Di sebuah lorong parkiran bawah tanah yang sepi, langkah sepatu hak tinggi Amara menggema di antara dinding beton. Dia berjalan dengan tergesa-gesa, matanya tajam mengawasi sosok pria yang baru saja keluar dari mobil hitamnya."Salvatore!" suaranya melengking, menggema di ruangan yang lengang.Salvatore berhenti di tengah langkahnya. Rahangnya mengeras, dan kedua tangannya mengepal. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi, dan dia tidak berniat meladeni ini lebih lama.Amara berdiri di hadapannya, wajahnya dipenuhi amarah bercampur dengan keputusasaan. "Kenapa?" Dia menatap pria itu dengan mata yang berkilat penuh emosi. "Kenapa kau terburu-buru menikahi Valeria? Apa kau benar-benar mencintainya?!"Baru juga beberapa waktu yang lalu Amara melihat Salvatore melamar Valeria di depan banyak orang, kini dia mendengar berita pernkahan mereka berdua. Menurutnya, ini sangat tergesa-gesa.Salvatore mendesah panjang, menahan gejolak di dadanya. Dia menatap Amara dengan dingin, tatapan yang cukup
Senja mulai turun ketika Valeria keluar dari mobilnya. Udara sore di Milan terasa sejuk, langit berwarna jingga keemasan, dan angin bertiup lembut menerpa wajahnya. Dia berjalan menuju butik tempatnya akan melakukan fitting gaun pengantin, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di kejauhan.Julian.Pria itu berdiri di seberang jalan, mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut dan celana bahan hitam. Ekspresinya sendu, matanya menatap Valeria dengan perasaan yang sulit ditebak. Saat mata mereka bertemu, Julian melangkah mendekat."Valeria," suaranya terdengar lirih namun tetap jelas.Valeria menatapnya tanpa ekspresi, tidak ada kebencian, tetapi juga tidak ada kehangatan. "Ada apa?" tanyanya dengan nada netral.Julian menelan ludah, lalu melirik ke kafe kecil yang ada di sudut jalan. "Bisakah kita bicara sebentar? Hanya beberapa menit."Valeria menimbang sejenak. Salvatore masih dalam perjalanan, dan entah kenapa, ada sesuatu di mata Julian yang membu
Di dalam penjara yang suram dan berbau lembap, Sofia terduduk di sudut selnya. Wajahnya lebam, bibirnya pecah, dan beberapa luka kecil menghiasi lengannya. Tangannya gemetar saat menyentuh bekas luka di pelipisnya, sisa dari pemukulan brutal yang baru saja dia terima dari para tahanan lain.Matanya yang dulu penuh dengan kesombongan kini menyiratkan kebencian yang mendalam. Dia tidak bisa menerima ini-tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia, Sofia Ricci, pewaris keluarga Ricci yang kaya dan terhormat, sekarang diperlakukan seperti sampah di tempatyang menjijikkan ini.Sejak hari pertama dia masuk ke penjara, Sofia sudah menunjukkan arogansinya. Dia memandang rendah para tahanan lain, menganggap mereka tidak lebih dari orang-orang hina yang tak berarti. Tapi justru itulah yang membuat mereka semakin bernafsu untuk menghancurkannya."Kau pikir kau siapa, hah?!" Seorang wanita dengan tato di lengannya menendang perut Sofia dengan keras, membuatnya meringkuk kesakitan. "Di sini, kau buka
Malam itu, angin berhembus lembut di balkon kamar mereka. Salvatore memasukkan ponselnya ke dalam saku celana piyamanya setelah menyelesaikan panggilan. Wajahnya tetap tenang, tetapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.Valeria baru saja keluar dari kamar mandi. Bathrobe putih membalut tubuhnya, sementara tangannya dengan santai mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk. Aroma sampo yang segar memenuhi ruangan, bercampur dengan udara malam yang masuk dari pintu balkon yang terbuka.Dia berjalan mendekat dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Kau sedang menelepon siapa?" tanyanya santai, tapi ada sedikit nada curiga dalam suaranya.Salvatore menoleh, menatapnya sebentar sebelum tersenyum kecil. "Bukan siapa-siapa," jawabnya ringan, seolah itu bukan sesuatu yang penting.Valeria menatapnya lebih lama, mencari kejujuran dalam sorot mata pria itu. Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, Salvatore menarik pinggangnya dengan lembut, mendekapnya erat. Dia membenamk
Salvatore meremas kedua buah dada milik Valeria. Membuat wanita itu melengkungkan tubuhnya di atas pangkuan Salvatore.Bathrobe yang masih menempel di tubuh Valeria pun langsung ditarik Salvatore dan dia buang ke lantai. Salvatore dengan sangat kasar meremas kedua buah dada Valeria dari belakang sambil mengigit bahunya."Ah! Salvatore, kau kasar sekali," pekik Valeria."Kau suka, huh?" bisik Salvatore dengan suara parau.Valeria tak menjawab. Dia mengigit bibirnya, menutup matanya dan mendongak ke atas. Sentuhan Salvatore membuat dirinya terpancing dalam kenikmatan.Dengan cepat, tubuh Valeria sudah berbaring di kasur. Kakinya di tarik Salvatore sampai tubuh bagian bawahnya berada di pinggir ranjang.Mata Salvatore terlihat tajam namun tetap tak bisa menyembunyikan kilatan nafsu di matanya saat melihat milik Valeria yang terbuka lebar di depannya. Salvatore mencium bibir Valeria dengan rakus dengan tangannya meremas paha dalam Valeria dengan kuat.Erangan kecil terlontar dari bibir Va
Valeria baru saja kembali dari memeriksa pesanan catering untuk acara 3 hari kedepan. Salvatore sudah menentukan gedung mana yang akan mereka pakai sejak sebulan yang lalu, sisanya Valeria sendiri yang ingin mengurusnya, karena dia ingin pernikahannya dengan Salvatore menjadi pernikahan yang paling dia ingat sepanjang hidupnya."Menurutmu sudah semuanya?" tanya Morgan."Ya, hanya beberapa dessert perlu ditambah, tapi itu bukan hal penting," balas Valeria."Oke."Setelah keluar dari tempat catering bersama Morgan, Valeria mampir ke supermarket karena dia tiba-tiba saja mengidam puding rasa strawberry. Dia dan morgan berpisah di dalam supermarket karena Morgan ingin mencari sesuatu juga."Aku cuma sebentar, hubungi aku jika perlu sesuatu," ujar Morgan."Jangan seperti orang tua, cerewet sekali. Pergi sana," usir Valeria.Morgan segera berbalik dan pergi ke tempat lain. Valeria pergi ke deretan makanan yang tertata di sana.Saat Valeria sedang memilah-milah puding, tiba-tiba sebuah tanga
Sore itu, langit berwarna jingga keemasan saat Valeria melangkah masuk ke dalam mansion Salvatore. Udara di luar cukup sejuk, tetapi kelelahan terasa jelas di wajahnya setelah seharian mengurus catering untuk pernikahan mereka.Salvatore yang sedang duduk di ruang makan langsung bangkit begitu melihatnya. Tanpa bertanya, dia menggenggam tangan Valeria dan membimbingnya ke sofa."Duduk di sini, aku akan membuatkan sesuatu untukmu," katanya lembut.Valeria tersenyum kecil, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Aku hanya butuh sedikit istirahat," gumamnya sambil melepas sepatu hak tinggi.Salvatore tak mendengarkannya. Dia berjalan ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat salad buah, sesuatu yang ringan dan menyegarkan. Sementara itu, Valeria menyalakan televisi, mencari hiburan setelah hari yang panjang.Layar TV menampilkan berita terbaru—tentang keluarga Ricci yang kini mengalami kemunduran drastis. Valeria menyilangkan kakinya dan tersenyum tipis saat melihat rekaman warta
Hari itu, langit cerah, seolah memberkati pernikahan dua insan yang telah melewati begitu banyak rintangan. Di dalam gereja yang dihiasi dengan bunga putih dan lilin-lilin yang berkelap-kelip, para tamu berdiri dengan penuh kekaguman saat Valeria melangkah masuk, diiringi lantunan musik lembut yang menggema di seluruh ruangan.Valeria terlihat begitu menawan dalam gaun putih panjang yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Mahkota kecil berkilauan di atas kepalanya, dan veil tipis menjuntai hingga ke lantai. Wajahnya cantik, tetapi air matanya hampir jatuh karena emosinya yang meluap-luap. Dia tidak menyangka akan sampai ke hari ini, setelah semua yang terjadi.Di sampingnya, Lorenzo Moretti berdiri tegak dengan ekspresi penuh kebanggaan dan kasih sayang. Tangannya yang kuat menggenggam lengan Valeria dengan lembut, seolah ingin memastikan bahwa putrinya baik-baik saja.Tak bisa dipungkiri jika hato Lorenzo juga sedang berdegup kencang. Ini adalah pertama kalinya dia mengantarkan putri
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv