“Siapa kau, apa yang kau inginkan?” pria itu tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kita sudah melewatkan pertanyaan basa-basi itu?”
“Ouh, Mister maksudku Tuan, aku tidak tahu tentang apa ini semua, tapi saat ini aku tidak tertarik mendengar basa-basi aku hanya ingin tahu apa maksudmu menjebakku di sini.”
“Kau tidak tertarik?” Pria dengan setelan jas mewah buatan tangan itu kini menatap Cahaya seperti sebuah barang antik.
“Tentu saja aku tidak tertarik. Aku tidak punya bakat menjadi aktris,” tukasnya jengkel.
“Aktris?” Sekarang pria itu yang kelihatan bingung.
“Ya, itu tujuan Anda da—“
“Alex, sudah kukatakan kau bisa memanggilku Alex.”
Cahaya memindai Alex dengan tatapan penuh minat yang tidak disembunyikan. Pria itu jangkung, tingginya mungkin lebih dari 180cm, dan dari aksen dna juga garis wajahnya pria ini jelas tidak berasal dari negara yang sama dengannya atau mungkin blasteran?
“Sudah?” Alex menyilangkan kedua lengannya. “Sekarang katakan apa kau punya minat untuk menikah?”
Selama beberapa detik Cahaya hanya bisa menganga sampai kemudian tawanya meledak memenuhi seluruh ruangan. Matanya sampai berair tapi saat melihat wajah datar di depannya semua keriangan yang ia rasakan menguap.
“Maaf,” ucapnya, meski ia tidak terdengar menyesal sama sekali. Cahaya berdehem sebelum membuka suara.
“Aku tahu biasanya dalam film-film yang kutonton orang-orang kaya atau katakanlah superkaya menyewa seorang wanita lemah dan tidak berdaya untuk menjebaknya dalam pernikahan kontrak tapi Mister—“
“Alex.”
“Aku tidak tertarik dalam hal-hal seperti itu. Aku tidak sedang terlilit hutang, aku tidak punya kedua orang tua yang harus kurawat. Nenekku baru saja meninggal. Jadi keadaanku sama sekali tidak cocok dijadikan sebagai lampion untuk mewujudkan keinginanmu. Kau bisa mencari orang lain untuk dijadikan istri bayaran.”
“Kau ini tidak waras ya?”
Cahaya mengangkat dagunya. “’Kau memang tampan, sangat tampan malahan tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membuatku menuruti keinginanmu, Mister.”
“Alex,” geramnya lelah.”Sekali lagi kau mengucapkan kata Tuan atau Mister…aku akan membungkammu dengan cara yang tidak bisa kau bayangkan.”
Cahaya berdiri saat perutnya melilit mendengar ancaman tersirat itu. Ia benci dengan reaksi tubuhnya. “Ini tidak masuk akal. Apa yang kulakukan? Aku melibatkan diri dalam percakapan yang aneh dan janggal.” Matanya kini tertuju sepenuhnya pada Alex. “Maafkan atas kelancangan saya, tapi minuman apa yang bisa saya suguhkan untuk Anda?”
“Theos meo…”
Dia menggunakan kata itu lagi.
Alex mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
“Atasi kehebohan yang terjadi di sini. Aku perlu bicara dengan gadis ini sekarang!”
Mata Cahaya melebar sempurna. Detik kalimat itu diucapkan Cahaya merasakan dorongan kuat untuk melarikan diri jadi ia pun berlari. Namun, sebuah tangan kuat dan keras berhasil menahan langkahnya.
“Kau tidak akan pergi ke mana pun!”
“Lepaskan! Ini penculikan!” Cahaya mengedarkan pandangan, mencari bala bantuan yang ia tahu tidak akan datang. Apa tidak ada orang yang melihat kejadian ini?
Ia ditarik dan diseret keluar.
“Kau mau membawaku ke mana? Apa ini penculikan sebelum pembunuhan? Di novel-novel yang kubaca—“
“Kau disleksia bagaimana kau bisa membaca?”
“Ada yang namanya audio Mister! Kau hidup di abad berapa? Dan ngomong-ngomong aku tidak mau ikut denganmu!” Untuk memperjelas maksudnya Cahaya mengigit tangan yang mencengkeramnya sekuat tenaga.
“Auu!”
Pegangan di pergelangan tangannya lepas. Cahaya tersenyum puas. “Aku tidak mau diseret seperti tong sampah dan aku jelas tidak mau—“
“Kau banyak bicara dan itu menyebalkan!”
Alex menarik Cahaya dan membopong wanita itu dibahunya.
“Apa-apaan ini! Hei, kau tidak bisa menyeret seseorang dan mengangkatnya seperti sekarung beras. Kalau di novel-novel yang kubaca—“
“Sekali lagi kau menyebut novel aku benar-benar akan menunjukkan apa yang dilakukan tokoh utama dalam novel saat dia sedang marah.”
“Apa ini saatnya kau akan membungkamku dengan ciuman? Atau mendorongku ke sudut dan memerangkapku dengan maskulinitas dan daya tarik seksualmu. Biasanya dalam film-film yang kutontotn mereka melakukannya.”
Alex membanting Cahaya ke dalam limusin yang sudah terbuka. Semua kalimat yang ingin dikatakan Cahaya terlupakan saat ia melihat interior dalam mobil.
“Ya ampun!” pekiknya takjub. Matanya membelalak dan bibirnya terbuka. Seseorang bisa tertidur di dalam sini selama-lamanya dan tidak akan ada keluhan. Limusin ini bahkan jauh lebih luas dari kamarnya yang sempit, pikirnya miris.
Suara pintu di sampingnya terbuka dan sosok Alex yang besar dan juga angkuh memenuhi ruangan di dalam mobil.
“Jalan.”
Cahaya memiringkan badannya agar bisa menatap Alex. “Sebenanya ini apa? atau apa ini benar-benar nyata?”
“Jangan katakan apa pun sampai aku mengijinkanmu bicara.”
“Wow, sombong sekali kau. Apa semua orang biasanya selalu menuruti keinginanmu?” Cahaya menatap Alex dengan mata menyipit.
“Jujur saja kau ini siapa? Dan tolong biarkan aku pergi karena aku punya pekerjaan yang harus kulakukan.”
“Tidak ada pekerjaan sebelum semuanya jelas.”
“Jelas?” gumam Cahaya bingung. Ia menatap jalanan “Dan ngomong-ngomong kita ke mana?”
Kali ini seringai membingkai wajah tampan Alex. Matanya berkilat saat mengatakan,
“Apa di novel-novel mereka tidak mengatakan ke mana tokoh utamanya membawa seseorang yang diculiknya?”
Cahaya otomatis menyilangkan kedua lengannya didepan dada. “Ap-apa kau mau memaksaku agar tidur bersamamu? Itu tidak boleh!”
Pemikiran itu ternyata menimbulkan rekasi yang tidak terduga. Cahaya melihat mata pria itu menyipit dan bibirnya berkedut menahan tawa.
“Bahkan jika kau telanjang aku tidak akan tertarik padamu. Kau hanya anak-anak.”
Ya ampun!
Baru kali ini ada yang mengatakan seorang Cahaya sebagai anak-anak. Cahaya menundukkan pandangan, menatap bentuk tubuhnya. Ia memiliki dada yang penuh dan pinggul yang sempurna. Satu-satunya masalah adalah wajahnya yang terkadang membuat orang salah paham mengenai usianya.
“Aku wanita dewasa!” bantahnya tidak terima.
Alex tertawa meremehkan. “Ya, cukup dewasa untuk bisa keluar malam mungkin.”
“Dan kau! Apa kau perjaka tua yang tidak laku-laku? Dalam novel-novel—“
“Ya Tuhan!”
Cahaya mengerjap saat melihat pria yang duduk di sampingnya itu kini memejamkan matanya dan kembali mengeluarkan sjeumlah kata umpatan dalam bahasa yang tidak ia pahami.
“Jangan pernah menyebut kata novel lagi atau aku benar-benar akan membuatmu hidup dalam dunia novel yang dipenuhi dengan tokoh jahat.”
Cahaya merasa darahnya mendidih. “Aku gugup. Kau orang asing dan kau menculikku!” teriaknya keras.
“Aku tidak menculikmu.”
“Kalau begitu biarkan aku pergi!”
“’Memangnya kau tahu ini di mana?”
Saat itulah Cahaya menyadari kalau ia berada di wilayah yang sama sekali asing. Meski jalanan dipenuhi dengan bangunan kokoh tinggi menjulang Cahaya sama sekali belum pernah ke wilayah ini.
“Ini di mana?” pekiknya ngeri. Kepanikan mulai menguasai. Cahaya benci tempat-tempat baru dan hal-hal tidak terduga.
“Kita perlu bicara.”
“Aku tidak mau bicara padamu!” balasnya sengit. Cahaya mendekat, bermaksud untuk menggigit tangan pria itu kembali tapi ternyata ia kalah cepat. Kedua tangan pria itu mencengkream lengannya dan menariknya melewati kepala.
“Percayalah kau benar-benar tidak ingin aku melakukan ini.”
Cahaya menelan ludah saat mencium aroma cendana menguar dari tubuh pria itu. Kedekatan mereka sejenak melumpuhkan kinerja otaknya.
“Lepaskan!”
Tangannya terlepas. Cahaya buru-buru memperbaiki posisi duduknya.
“Aku benar-benar membencimu. Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi!”
Anehnya Cahaya bisa melihat senyum pria itu, begitu angkuh dan sinis.
“Sayangnya, kau akan terjebak bersamaku untuk waktu yang sangat lama, agape mou.”
Jonathan bersumpah kalau yang ia temui barusan adalah bocah yang menghibur hari-harinya yang menyedihkan dengan membaca novel-novel roman dan film romantis yang memberikan akhir bahagia penuh cinta dan juga kasih sayang. Sayang sekali, kedua hal itu jauh dari kehidupan Jonathan. Cinta dan kasih sayang mengabur dari dalam hidupnya seiring dengan pengkhianatan yang ia terima dan lihat.“Bagiamana? Sudah bertemu dengannya?”Jonathan menatap kakeknya lekat. Di antara semua orang di keluarga mereka kakeknya adalah satu-satunya orang yang ia hormati. Kakeknya banyak mengajarinya hal-hal yang membuatnya mampu bertahan di antara konflik keluarga yang terasa mencekik.“Dia benar-benar masih lugu. Ini tidak benar, Grandpa.”Alfred duduk di singgasananya. Mereka berada di ruang kerja Alfred sementara di lantai bawah ada keluarga yang sedang menunggu mereka. Semua keluarga malam ini berkumpul untuk mengumumkan pernikahan Jonathan dan ia tidak akan membiarkan keraguan atau ketidakyakinan tergambar
Cahaya menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu, mengabaikan tatapan penuh peringatan yang dilemparkan Flo padanya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya Cahaya saat berhadapan dengan seorang pria bersetelan hitam tanpa ekspresi di hadapannya.Enam orang, batin Cahaya saat menghitung jumlah orang yang datang memenuhi halaman rumah mereka.“Kami datang untuk menjemput Anda, Nona. Malam ini dan seterusnya Anda akan tinggal di rumah keluarga Hardin.”Satu alis Cahaya terangkat. Di sampingnya, Flo yang sudah pulih dari kekagetannya kini memandang Cahaya dengan mata membelalak.“Apa maksudnya itu, Aya?” bisik Flo terkejut.Cahaya mengabaikannya, ia menatap pria bertubuh besar tersebut dengan jengkel.“Maaf, tapi ini rumahku dan aku akan tinggal di sini.”Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian melakukan panggilan. Cahaya menunggu saat melihat pria itu bercakap-cakap melalui telepon dengan seseorang yang Cahaya perkirakan sebagai
Cahaya mendesah penuh kelegaan begitu tarikan di rambutnya lepas. Ia meringis sesaat, kemudian membuka mata—dan membeku.Alex!Pria itu sama sekali tidak menatapnya dan Cahaya merasa bersyukur karenanya karena sosok Alex yang sekarang begitu berbeda dengan pria yang menjemputnya kemarin. Alex sedang memancarkan kemarahan termonuklirnya. Matanya yang membakar dan wajahnya yang kaku bisa membuat nyali siapapun menciut. Cahaya menoleh pada Merlin yang sekarang terlihat pucat pasi.“Ng..Alex, ap-apa yang kau lakukan di sini?” saat gugup kata-kata yang keluar dari mulut Cahaya biasanya seperti peluru yang dilepaskan. Tidak terkontrol.Alex mengabaikan Cahaya dan sekarang Cahaya punya firasat kalau pria itu juga marah padanya.“Kurasa harus ada balasan untuk tindakan ‘baik seperti itu bukan?”Cahaya bingung, tapi Alex lagi-lagi mengabaikannya. Pria itu justru menarik ponsel dari saku celananya untuk melakukan panggilan.“Albert, ini aku. Ya, kurasa kau membutuhkan evalusi terkait manager ka
Alex tidak mungkin ingin menciumnya kan? Cahaya menelan ludah susah payah. Kedekatan mereka melumpuhkan kinerja otaknya. Aroma cendana yang menguar dari tubuh Alex membuat pikiran Cahaya lumpuh.Alex menunduk hingga bibir mereka hanya sejauh helaan napas, tapi kemudian pria itu menjauh dengan seringai lebar di wajahnya yang tampan.Apa-apaan!“Kau—aauchh,” gumam Cahaya mengaduh, menyentuh keningnya yang baru saja mendapat jentikan maut dari tangan Alex.“Jangan memancingku, Aya. Ayo kita pergi dari sini.” Kali ini Alex bahkan tidak menunggu Cahaya. Pria itu berjalan melewati pintu tanpa menoleh ke belakang.Cahaya menggerutu sembari mengusap keningnya yang malang. Percuma melarikan diri, dewi batinnya menegur dengan mata melebar jengkel.Kubilang juga apa!“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Cahaya begitu masuk dan duduk nyaman di dalam mobil.Alex mengangkat satu tangannya, membungkam Cahaya saat pria itu menarik ponsel dari saku celananya.“Tidak, aku tidak ingin ini menjadi konsum
Cahaya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai. Begitu dia keluar dan mengangkat kepala, Cahaya disuguhi pemandangan berupa rumah besar indah yang dikelilingi pepohonana hijau rimbun yang membuat udara disekitarnya terasa dingin dan sejuk.Cahaya memeluk dirinya sendiri.“Dingin?”Cahaya menggeleng. “Hanya menikmati pemandangan.”Rumah ini memiliki halaman luas yang bisa dugunakan sebagai kandang kuda, pikir Cahaya.“Kau tinggal di sini?” Kekaguman mewarnai suaranya saat melihat bangunan bertIngkat sewarna gading dengan konsep resort yang berdiri tinggi menjulang seperti pertunjukkan kekayaan.“Ayo.”Cahaya mengerutkan kening. Apa Alex sengaja mengabaikan pertanyaannya? Cahaya mengedikkan bahunya. Bukan urusannya di mana pria itu tinggal.“Waw, kolam renang?” Cahaya memekik seperti anak kecil saat melihat kolam renang kebiruan tampak berkilauan seperti mutiara.Kolam renang di dalam ruangan? Well, pemilik rumah ini sepertinya memiliki ide sen
Ini pasar daging. Oh Tuhan. Apa yang ia lakukan di sini saat semua pandangan menatapnya dengan tatapan tidak suka. Suasana begitu mencekam hingga Cahaya takut dia terkena serangan jantung. Satu-satunya penghiburan yang membuatnya sedikit lebih tenang adalah kehadiran Alex di sampingnya.Cahaya ingin menggenggam tangan Alex hanya untuk meyakinkan dirinya kalau pria itu tidak akan meninggalkannya di sini sendirian, tapi Cahaya berusaha menahan keinginannya. Di bawah pandangan semua orang rasanya hal itu tidak pantas dilakukan.“Kurasa hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenalkan semua orang.”Pria tua berwajah ramah yang menyambutnya pertama kali membuka suara. Cahaya asumsikan mungkin itulah Kakek Alex yang disebutkan pria itu sebelumnya.“Cahaya, ini David dan Grace, orang tua Jonathan.”Jonathan?Cahaya melirik Alex dengan tatapan penuh tanya.“Namaku Jonathan Alexander,” gumam Alex, menjawab pertanyaan tak terucap Cahaya.“Lalu kenapa kau menyebut namamu Alex padaku?” bisik C
Tidak keberatan?Mungkin ada yang bermasalah dengan otak Alex?Atau mungkin…Cahaya menelan ludah, mungkin Alex sama tidak normalnya dengan dirinya?“Kau…mau menikah denganku?” pekiknya melengking. Matanya melebar syok.Alex tampak tak terpengaruh dengan reaksi Cahaya. Dia menyampirkan jasnya di lengan kursi kemudian melipat kemejanya sampai di atas siku.“Apa yang gagal kau pahami adalah bahwa Grandpa bisa sangat meyakinkan jika dia mau. Kalau kau menolak—yang menurutku percuma, Grandpa akan menemukan cara untuk membujukmu. Ini.” Alex melempar botol jus jeruk pada Cahaya yang ditangkap wanita itu dengan gelagapan.“Tidak mungkin Kakek Alfred tetap memaksa saat aku menolak gagasan itu ‘kan? Apa tidak ada minuman yang lain?” tanyanya jengkel saat melihat jus jeruk yang diberikan Alex. Lagi.Alex menunjuk dengan wajahnya. “Lihat saja di sana.”Cahaya beringsut dari sofa kemudian mendekati mini bar yang ada di samping Alex. Saat melihat isinya Cahaya memutuskan untuk mengambil diet coke.
“Jadi, apa yang terjadi sebenarnya? Cahaya setuju menikah? Begitu saja?” Alfred menatap Alex dengan tatapan aku-tahu-terjadi-sesuatu dengan mata hitamnya yang tajam yang terkadang membuat Alex bertanya-tanya, apa mungkin Granpa bisa membaca dirinya?“Padahal sebelumnya dia begitu gigih ingin menolakmu.”Alex memutar matanya. “Menolakku? Itu terdengar berlebihan. Dia tidak menolakku, Grandpa. Dia hanya gadis muda, berubah pikiran biasa terjadi pada kaumnya kan?”Alfred tertawa. “Sepertinya dia berhasil membuatmu kebingungan.”“Merepotkan.”Alex tidak akan mengakui kalau sebenarnya ia juga penasaran alasan Cahaya berubah pikiran begitu cepat. Apa mungkin gadis itu sudah menyadari pengaruh kekuasaan Grandpa-nya? atau…Alex sungguh tidak ingin memikirkannya tapi kemungkinan itu berputar-putar di kepalanya. Apa ini karena ciuman waktu itu?Alex merasa amat sangat bodoh karena dengan mudahnya terkonfrontasi dengan pertanyaan kejam Cahaya. Seharusnya waktu itu ia cukup menjawab, bukannya bers
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku
“SIALAN‼”Suara gelas yang pecah menggema memenuhi ruang tamunya yang mewah. Cairan merah pekat dengan cepat membasahi lantai marmer yang dilapisi karpet berwarna putih. David mulai berjalan mondar-mandir membuat ketiga orang yang kebetulan satu ruangan dengannya menatapnya dengan waspada seolah David bisa saja menyerang mereka dan berubah menjadi gila.“Wanita sialan itu mendapatkan warisan, bisa kalian bayangkan kegilaan itu! dan seakan belum cukup gila anak yang belum jelas keberadaannya mendapatkan bagian saham juga? Apa ada yang lebih sinting dari itu?” teriaknya marah.Kedua tangan David mengepal sangat erat. “Alfred bodoh itu benar-benar tahu bagaimana membuat kita kesal rupanya.” Tawanya pecah, namun, tidak seorangpun di ruangan itu yang kelihatannya tertarik untuk tertawa.“Padahal dia punya putra tapi dia lebih suka menyerahkan semuanya pada Alex, lalu dia anggap apa kami selama ini.” Kegetiran dalam suaranya semakin menyuramkan ruangan.“Kenapa Alex? apa yang dia lakukan ya
Inilah pertama kalinya semua keluarga Hardin berkumpul dalam satu ruangan. Cahaya bahkan ingat kalau kedua orang tua Kavin tidak menghadiri pernikahan mereka, tapi sekarang sepasang suami istri itu tengah duduk dengan tenangnya di antara semua orang seolah ini hanya pertemuan rutin yang biasa dilakukan.Begitu mendapat telepon dari pengacara Kakek Alfred, ia dan Alex bergegas pulang dari Mykonos dan meski Cahaya sudah melakukan semua cara untuk membujuk Alex agar pria itu mengatakan alasan kenapa mereka harus pulang secepatnya, Alex menolak menjawabnya sampai sekarang. Jadi di sinilah mereka, duduk di sofa keluarga di antara semua yang hadir.Cahaya mengamati satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Meski bukan ahli dalam membaca wajah tapi Cahaya harus mengakui dengan berat hati kalau duka jelas tidak ada di wajah mereka semua.Mungkin yang dikatakan Alex benar bahwa tidak seorang pun yang berduka kehilangan Kakek Alfred. Dan Cahaya tidak bisa tidak merasa sedih untuk pria tua itu,
Seharian ini Alex mengacuhkannya. Pria itu sibuk dengan dunianya sendiri. Begitu tiba di Mykonos, Alex sama sekali tidak membuang waktu. Dia masuk ke dalam kamar yang keberadaannya belum pernah Cahaya masuki dan sampai sekarang belum keluar.Cahaya mondar-mandir di kamarnya—atau kamar mereka lebih tepatnya. Sudah 12 jam berlalu sejak kedatangan mereka ke pulau ini yang berarti sudah selama itu Alex terjebak di sana. Sebenarnya apa yang dia lakukan di kamar itu atau yang lebih membingungkan apa yang mereka lakukan di sini?Cahaya gelisah takut terjadi sesuatu, tapi suasana hati Alex yang gelap menyurutkan keberaniannya untuk mendekati pria itu.“Ayolah, Cahaya, dia suamimu sendiri, memangnya apa yang bisa terjadi?” Cahaya bergumam sendiri saat berdiri di depan kamar tempat Alex mengurung diri.Cahaya menarik napas dalam-dalam kemudian mengetuk.“Alex….”Tidak ada jawaban selain keheningan, Cahaya kembali mengetuk sampai beberapa kali hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama. Takut ter