nampak ragu."Mak, disini aku juga mau ngonten dengan suasana yang berbeda. Followers ku pasti akan lebih suka dengan konten dan suasana baru. Ini juga bisa membantu meningkatkan engagement di media sosialku, Mak. Lagipula, aku akan tetap berhati-hati dan mengikuti semua aturan di keluarga Mas Heri kok.
Pov LiaSamar-samar terdengar suara adzan subuh berkumandang dari masjid terdekat, aku segera membuka mata. Tak ku sangka tidur ini sangat nyenyak karena berada di pelukan suamiku, meski baru satu minggu kami menikah dan belum melakukan hal yang intim tetapi aku bisa merasakan sentuhan hangat Heri.Aku tersenyum, dengan pelan-pelan ku singkirkan tangan Heri yang melingkar di perutku. Aku beranjak dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Heri. Aku mengambil air wudhu dan segera menunaikan shalat subuh. Setelah selesai, aku duduk sejenak di atas sajadah, merenungi perjalananku selama ini. Tidak pernah terbayang sebelumnya aku akan menikah dengan Heri, teman masa kecilku yang sudah lama tidak berjumpa.Aku berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ternyata sudah ada mbok Nah yang sedang sibuk memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci."Pagi, Bi," sapaku kepada wanita yang ku tafsir berusia lima puluh tahun itu."Pagi juga, Bu. Udah bangun ya," balasnya sembari te
Aku benar-benar bingung menyematkan panggilan manis untuk suamiku. Kini aku beralih menatap Heri dan menanyainya, "Her, kamu mau di panggil apa?"Heri menatapku sekilas, lalu kembali melanjutkan sarapannya. "Terserah!"Benar-benar jawaban yang singkat, padat, dan membuatku kesal. Kata terserah adalah kata yang paling tak ku sukai.Aku mendesah, menahan kesal. "Terserah itu bukan pilihan, Her," gumamku setengah bercanda, meski dalam hati tetap merasa jengkel.Heri mengangkat bahu, tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. "Ya sudah, panggil apa saja yang kamu suka," katanya sambil menyesap kopinya.Aku berpikir sejenak. Panggilan apa yang bisa membuatku senang memanggilnya dan membuatnya merasa dihargai? Sesuatu yang tidak terlalu berlebihan tapi tetap manis.Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat dan teriakan yang sudah ku hapal, "Hai, semua selamat pagi. Maaf, aku bangunnya kesiangan."Nur dan Shaka muncul, mereka langsung duduk di kursi kosong. Benar-benar tuh
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah