Salvatore terbaring di tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lampu redup di sudut ruangan. Obat yang baru saja diminumnya mulai bekerja, tapi pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.Dia menarik napas dalam, mengingat kembali potongan-potongan informasi yang berhasil dia kumpulkan diam-diam selama beberapa hari terakhir.Pertama, vila ini berada jauh dari keramaian, hanya dikelilingi lautan luas. Kedua, setiap kali dia ingin keluar atau menanyakan sesuatu yang lebih dalam, Alessio selalu punya alasan untuk menahannya. Ketiga, Suan.Kata-kata pria itu kembali terngiang di kepalanya."Saya berjanji, Anda akan mengingat semuanya dalam waktu dekat."Salvatore mengernyit. Apa maksudnya? Apa benar dia kehilangan sesuatu yang penting? Dan… apakah Alessio memang sengaja mengurungnya di vila ini?Dia memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar. Rasa curiga mulai tumbuh semakin besar.Namun, semakin dia mencoba berpikir, kelopak matanya terasa semakin berat. Pengaruh
Matahari bersinar terik di langit Waikiki, memantulkan sinarnya di permukaan air laut yang berkilauan. Suara deburan ombak bercampur dengan gelak tawa turis yang berseliweran di sepanjang jalanan. Pasangan-pasangan terlihat bergandengan tangan, anak-anak berlarian, dan para pedagang menjajakan berbagai macam suvenir khas Hawaii.Namun, di tengah hiruk pikuk itu, Salvatore hanya duduk diam di kursi rodanya. Matanya tajam mengamati keadaan sekitar, seolah mencari sesuatu. Tapi apa yang dia cari pun dia sendiri tidak tahu pasti.Sejak meninggalkan vila tadi, dia bersikeras ingin keluar dan melihat keramaian. Alessio tidak punya pilihan lain selain menurutinya, karena Salvatore benar-benar tak mau berbicara dengannya sejak kejadian malam itu. Keheningan Salvatore adalah bentuk hukuman terbesar bagi Alessio.Di sampingnya, Jackson berdiri dengan waspada. Beberapa orang Alessio tak jauh dari mereka, menyamar sebagai turis biasa.Salvatore tahu mereka ada di sana. Mengawasinya, menjaganya, a
Salvatore terbaring lemas di ranjang kamar vila, tubuhnya gemetar hebat seiring dengan rasa sakit yang mencengkeram kepalanya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan napasnya terdengar berat.Jackson berdiri di samping ranjang, menatap Salvatore dengan wajah penuh ketegangan. Dia tahu Salvatore tidak baik-baik saja, tapi membawa pria itu ke rumah sakit bukanlah pilihan. Itu perintah Alessio—Salvatore tidak boleh di bawa ke rumah sakit agar tidak meninggalkan jejak apapun.Saat Alessio mendengar kabar bahwa Salvatore mengalami serangan sakit kepala hebat, dia langsung bergegas masuk ke kamar. Tanpa ragu, dia meraih tangan Salvatore dan menggenggamnya erat."Salvatore, tahan sebentar. Dokter dalam perjalanan." Alessio berbicara lembut, namun nada suaranya penuh kecemasan.Salvatore tidak merespons. Wajahnya memucat, matanya terpejam erat, seolah sedang bertarung dengan sesuatu yang hanya bisa dia rasakan sendiri.Tubuhnya menggigil, seperti sedang tersiksa oleh sesuatu yang tidak k
Salvatore terjebak dalam kegelapan. Namun, perlahan, bayangan samar mulai terbentuk.Di hadapannya, seorang wanita berdiri. Dia tersenyum manis, terlalu cantik untuk menjadi nyata.Rambut panjangnya tergerai lembut, matanya bersinar dengan kehangatan yang entah mengapa terasa begitu familiar. Salvatore ingin menyebut namanya. Siapa dia?Namun, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Wanita itu hanya menatapnya penuh kasih, seolah mereka memiliki banyak kenangan bersama.Lalu, mimpi itu berganti. Kini, Salvatore berdiri di tengah-tengah sebuah pesta.Di hadapannya, wanita yang sama berdiri dengan gaun hitam anggun. Hatinya berdebar. Tangannya menggenggam kotak kecil.Dia membukanya perlahan, menampakkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu-lampu mewah."Maukah kau menikah denganku?" suaranya bergetar dengan emosi.Dia bersimpuh di hadapan wanita itu, menyematkan cincin di jari manisnya. Wanita itu tersenyum bahagia, lalu menariknya ke dalam pelukan. Ciuman mendarat d
Valeria duduk di kursi pantai, memandangi ombak yang bergulung dengan mata kosong. Pikirannya masih tertuju pada telepon kemarin. Sesuatu sedang terjadi di markas, tapi tanpa informasi lebih lanjut, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.Anna, yang sedari tadi mengamati sahabatnya itu, menghela napas keras. "Aku sudah muak melihat wajah melasmu, Val!" serunya sambil menjatuhkan diri ke kursi sebelah. "Kita sudah di Hawaii, di Waikiki! Liburan, Val! Bisa nggak, sih, kita berhenti berpikir tentang Milan, pekerjaan, dan semua hal membosankan itu?"Valeria hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap laut. Dia seperti tidak dengar apa kata Anna barusan.Anna mendengus. "Aku nggak akan membiarkanmu merusak liburan ini!" ujarnya dengan mata berbinar penuh tekad.Morgan, yang duduk tidak jauh dari mereka, menutup bukunya dan menatap Anna dengan curiga. "Apa lagi yang kau rencanakan?" tanyanya dengan nada datar.Anna menyeringai. "Kau akan lihat."Satu jam kemudian...Anna menyeret Val
Salvatore duduk di atas kursi rodanya, matanya memandang lurus ke arah lautan luas yang membentang di depan vila. Angin berembus pelan, membawa aroma asin khas laut dan suara deburan ombak yang menenangkan.Namun, ketenangan itu tidak berarti apa-apa baginya. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Dia harus berbicara dengan Suan.Dia tahu, Alessio memasang CCTV di dalam kamarnya. Itu sebabnya dia memilih halaman belakang vila yang jauh dari pengawasan kamera. Di tempat ini, dia bisa berbicara tanpa takut diawasi. Setidaknya, itulah yang dia harapkan.Tak lama, Suan datang membawa nampan kecil berisi obat-obatan. "Waktunya minum obat, Tuan Salvatore," ucap Suan dengan nada datar seperti biasa.Namun, sebelum Salvatore bisa menjawab, Jackson sudah lebih dulu muncul dan berdiri di dekat mereka. Salvatore menahan rasa frustrasinya. Dia ingin berbicara dengan Suan, tapi kehadiran Jackson membuatnya tidak leluasa."Aku tidak suka diperlakukan seperti pasie
Malam merayap pelan di luar jendela vila, menyelimuti langit dengan kegelapan pekat yang hanya diterangi sinar bulan samar. Di dalam kamar Salvatore yang remang, suara langkah kaki terdengar halus mendekati ranjangnya. Itu adalah Suan, seperti biasa, datang membawa obat untuknya.Salvatore menatap pria itu tanpa ekspresi, tapi ada kilatan waspada di matanya. Dia sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Suan akan datang, menyerahkan obatnya, dan di sela-sela itu, dia akan menyelipkan selembar kertas kecil berisi informasi yang sangat Salvatore butuhkan.Suan tidak berbicara. Dia hanya meletakkan segelas air dan dua butir pil di atas meja samping tempat tidur. Gerak-geriknya sangat tenang, terlalu tenang. Namun, Salvatore tahu, di balik wajahnya yang selalu datar, ada sesuatu yang ingin disampaikan.Ketika Suan hendak menarik tangannya setelah meletakkan obat, jari-jarinya dengan cepat menyelipkan selembar kertas kecil di bawah gelas. Salvatore yang sudah terbiasa dengan metode ini sejak ha
Setelah dua minggu menikmati hawa tropis Hawaii, Valeria akhirnya kembali ke Milan. Langit kota itu tampak kelabu, berbeda jauh dengan cerahnya matahari yang selalu menyinari pantai Waikiki. Udara dingin menyambutnya saat dia melangkah keluar dari bandara, tapi dia tetap terlihat tenang. Tidak ada perubahan besar dalam ekspresinya, hanya saja auranya terlihat lebih segar.Morgan dan Anna berjalan di belakangnya sambil bercanda satu sama lain. Anna masih membawa nuansa Hawaii dalam dirinya—terlihat dari gaun berwarna cerah yang dia kenakan, sandal santai di kakinya, dan cara bicaranya yang lebih lepas daripada biasanya. Sedangkan Morgan, tetaplah Morgan. Pria itu tampak rapi seperti biasa, mengenakan jas hitam yang kontras dengan suasana santai yang Anna pancarkan.Saat mereka tiba di rumah keluarga Morreti, suasana langsung berubah menjadi lebih hangat. Elena, Lorenzo, Roberto, dan Giulia sudah menunggu di ruang makan. Mereka tampak bersemangat menyambut kepulangan Valeria dan teman-t
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara
Firgo mengetuk pintu kamar rawat inap Valeria sebelum masuk. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia menyerahkan telepon genggamnya kepada Valeria. "Morgan ingin bicara."Valeria mengangkat alis, "Oh, sepertinya akan ada sesi ceramah gratis."Begitu telepon menempel di telinganya, suara Morgan langsung terdengar—keras dan penuh emosi."Valeria! Apa yang kau pikirkan?! Pergi tanpa bilang apa-apa, ikut operasi berbahaya dalam keadaan hamil pula! Kau tahu betapa gilanya aku mencari-cari kabar tentangmu?!"Valeria menarik napas panjang, memegang telepon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dengan lembut mengelus perutnya yang masih terasa perih. "Aku baik-baik saja, Morgan. Kau tidak perlu berteriak begitu.""Jangan bilang aku tidak perlu berteriak! Kau pikir ini lelucon? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Dan bayi itu?!" Di ujung sana Morgan sedang mondar-mandir di lobi markas Il Leone d'Ombra.Senyum kecil menghiasi wajah Valeria. "Bayi ini baik-baik s
Valeria membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar rawat terasa menyilaukan, tetapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di sampingnya, Salvatore duduk dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tatapan pria itu tajam, tetapi terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan."Salvatore ...." Suara Valeria serak, hampir berbisik. "Bagaimana dengan bayiku?"Begitu mendengar suaranya, Salvatore langsung menggenggam tangannya erat. "Kau sudah sadar? Dia ..., baik-baik saja."Valeria menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya sesak—haru, rindu, dan kelegaan yang begitu mendalam.Salvatore ada di sini.Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya, menyentuh pipi pria itu dengan lembut. "Aku ..., aku pikir aku tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya pecah dalam isakan kecil.Salvatore mengeraskan rahangnya, menahan emosinya sendiri. "Aku di sini. Aku ..., tidak akan ke mana-mana."Air mata Valeria ak
Malam di Milan terasa dingin. Julian berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah tenang, tetapi pikirannya kacau. Ibunya masih di dalam, menjaga Sofia—adiknya yang telah menghancurkan hidupnya. Sang ayah, Giovani, bahkan tak peduli lagi dengan keluarga mereka sejak nama besar Ricci runtuh.Saat Julian hendak berjalan ke mobilnya, suara familiar menghentikan langkahnya."Julian?"Dia mendesah pelan, lalu menoleh. Margareta berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel mahal yang dulu mungkin ia beli dari uang Julian sendiri. Wajah wanita itu masih sama—cantik, angkuh, penuh percaya diri. Tapi Julian tak lagi melihatnya seperti dulu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar.Margareta tersenyum, mendekatinya dengan langkah gemulai. "Aku kebetulan lewat. Lalu aku melihatmu ..., jadi aku ingin menyapa."Julian mengangkat alis. "Kebetulan lewat di rumah sakit, malam-malam begini?" Nada suaranya terdengar sarkastik.Margareta tertawa kecil. "Aku ingin tahu ..., bagaimana keadaanmu s
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Jepang, Salvatore segera bangkit dari kursinya. Dia tak peduli pada tubuhnya yang masih lemah, langkahnya langsung mengikuti para anak buah yang membawa Valeria ke luar pesawat dengan tandu.Udara malam Jepang yang dingin menusuk kulit, tetapi keringat dingin tetap mengalir di pelipisnya. Mereka semua bergerak cepat menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Firgo sudah lebih dulu mengatur segalanya—termasuk mencari rumah sakit yang aman, tempat dokter-dokternya bisa dibayar untuk menutup mulut.Di perjalanan menuju rumah sakit, Salvatore duduk diam di samping Valeria. Matanya terus mengamati wajah wanita itu. Wajah yang seharusnya asing, tetapi justru terasa familiar. Wajah yang entah mengapa, menjadi yang pertama muncul dalam pikirannya saat dia mulai sadar dari kegelapan ingatannya yang hilang.Jika dia istriku… berarti aku sangat mencintainya, bukan?Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya?Salvatore menggigit bibir bawahnya, frustrasi de
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk