Cahaya mendesah penuh kelegaan begitu tarikan di rambutnya lepas. Ia meringis sesaat, kemudian membuka mata—dan membeku.
Alex!
Pria itu sama sekali tidak menatapnya dan Cahaya merasa bersyukur karenanya karena sosok Alex yang sekarang begitu berbeda dengan pria yang menjemputnya kemarin. Alex sedang memancarkan kemarahan termonuklirnya. Matanya yang membakar dan wajahnya yang kaku bisa membuat nyali siapapun menciut. Cahaya menoleh pada Merlin yang sekarang terlihat pucat pasi.
“Ng..Alex, ap-apa yang kau lakukan di sini?” saat gugup kata-kata yang keluar dari mulut Cahaya biasanya seperti peluru yang dilepaskan. Tidak terkontrol.
Alex mengabaikan Cahaya dan sekarang Cahaya punya firasat kalau pria itu juga marah padanya.
“Kurasa harus ada balasan untuk tindakan ‘baik seperti itu bukan?”
Cahaya bingung, tapi Alex lagi-lagi mengabaikannya. Pria itu justru menarik ponsel dari saku celananya untuk melakukan panggilan.
“Albert, ini aku. Ya, kurasa kau membutuhkan evalusi terkait manager kafe ini. Dia memperlakukan manusia seperti binatang.”
“Tidak, tidak, tidak, kumohon,” Merlin berlari dengan tumit tingginya dan mencengkeram bagian depan jas Alex. “Ak-aku minta maaf, aku—“
“Pecat dia! Kecuali kau mau kejadian yang sama terulang dan jangan salahkan aku kalau kafe ini mendapat ulasan buruk yang berakibat langsung pada operasi bar ini.” Alex mematikan sambungan.
“Singkirkan tanganmu dariku!” Alex menepis tangan Merlin dengan jijik, hingga tubuh wanita itu terjengkang ke belakang.
“Aku minta maaf, aku hanya—“
“Kurasa permintaan maaf itu tidak tepat untukku,” potong Alex datar. “Bukan begitu, Merlin?” alex mengucapkannya dengan lembut, tapi bahkan orang bodoh sekalipun tahu kata-kata itu seperti sengatan yang mengandung racun.
Air mata membuat riasan Merlin terlihat mengerikan. Noda hitam memenuhi kelopak matanya yang basah. Merlin berbalik menatap Cahaya.
“Aku minta maaf Cahaya, aku, kurasa aku hanya sedang stress…”
“Kau cemburu, Merlin,” potong Cahaya, kini menatap Merlin yang balik menatapnya dengan ekspresi terkejut. “Dan karena alasan yang tidak masuk akal itu kau nyaris membunuhku karena kebenciamu yang tidak beralasan.”
Perkataan Cahaya rupanya menyulut kemarahan Merlin, alih-alih terlihat menyesal wanita itu justru terlihat sangat marah.
“Apa kau tidur dengan Albert? Itukah alasan kenapa pria itu mau menerimamu bekerja di sini? Kau sengaja memanfaatkan wajahmu untuk membuatnya takluk, bukan?”
Merlin tersenyum menantang pada Alex. “Apa kau tahu julukan wanita itu di sini?”
Alex mengangkat satu alisnya, sama sekali tidak berminat untuk membalas.
“Idiot, bodoh dan si dungu. Kau tahu kenapa?”
Wajah Merlin menunjukkan kepuasan mengerikan. “Karena dia disleksia. Kau pasti menyesal sekarang karena membelanya bukan? Dia hanya wanita idiot yang menggunakan wajahnya untuk menarik simpati orang banyak.”
“Tuduhanmu tidak berdasar dan jika ada seseorang yang tidur dengan atasannya bukankah orang itu kau Merlin?”
Mata Merlin membelalak lebar, mengejutkan Cahaya.
“Ba-bagaimana…”
“Terkejut karena aku mengetahuinya?” Alex tersenyum sinis.
“Aku tahu kau tidur dengan Albert. Tindakan tidak bermoral yang kau tuduhkan pada Cahaya seharusnya disematkan padamu karena kaulah yang melakukannya. Tidur demi mendapatkan jaminan kerja? Well, kau pasti sangat sibuk akhir-akhir ini.”
“Aku tidak—“
“Tidur dengan pria yang sudah menikah?” Alex mencebik. “Itu perbuatan amoral yang tidak termaafkan. Kusarankan kau untuk menjauh sebelum aku benar-benar bertindak karena percayalah, saat aku melakukannya kau pasti tidak akan menyukainya.”
Cahaya menatap Alex dengan mulut menganga, takjub bagaimana pria itu membuat satu kalimat sederhana terdengar seperti vonis kematian. Namun, begitu pandangan pria itu tertuju padanya, Cahaya berharap bumi menelannya saat itu juga.
O oh.
“Dan sekarang kita perlu bicara.”
Detik kalimat itu diucapkan, Cahaya kembali merasakan desiran aneh dibalik punggungnya.
“Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan,” tolaknya halus. Cahaya mengeluarkan senyumnya yang paling manis.
“Jangan membuat permainan denganku Cahaya. Kejadian ini tidak akan terjadi kalau kau menurut dan tinggal di kediaman Hardin. Mau menjelaskan sesuatu tentang hal itu?” Alex bersedekap, menatap tajam Cahaya.
Cahaya mengedarkan pandangan. Aneh sekali melakukan pembicaraan di ruang ganti yang sempit dan gelap ini.
“Aku tidak punya alasan untuk tinggal di rumah kalian. Kenapa aku harus melakukan apa pun yang dusuruh orang-orang menyeramkan itu?” Cahaya mengedarkan pandangan, memastikan tidaka da satu orangpun yang bisa mendengar pembicaraan mereka, tapi kemudian dia melihat Merlin yang wajahnya serupa dengan hantu saking pucatnya.
Ya ampun!
“Kita pergi dari sini.”
Cahaya tidak sadar kalau Alex menyeretnya sampai mereka keluar dan orang-orang memandang dengan penuh minat. Merasa menjadi pusat perhatian Cahaya menyembunyikan wajahnya dengan menundukkan pandangan.
“Tegakkan kepalamu. Kau bukan penjahat.”
“Aku malu, aku tidak suka menjadi pusat perhatian,” tukasnya datar saat Alex terus menyeretnya menuju pintu keluar.
“Sayang sekali karena sebentar lagi seluruh negeri ini akan memusatkan perhatian padamu. Saran saja, persiapkan dirimu.”
Cahaya menyentak tangannya begitu mereka berada di luar.
“Apa maksudnya itu?”
“Kau tidak tahu?” Suara Alex terdengar tenang, tapi bahkan bagi Cahaya sendiri nada itu membuatnya mengambil langkah mundur tanpa sadar.
“Ak-aku, ini tidak mungkin terjadi,” bantah Cahaya.
“Kau benar.”
Eh?
“Mungkin sebaiknya kau menemui Kakek tua itu dan bertanya sendiri padanya. Masuk!”
Cahaya menatap pintu mobil yang terbuka dan Alex yang berdiri dengan angkuh secara bergantian.
Berapa banyak peluang yang dimilikinya?
“Jangan coba-coba melarikan diri,” ujar Alex mengingatkan, seakan tahu apa yang dipikirkan Cahaya.
Akan tetapi Cahaya tetap melakukannya. Ia melarikan langkah secepatnya. Namun, baru beberapa langkah sebuah lengan kokoh menangkup pinggangnya.
“Inilah kenapa berurusan dengan bocah itu menyebalkan. Mereka selalu memandang larangan sebagai tantangan.”
“Lepaskan! Kau pikir apa yang kau lakukan!” teriak Cahaya.
“Diam, aku tidak suka menarik perhatian, Aya. Lebih cepat kau menurut lebih mudah untuk kita semua.”
“Aku akan menurut. Sumpah! Tapi tolong turunkan aku! Ini memalukan.” Cahaya bisa merasakan wajahnya memanas. Mereka berada di pinggir jalan. Demi Tuhan!
“Kalau kau berani melarikan diri lagi—“
Tapi Cahaya memang melakukannya. Begitu kakinya menjejak tanah Cahaya berlari sekuat tenaga, mendorong pintu kafe dan membantingnya.
Kepuasan mengalir di pembuluh darahnya begitu yakin dia bebas.
Untuk sementara waktu, dewi batinnya yang sedang duduk di singgasana dengan pakaian terbaiknya menyeringai padanya.
Kerja bagus.
Cahaya mengintip lewat pintu dan saat dia tidak melihat sosok Alex, seringai lebar berubah menjadi senyum kemenangan.
Bagus!
Cahaya berbalik—dan tahu-tahu dia ditarik hingga tubuhnya menabrak benda padat yang terasa keras.
“Hei—“
Cahaya mendongak dan dia melihat mata sehitam jelaga yang membuat seluruh darahnya terkuras.
“Saatnya melakukan pertunjukkan seperti yang ada di film yang kau tonton bukan?”
Alex tidak mungkin ingin menciumnya kan? Cahaya menelan ludah susah payah. Kedekatan mereka melumpuhkan kinerja otaknya. Aroma cendana yang menguar dari tubuh Alex membuat pikiran Cahaya lumpuh.Alex menunduk hingga bibir mereka hanya sejauh helaan napas, tapi kemudian pria itu menjauh dengan seringai lebar di wajahnya yang tampan.Apa-apaan!“Kau—aauchh,” gumam Cahaya mengaduh, menyentuh keningnya yang baru saja mendapat jentikan maut dari tangan Alex.“Jangan memancingku, Aya. Ayo kita pergi dari sini.” Kali ini Alex bahkan tidak menunggu Cahaya. Pria itu berjalan melewati pintu tanpa menoleh ke belakang.Cahaya menggerutu sembari mengusap keningnya yang malang. Percuma melarikan diri, dewi batinnya menegur dengan mata melebar jengkel.Kubilang juga apa!“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Cahaya begitu masuk dan duduk nyaman di dalam mobil.Alex mengangkat satu tangannya, membungkam Cahaya saat pria itu menarik ponsel dari saku celananya.“Tidak, aku tidak ingin ini menjadi konsum
Cahaya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai. Begitu dia keluar dan mengangkat kepala, Cahaya disuguhi pemandangan berupa rumah besar indah yang dikelilingi pepohonana hijau rimbun yang membuat udara disekitarnya terasa dingin dan sejuk.Cahaya memeluk dirinya sendiri.“Dingin?”Cahaya menggeleng. “Hanya menikmati pemandangan.”Rumah ini memiliki halaman luas yang bisa dugunakan sebagai kandang kuda, pikir Cahaya.“Kau tinggal di sini?” Kekaguman mewarnai suaranya saat melihat bangunan bertIngkat sewarna gading dengan konsep resort yang berdiri tinggi menjulang seperti pertunjukkan kekayaan.“Ayo.”Cahaya mengerutkan kening. Apa Alex sengaja mengabaikan pertanyaannya? Cahaya mengedikkan bahunya. Bukan urusannya di mana pria itu tinggal.“Waw, kolam renang?” Cahaya memekik seperti anak kecil saat melihat kolam renang kebiruan tampak berkilauan seperti mutiara.Kolam renang di dalam ruangan? Well, pemilik rumah ini sepertinya memiliki ide sen
Ini pasar daging. Oh Tuhan. Apa yang ia lakukan di sini saat semua pandangan menatapnya dengan tatapan tidak suka. Suasana begitu mencekam hingga Cahaya takut dia terkena serangan jantung. Satu-satunya penghiburan yang membuatnya sedikit lebih tenang adalah kehadiran Alex di sampingnya.Cahaya ingin menggenggam tangan Alex hanya untuk meyakinkan dirinya kalau pria itu tidak akan meninggalkannya di sini sendirian, tapi Cahaya berusaha menahan keinginannya. Di bawah pandangan semua orang rasanya hal itu tidak pantas dilakukan.“Kurasa hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenalkan semua orang.”Pria tua berwajah ramah yang menyambutnya pertama kali membuka suara. Cahaya asumsikan mungkin itulah Kakek Alex yang disebutkan pria itu sebelumnya.“Cahaya, ini David dan Grace, orang tua Jonathan.”Jonathan?Cahaya melirik Alex dengan tatapan penuh tanya.“Namaku Jonathan Alexander,” gumam Alex, menjawab pertanyaan tak terucap Cahaya.“Lalu kenapa kau menyebut namamu Alex padaku?” bisik C
Tidak keberatan?Mungkin ada yang bermasalah dengan otak Alex?Atau mungkin…Cahaya menelan ludah, mungkin Alex sama tidak normalnya dengan dirinya?“Kau…mau menikah denganku?” pekiknya melengking. Matanya melebar syok.Alex tampak tak terpengaruh dengan reaksi Cahaya. Dia menyampirkan jasnya di lengan kursi kemudian melipat kemejanya sampai di atas siku.“Apa yang gagal kau pahami adalah bahwa Grandpa bisa sangat meyakinkan jika dia mau. Kalau kau menolak—yang menurutku percuma, Grandpa akan menemukan cara untuk membujukmu. Ini.” Alex melempar botol jus jeruk pada Cahaya yang ditangkap wanita itu dengan gelagapan.“Tidak mungkin Kakek Alfred tetap memaksa saat aku menolak gagasan itu ‘kan? Apa tidak ada minuman yang lain?” tanyanya jengkel saat melihat jus jeruk yang diberikan Alex. Lagi.Alex menunjuk dengan wajahnya. “Lihat saja di sana.”Cahaya beringsut dari sofa kemudian mendekati mini bar yang ada di samping Alex. Saat melihat isinya Cahaya memutuskan untuk mengambil diet coke.
“Jadi, apa yang terjadi sebenarnya? Cahaya setuju menikah? Begitu saja?” Alfred menatap Alex dengan tatapan aku-tahu-terjadi-sesuatu dengan mata hitamnya yang tajam yang terkadang membuat Alex bertanya-tanya, apa mungkin Granpa bisa membaca dirinya?“Padahal sebelumnya dia begitu gigih ingin menolakmu.”Alex memutar matanya. “Menolakku? Itu terdengar berlebihan. Dia tidak menolakku, Grandpa. Dia hanya gadis muda, berubah pikiran biasa terjadi pada kaumnya kan?”Alfred tertawa. “Sepertinya dia berhasil membuatmu kebingungan.”“Merepotkan.”Alex tidak akan mengakui kalau sebenarnya ia juga penasaran alasan Cahaya berubah pikiran begitu cepat. Apa mungkin gadis itu sudah menyadari pengaruh kekuasaan Grandpa-nya? atau…Alex sungguh tidak ingin memikirkannya tapi kemungkinan itu berputar-putar di kepalanya. Apa ini karena ciuman waktu itu?Alex merasa amat sangat bodoh karena dengan mudahnya terkonfrontasi dengan pertanyaan kejam Cahaya. Seharusnya waktu itu ia cukup menjawab, bukannya bers
“Apa Grandpa serius memilih gadis itu sebagai menantu dari keluarga Hardin? Dia bukan hanya bodoh tapi dari kelas rendahan. Aku tidak percaya, Jonathan setuju menikah dengannya.” Elena berjalan mondari-mandir di ruang kerjanya.Pertemuan keluarga yang baru saja terjadi sukses membuatnya meradang. Kenapa harus gadis itu?“Dia cantik.”Komentar itu menghasilkan tatapan sengit di wajah Elena. “Dia idiot,” tukasnya kejam. “Dia hanya akan jadi bahan ejekan di keluarga ini dan aku berniat melakukannya.” Senyum sinis terukir di wajahnya yang cantik. Bibir yang dipoles dengan lipstrik sewarna darah itu melengkung membentuk senyum yang membuat wajahnya terlihat menakutkan.“Kau cemburu karena akhirnya dia berhasil mendapatkan Jonathan?”Kedua tangannya terkepal di kedua sisi. “Aku tidak mengerti. Apa sih yang dilihat Jonathan dari wanita itu? Kenapa dia mau menikahinya? Seharusnya itu…aku.” Kalimat terakhir diucapkan dengan penuh luka. Ia sudah berhasil menyingkirkan semua wanita yang ada di s
“Permintaan?”Cahaya mengangguk tidak kentara. “Ini tentang pernikahan.”Tangan Alex yang hendak meraih gelas berhenti di udara. “Ada apa dengan pernikahan?” Apa dia berubah pikiran? Apa dia menyesali keputusannya? Alex menyilang kakinya, meletakkan kedua tangannya di atas lutut, menunggu Cahaya melanjutkan.Cahaya menarik napas panjang, terlihat seperti orang yang sedang mengumpulkan tekad. “Setelah menikah aku tetap ingin bekerja.”“Kenapa?” tanya Alex lebih kepada heran daripada keberatan. “Tentunya kau tahu kalau aku akan menjamin semua kebutuhanmu kan? Kau tidak perlu bekerja untuk mencari uang. Apa kau sudah memeriksa rekening bank-mu hari ini?”Cahaya terlihat kebingungan. “Kenapa aku harus melakukannya?”“Karena aku sudah memasukkan sejumlah uang untuk kau gunakan. Apa jumlahnya kurang?”Pertanyaan Alex membuat Cahaya memasukkan tangan ke dalam tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Sekali lagi Cahaya melirik Alex sebelum membuka akun bank-nya. Kerutan di kening Cahaya melebar saa
Elena adalah impian yang terwujud bagai para lelaki. Tubuh tinggi proporsional, wajah cantik dan memiliki kulit putih yang membuat iri. Cahaya berusaha menelan perasaan rendah diri yang perlahan menyusup dalam dadanya saat melihat Elena melenggok dengan keanggunan yang membuat Cahaya merasa seperti preman.Wanita itu jelas cantik.“Elena, ada apa? Aku tidak tahu kita punya janji hari ini?”Elena masuk dengan senyum yang bisa membuat pertahanan para pria runtuh. Dia mendekat dan memeluk Alex.“Ada yang ingin kubicarakan mengenai pembukaan hotel yang ada di Guapisima. Menurutmu kita perlu mengundang walikota? Aku yakin ini akan membuat media tertarik.”Elena duduk tanpa menoleh pada Cahaya seolah mereka tidak berada dalam ruangan yang sama.Bah!Alex melirik Cahaya sekilas.“Kurasa kita bisa membicarakannya lain waktu, saat ini aku punya urusan yang lebih penting.”Urusan yang lebih penting?Whoa.Bunga kemenangan mekar dalam tubuhnya. Cahaya menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya.
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku
“SIALAN‼”Suara gelas yang pecah menggema memenuhi ruang tamunya yang mewah. Cairan merah pekat dengan cepat membasahi lantai marmer yang dilapisi karpet berwarna putih. David mulai berjalan mondar-mandir membuat ketiga orang yang kebetulan satu ruangan dengannya menatapnya dengan waspada seolah David bisa saja menyerang mereka dan berubah menjadi gila.“Wanita sialan itu mendapatkan warisan, bisa kalian bayangkan kegilaan itu! dan seakan belum cukup gila anak yang belum jelas keberadaannya mendapatkan bagian saham juga? Apa ada yang lebih sinting dari itu?” teriaknya marah.Kedua tangan David mengepal sangat erat. “Alfred bodoh itu benar-benar tahu bagaimana membuat kita kesal rupanya.” Tawanya pecah, namun, tidak seorangpun di ruangan itu yang kelihatannya tertarik untuk tertawa.“Padahal dia punya putra tapi dia lebih suka menyerahkan semuanya pada Alex, lalu dia anggap apa kami selama ini.” Kegetiran dalam suaranya semakin menyuramkan ruangan.“Kenapa Alex? apa yang dia lakukan ya
Inilah pertama kalinya semua keluarga Hardin berkumpul dalam satu ruangan. Cahaya bahkan ingat kalau kedua orang tua Kavin tidak menghadiri pernikahan mereka, tapi sekarang sepasang suami istri itu tengah duduk dengan tenangnya di antara semua orang seolah ini hanya pertemuan rutin yang biasa dilakukan.Begitu mendapat telepon dari pengacara Kakek Alfred, ia dan Alex bergegas pulang dari Mykonos dan meski Cahaya sudah melakukan semua cara untuk membujuk Alex agar pria itu mengatakan alasan kenapa mereka harus pulang secepatnya, Alex menolak menjawabnya sampai sekarang. Jadi di sinilah mereka, duduk di sofa keluarga di antara semua yang hadir.Cahaya mengamati satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Meski bukan ahli dalam membaca wajah tapi Cahaya harus mengakui dengan berat hati kalau duka jelas tidak ada di wajah mereka semua.Mungkin yang dikatakan Alex benar bahwa tidak seorang pun yang berduka kehilangan Kakek Alfred. Dan Cahaya tidak bisa tidak merasa sedih untuk pria tua itu,
Seharian ini Alex mengacuhkannya. Pria itu sibuk dengan dunianya sendiri. Begitu tiba di Mykonos, Alex sama sekali tidak membuang waktu. Dia masuk ke dalam kamar yang keberadaannya belum pernah Cahaya masuki dan sampai sekarang belum keluar.Cahaya mondar-mandir di kamarnya—atau kamar mereka lebih tepatnya. Sudah 12 jam berlalu sejak kedatangan mereka ke pulau ini yang berarti sudah selama itu Alex terjebak di sana. Sebenarnya apa yang dia lakukan di kamar itu atau yang lebih membingungkan apa yang mereka lakukan di sini?Cahaya gelisah takut terjadi sesuatu, tapi suasana hati Alex yang gelap menyurutkan keberaniannya untuk mendekati pria itu.“Ayolah, Cahaya, dia suamimu sendiri, memangnya apa yang bisa terjadi?” Cahaya bergumam sendiri saat berdiri di depan kamar tempat Alex mengurung diri.Cahaya menarik napas dalam-dalam kemudian mengetuk.“Alex….”Tidak ada jawaban selain keheningan, Cahaya kembali mengetuk sampai beberapa kali hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama. Takut ter