Di bawah pohon yang rindang, empat kepala tengah berbaring menghadap ke atas. Di sekeliling mereka rumput hijau yang berbunga tumbuh subur semakin menambah keindahan.“Jadi, kalian tidak ingin jujur kepada Ibu?” tanya Alice mencoba mengulik apa yang terjadi. Damian dan Laila saling lirik, “Ibu, kami tidak merahasiakan apa pun darimu,” kilah Damian menolong adiknya.“Benarkah? Kenapa ibu mereka jika kalian berdua mulai menyembunyikan sesuatu, ya.” Alice membalik tubuhnya seperti tengkurap, menatap ketiga orang di hadapannya masih berbaring menatap ke langit biru. “Ayah, tolong beritahu ibu,” bujuk Laila berkata lembut.Baru saja Arsen akan bersuara, Alice langsung berdehem, “Jangan meminta tolong pada Ayahmu. Dia masih Ibu hukum karena kesalahan yang lain,” tukas Alice memicing tajam.Damian dan Laila terkekeh bersama, "Ayah, kali ini, kami tidak bisa menolong," kata Damian, ia menarik adiknya dan bermain bersama.Mendengus pelan, Damian dan Alice pun ikut bangkit dari tidurnya.“Ka
Sampai di rumah sang kakak, Alisa langsung sigap memantau semua pekerjaan tukang. Sebenarnya, di rumah ibunya, kamar bayi sudah disiapkan oleh kakeknya.Sangat disayangkan sekali, Alice meninggalkan rumah dengan alasan yang sampai sekarang pun tak diketahui penyebabnya.Syukurnya, kakeknya—Horison berjiwa yang lapang, dua kamar bayi yang disiapkan masih tetap bersih hingga sekarang.Pria itu, yakin penerus keluarganya pasti akan kembali ke rumahnya.“Nona, bagaimana dengan foto ini, kami letakkan di mana?” tanya si tukang pada Alisa, memang Alisa yang meminta mereka menunggu untuk urusan foto tersebut.Alisa masuk ke dalam kamar yang hampir selesai, terlihat indah dengan satu ranjang besar sesuai dengan keinginan kakaknya."Letakkan saja di atas. Aku rasa di sanalah tempat yang paling baik," katanya setelah lama menimbang.“Baik Nona,” jawabnya langsung meminta para pekerja yang lain untuk melakukan pekerjaannya. Ini adalah pekerjaan terbaik bagi mereka karena diberi kesempatan untuk
“Tentu saja, ayah harus ikut,” kata Alice pada kedua anaknya. Untungnya kini kedua anaknya tidak lagi bertanya banyak hal padanya. “Syukurlah! Aku sangat khawatir jika Ayah tidak datang," katanya jujur.“Panggil dia paman setelah kita sampai di sana, ya.” Alice mengusap kepala anaknya. Ia merasa takut Arsen semakin risih dengan panggilan itu.“Kenapa? Apakah karena kalian tidak bisa bersama?” tanya Laila polos, “Ibu, tidak apa jika tidak bersama, dia tetap ayahku.”Damian melirik adiknya. Sebenarnya dia begitu penasaran dengan orang dewasa. Ibunya tidak memasang foto ayahnya di manapun, tetapi memasang foto pria lain di ponselnya.“Ibu, bolehkah aku bertanya?” Damian meriah tangan ibunya kemudian mendekapnya di dada.“Katakan saja, Sayang?” jawab Alice dengan lembut.Damian dan Laila saling lirik, bocah kecil itu berkata dengan sangat hati-hati, “Foto siapa yang berada di ponsel ibu? Matanya … sangat mirip dengan mataku.”Jantung Alice berdebar kencang, hal ini yang paling ditakutkan
Langit begitu cerah seolah bersaksi jika pertemuan ini adalah yang paling dinanti. Di antara hamparan bunga mawar yang tertata rapi, dua orang dewasa tengah duduk di bangku taman dengan tatapan lurus pada ayunan yang bergoyang.Di depan sana, kedua anak kembar dengan nama yang berbeda tengah bermain sambil bercengkrama.“Alice …,” ujar Leo dalam.“Bagaimana bisa kamu sampai di tempat ini?” balas Alice tanpa menoleh.Sudut bibir Leo terangkat sebelah, membentuk sebuah seringai tajam, “Bukankah seharusnya kamu minta maaf padaku? Kamu mencuci otak anakku dengan kejamnya.”Terdiam dengan napas terengah, ia menelengkan kepala menatap pria yang telah banyak berubah bentuk fisiknya.“Mencuci? Tidakkah kamu merasa jika kata-kata itu terlalu menyakitkan?” desis Alice tak menerima tuduhan itu.“Lalu apa?” balas Leo membalas tatapan wanitanya, jantungnya berdebar, ia bahkan menahan diri dengan keras untuk tidak memeluk, “jelas sekali kedua anakku tidak menyambutku, mereka bahkan melihat asing pa
Di dalam kamar yang begitu besar dan mewah. Boneka serta mobil-mobilan berbagai ukuran ditata dengan sangat rapi. Tidak hanya itu, foto Alice dan Leo terpasang begitu besar di dalam kamar tersebut, entah apa yang Oscar pikirkan hingga tetap memberikan tempat untuk menantu lelakinya.Di dalam kamar tersebut, dua orang dewasa sesaat saling terpaku tatkala menyaksikan dekorasi yang begitu indah dan terkesan menyentuh hati.Menghela napas, perlahan Leo meletakkan anaknya di sisi sebelah kiri, pun dengan Alice yang melakukan hal yang sama. Setelah itu, Alice mengecup kening kedua anaknya.“Terima kasih karena telah menjemput kami,” kata Alice masih terkesan dingin dan acuh.Leonardo mendengus, sikap Alice semakin memberikan kebimbangan pada dirinya. Ia menahan tangan sang istri yang hendak meninggalkan kamar. Pria itu, dengan kasar menarik tangan Alice dan merapatkannya dalam pelukan. Alice melototkan kata, ia tak bisa mengeluarkan suara kencang karena takut kedua anaknya terbangun dan me
Alice histeris, ia terkejut hingga wajahnya memerah. Leo yang awalnya kesal langsung menyeringai, seperti mendapat ide lain untuk membalas dendam pada sang istri.“Apakah kamu ingin mengulangi lagi?” bisiknya tepat di telinga Alice yang sudah membungkus dirinya dengan selimut.“Tidak! Pergilah!” jeritnya tak kuasa jika harus melakukan hal itu.Sudut bibir Leo tertarik membentuk senyuman kecil, ia menarik paksa selimut tebal yang melilit tubuh istrinya dan kembali melanjutkan aktivitas mereka.Alice yang awalnya memberontak pada akhirnya pasrah. Ia tak bisa bebas dalam cengkraman Leo yang semakin ganas.________“Damian, aku lelah,” kata Laila pada saudaranya, “kita cari ibu saja.”Damian yang tengah mengelus rambut kuda besar menoleh, ada Arsen bersama mereka di sana.“Ayo, mungkin saja ibu sudah terlihat,” katanya yakin. Damian mendongak pada Arsen yang lebih banyak diam, pria yang mereka panggil ayah itu sepertinya sangat kelelahan.“Ayah, kita masuk. Aku juga lapar,” terangnya sud
Leonardo berdecak, ia menghempaskan dirinya di pinggir ranjang. Dadanya kembang kempis dengan napas terengah.“Aku tidak tahu, kenapa kamu sampai melakukan ini padaku,” kata Leo setelah beberapa saat terdiam. Ia kecewa marah dan juga gusar.“Mereka sudah dekat sejak bayi, wajar saja–”“Itu karena kamu yang tidak bisa bertahan menungguku. Andai saja, kamu menungguku kembali dan tidak meninggalkan rumah–”Alice yang mendengar itu mendengus, “Kenapa menyalahkan aku? Coba ingat, siapa yang membuat kesalahan pertama kali?” sarkasnya berhasil membungkam suaminya.“Kamu tidak tahu, bagaimana cemasnya aku malam itu, Leon. Kamu berlari menemui kekasihmu, apakah itu tidak menyakitkan?”Leo berdiri, ia mengepalkan tangan dengan wajah mengetat. “Lalu, kamu dengan bangga membalas perbuatan ku satu malam dengan pergi selama lima tahun? Kamu bahkan membiarkan anak-anakku memanggil priamu sebagai kekasih.”Mendengar tuduhan Arsen adalah kekasihnya, Alice tak terima ia pun ikut berdiri menatap tajam s
Laila dan Damian saling pandang lagi, seusia mereka mendengarkan fakta serius seperti ini terasa mengejutkan, tetapi tidak sampai histeris dan membenci ibunya.“Jadi, aku dan Laila memiliki dua ayah?” Laila terlihat lebih antusias, “yes!”Sementara Damian bersikap berbeda, ia mendekat pada Arsen dan memeluknya. Aksi haru yang tak bisa mereka lupakan untuk kedepannya.“Ayah, apakah kamu juga memiliki anak bonus? Seperti aku yang memiliki ayah bonus?”Hanya Oscar yang tertawa, baginya pria tua itu, apa pun yang cucu lelakinya katakan selalu saja terkesan menggemaskan. Bahkan ia sudah memikirkan rumah untuk Damian setelah berusia remaja. “Anak ayah hanya Damian dan Laila. Tidak boleh ada lagi,” kata Arsen cukup mengiris hati semua orang termasuk Silvia.“Sementara Damian dan Laila adalah anak hebat, pintar dan juga sangat beruntung sehingga memiliki banyak orang yang menyayangi.”Alice mengusap kepala anaknya, setidaknya ia sudah bisa memprediksikan jika kedua anaknya tidak menolak sama
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t