Laila dan Damian saling pandang lagi, seusia mereka mendengarkan fakta serius seperti ini terasa mengejutkan, tetapi tidak sampai histeris dan membenci ibunya.“Jadi, aku dan Laila memiliki dua ayah?” Laila terlihat lebih antusias, “yes!”Sementara Damian bersikap berbeda, ia mendekat pada Arsen dan memeluknya. Aksi haru yang tak bisa mereka lupakan untuk kedepannya.“Ayah, apakah kamu juga memiliki anak bonus? Seperti aku yang memiliki ayah bonus?”Hanya Oscar yang tertawa, baginya pria tua itu, apa pun yang cucu lelakinya katakan selalu saja terkesan menggemaskan. Bahkan ia sudah memikirkan rumah untuk Damian setelah berusia remaja. “Anak ayah hanya Damian dan Laila. Tidak boleh ada lagi,” kata Arsen cukup mengiris hati semua orang termasuk Silvia.“Sementara Damian dan Laila adalah anak hebat, pintar dan juga sangat beruntung sehingga memiliki banyak orang yang menyayangi.”Alice mengusap kepala anaknya, setidaknya ia sudah bisa memprediksikan jika kedua anaknya tidak menolak sama
“Ibu, kita tunggu saja dia menelepon,” kata Alisa ikut merasakan kekecewaan, “aku sangat ingin melihat keponakanku, dia kejam sekali.”Luna mendengus kasar, kabar kedatangan Alice begitu cepat terendus, bahkan beberapa postingan berhasil mendapat gambar menantunya.“Dia seperti menunjukkan pada kita bahwa dia orang paling terpandang,” gerutu Luna. “Ibu duduklah! Jaga kesehatanmu, aku akan membicarakan ini pada kakak.” Alisa sudah berdiri dan siap untuk bertemu kakaknya, tetapi pria yang menjadi kakaknya itu terlihat sangat terburu-buru.“Kak, mau kemana?”Leo menoleh dan mendapati ibu dan adiknya mendekat. Ibunya memang sengaja datang untuk melihat kabar anaknya yang Alisa rancang untuk cucunya kebetulan sekali, ia mendengar jika Alice sudah kembali.“Aku ingin ke rumah mertuaku, aku akan bawa kedua cucu ibu besok,” kata Leo serius.“Ibu tidak setuju,” bantah Luna, “jangan mencarinya, kita lihat apakah Alice akan membawa cucuku atau dia benar-benar tidak menghargai keluarga kita lagi
Oscar menepuk pundak Arsen berulang kali dengan pelan. Pria muda yang semangatnya luar biasa ini sudah pantas mendapat hadiah ini.“Paman, Anda memiliki menantu, bukankah lebih baik–”“Leo akan menolak. Dia adalah pimpinan di perusahaan miliknya. Jika dia diberikan tanggung jawab ini, aku khawatir dia tidak akan mampu,” katanya, “lagipula, ini sudah lama paman rencanakan, jauh sebelum Alice menikah dengan Leo.”“Paman …,” ucap Arsen merasa tidak enak.“Setelah acara pertunangan Silvia, bersiaplah, kamu akan aku tugaskan di sana. Paman juga sudah menyediakan satu rumah untukmu.”Menggeleng tidak enak. “Paman jangan seperti ini, aku akan terima tanggung jawab dari Paman, tetapi dengan rumah sepertinya sangat berlebihan.”Oscar kembali tertawa, “Tidak ada yang berlebihan untuk seorang anak. Kamu sudah aku anggap seperti putraku, jadi jangan katakan hal-hal yang bisa menyakiti hatiku,” katanya pelan tetapi tegas.“Maafkan aku Paman. Aku akan lakukan apa pun untukmu.”Membuang napas kasar
“Jadi, apa saja yang pria itu lakukan saat aku tidak di sampingmu?” tanya Leo, saat ini mereka sudah terbaring dengan saling memeluk.“Tidak ada.” “Kenapa membelanya? Katakan saja, apa saja yang dilakukan? Aku bisa–”“Jangan mulai, aku dan Arsen masih waras. Tidak mungkin saling berpelukan ketika tak memiliki hubungan,” bibir Alice sengaja ingin menyentil Leo.“Alice, aku tahu aku salah, tetapi mengungkit kesalahanku terus menerus seperti menikamku berkali-kali.”Terkekeh pelan, Alice mendesah, “Aku mengantuk, jika kamu masih ingin bercerita, katakan saja, aku akan mendengar.” “Tidurlah! Aku belum menemui ayah. Apakah dia sudah tidur?” bisik Leo merasa tidak sopan, datang dan pergi tampan diundang.“Ayah masih di ruang kerjanya. Ada Arsen juga bersamanya,” jelas Alice mulai melemah, ia mengangguk dan sangat lelah.Mendengus kasar, Arsen selalu bisa mencuri hati mertuanya. Akan tetapi, kali ini, Leo merasa sedikit lega karena tahu, istrinya tak berpaling darinya.“Lebih baik tidur, b
Oscar terus tertawa, ia mendengarkan ocehan Laila yang dirias oleh ayahnya dengan asal. Pria tua itu, terlihat sangat bahagia hingga terlihat ada air di sudut mata.“Ayahmu memang tidak berpengalaman,” timpal Oscar mengusap air matanya. “Benar,” kata Laila membenarkan, ia pun juga ikut tertawa senang. Menyaksikan kehangatan anak dan ayahnya, Alice tersenyum kecil, ia senang karena masih bisa melihat ayahnya yang tertawa seperti itu.“Ayahmu sangat bahagia,” kata Amanda melihat ke arah yang sama dengan putrinya.“Hum, aku senang karena masih bisa melihat ayah sebahagia itu,” tukasnya lagi.Amanda mengangguk. Ia mengusap lengan putrinya. Begitu banyak derita yang pernah Alice alami selama di rumah mertuanya, satu tahun lamanya, anaknya dijadikan pelayan di rumah suaminya sendiri.“Ibu mertuamu, maafkan karena terlambat menyadari jika mereka–”“Ibu, semua sudah berlalu. Lagipula, itu sudah sangat lama, lebih baik kita tidak perlu membahas ini, ya,” kata Alice memotong ucapan ibunya.Am
Laila dan Damian menatap takjub pada kamar baru mereka. Di lantai bawah dan lantai atas, sama sama desainnya, hanya saja. Damian lebih menyukai di lantai atas.“Bagaimana, apakah kalian suka?” Horison bertanya setelah keduanya turun lagi ke lantai bawah di kawal oleh dua pelayan sekaligus.“Suka, Laila suka yang di atas,” katanya yang diangguki oleh Damian juga, “tetapi Kakek jangan bersedih, aku juga suka yang di lantai bawah.”Horison tertawa mengangguk. Ia meraih kedua bocah kesayangan untuk di peluk, keduanya sangat mirip dengan Leo dan Alice.“Kakek senang, karena kalian akhirnya mengunjungi kakek tua ini,” katanya mulai terdengar sedih.Alice yang berada di sana pun ikut merasakan kesedihan itu, merasa bersalah.“Kakek, jangan bersedih. Aku dan Damian akan sering berkunjung, benarkan Ibu,” kata Laila meminta persetujuan dari ibunya.Alice mengangguk. “Kita bisa berkunjung setelah Laila dan Damian libur sekolah.”Leo yang baru tahu kedua anaknya bersekolah lantas ikut bersuara, “
Luna masuk kembali ke dalam rumahnya. Merasa lega karena akhirnya Alice mau membawa kedua cucunya untuk bertemu. Akan tetapi, wanita itu masih tetap merasa ada yang kurang.“Ibu ingin bertemu dengan Dara, kamu tahu di mana dia tinggal sekarang?”Alisa yang hendak ke kamarnya langsung berbalik. Terlihat raut tidak suka dari adik Leonardo itu. “Ibu, untuk apa menemui dia lagi,” kata Alisa tidak setuju, “bagaimana jika kakek atau bahkan nyonya Amanda tahu.” Luna mendengus, “Ibu hanya ingin memperingati dirinya. Alice sudah kembali, sudah seharusnya dia menjauh dan tidak membuat masalah baru lagi.”Menggeleng kuat. “Aku yang akan bicara pada Dara. Ibu lebih baik jangan terlihat bersama Dara atau nyonya Delima dulu, ya.”“Semua karena Alice. Andai saja dia tidak berpura-pura menjadi gadis miskin, ini tidak akan terjadi. Ibu merasa dijebak oleh semua orang.”Alisa mendekat kemudian mengusap lengan ibunya lembut. “Lebih baik Ibu istirahat saja. Aku sepertinya akan ke kantor saja, kasihan p
“Pekerjaan apa sampai memeluk?” cibir Alice sambil berdecak kecil.Leo melangkah dan mendekat, ia berdiri di sebelah sang istri dan langsung mengangkat dengan satu tangan. Alice yang sadar tak boleh membangunkan kedua anaknya langsung menutup mulut menghadap dada bidang sang suami.Leo membawa Alice keluar dari kamar dengan langkah lebarnya. “Jangan sampai berteriak atau Damian dan Laila terbangun.”Alice memukul punggung suaminya pelan. “Turunkan aku!”“Tidak akan,” balas Leo menyeringai, “aku akan menghukummu.”Tiba di dalam kamar mereka. Leo membawa Alice ke dalam ruang pribadi miliknya, ruang yang menjadi saksi bagaimana sedihnya dirinya selama kepergian sang istri.Ia meletakkan Alice dengan hati-hati di atas kasur, kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya.“Kenapa dikunci? Bagaimana jika Laila dan Damian terbangun?”“Mereka anak-anak yang pintar, tahu jika ayahnya tengah dalam kerinduan besar,” kata Leo tersenyum tipis.“Jangan menatapku seperti itu, aku masih marah padamu,
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t