"Idiot."
Cahaya mengira kalau ia terbiasa mendengarnya rasa sakitnya akan semakin berkurang. Sejak kecil julukan 'bodoh, idiot, tolol' sudah menjadi makanan sehari-harinya. Kekurangannya menjadi bahan ejekan menyenangkan buat orang lain, tapi ternyata ia tetap merasakan tusukan kecil di sudut jantungnya."Jangan menyebutku, Idiot, Merlin, aku bukan idiot." Cahaya mulai membersihkan meja dan mengangkut gelas-gelas kotor. Jam kerjanya sebentar lagi habis, itu berarti ia bisa pulang secepatnya.Dan menjauh dari manager kafe bermulut pedas ini.Perempuan berambut sebahu dengan mata sebesar kelereng itu tersenyum mengejek. "Kalau bukan idiot kau mau disebut apa? bodoh? atau mungkin si Cacat?"Cahaya memejamkan mata, berusaha menekan amarah yang tiba-tiba menguasainya. Ia harus bisa bertahan, tidak banyak kafe yang mau mempekerjakan seseorang seperti dirinya. Cahaya mengangkut gelas dan membawanya ke belakang, memutuskan untuk mengabaikan Merlin, tapi ternyata wanita itu belum selesai dengan Cahaya."Kenapa seseorang sepertimu bisa bekerja di sini? Kau bahkan tidak bisa membaca petunjuk dengan benar. Kau tahu yang mana lorong sebelah kiri, Cahaya?" ejek Merlin sembari bersedekap dengan sikap menantang.Cahaya meletakkan gelas yang ia bawa, menatap Merlin dengan tatapan lelahnya. Sekejap, pandangannya menatap telapak tangannya di mana sebuah tato dengan ukuran sangat kecil terlukis di sana."Apa sebenarnya masalahmu? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu seharusnya layak menghinaku?"Mereka mulai menjadi tontonan beberapa karyawan. Cahaya sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang kesulitan menerima kekurangannya. Ia bisa menerimanya, tapi ia tidak pernah bisa mengerti kenapa kekurangannya selalu dijadikan alasan untuk membuatnya terlihat tidak kompeten?Demi Tuhan! Ia bekerja keras di sini."Sebaiknya kau pergi. Hari ini banyak pengunjung kecuali kau mau menggantikanku di sini?"Merlin melotot. "Kau tahu apa yang paling membuatku jengkel?" bibir tipisnya memutir membentuk cibiran. "Selain fakta bahwa kau sering membuat masalah, kau menggunakan wajahmu untuk membuat orang-orang mengasihanimu.""Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku layak mendapat belas kasihan siapapun! Itu masalahmu bukan masalahku."Telunjuk Merlin terangkat dan berhenti tepat di depan wajah Cahaya."Jangan harap lain kali kau lolos. Sekali lagi ada keluhan mengenai dirimu, aku akan memastikan kau dipecat! Tidak peduli jika pemilik kafe ini tergila-gila padamu."Merlin melangkah keluar, meninggalkan Cahaya dengan desahan panjangnya. Matanya mengabur, tapi Cahaya dengan cepat menepisnya. Tidak boleh ada air mata, sudah terlalu banyak air mata yang keluar akhir-akhir ini."Pesanan nomor 17!" barista yang sedang sibuk menyiapkan minuman berseru dan Cahaya menyambar kesempatan itu untuk menjauh dari Merlin. Ia meraih dan membawanya dengan cepat. Namun, baru beberapa langkah Cahaya tersandung, mengakibatkan ia terjatuh dan berakhir mencium lantai yang keras yang sekarang berwarna hitam pekat.Terdengar suara tawa dan Cahaya mendongak."Upss, kau baik-baik saja?"Merlin yang berdiri menjulang di depan Cahaya tersenyum mengejek."Lihat akibat perbuatanmu! Kau membuat pelanggan marah, Cahaya."Cahaya mengabaikannya. Ia justru berdiri dan cepat-cepat membungkuk pada pengunjung yang pakaiannya sekarang bernoda karena ketumpahan minuman yang dibawanya."Maafkan saya, Mbak, saya akan mengganti minuman Anda.." Suaranya bergetar karena emosi yang mengancam meruntuhkan pertahanannya. Beberapa pengunjung menatap Cahaya dengan sorot mata kasihan."Dan sekarang lihat itu? ouh, maaf, kau tidak bisa membaca, kasihan sekali. Mau kubacakan apa yang tertulis di sana?"Kedua tangan Cahaya terkepal erat di sisinya. Ia bukannya tidak bisa membaca, ia kesulitan membaca. Kenapa orang-orang kesulitan memahami perbedaan itu? Cahaya memang pusing dan selalu mual membaca huruf-huruf yang berbaris panjang berjejer memenuhi halaman kertas, tapi bukan berarti ia tidak bisa membaca. Jika ia benar-benar berusaha amat sangat keras Cahaya bisa membaca apa pun."Kenyamanan pengunjung adalah misi kami, membuat mereka nyaman adalah dedikasi kami," Merlin mulai membaca kata-kata yang tertulis di dinding kafe yang selalu dibacakan sebelum kafe dibuka. Cahaya sudah menghapalnya karena selalu mendengar kalimat itu kapanpun ia mendapat giliran pagi."Mau kulanjutkan untukmu?" Merlin sepertinya belum puas menyudutkan Cahaya yang sudah pucat pasi.Cahaya mengabaikan Merlin, sebagai gantinya ia kembali memandang pengunjung yang ketumpahan minuman yang dibawanya. Cahaya membungkuk 90 derajat untuk menunjukkan penyesalannya. Air matanya nyaris tumpah, tapi Cahaya berusaha menekannya sekuat tenaga. Rasanya melelahkan selalu ditatap dengan pandangan kasihan dari orang-orang.Seolah ia tidak normal.Seorang ia makhluk asing.Cahaya berlari ke belakang sebelum pertahanannya runtuh dan ia menangis. Sayangnya begitu ia sendirian air matanya menganak sungai mengaburkan pandangan."Merlin membuat ulah lagi?"Cahaya buru-buru menghapus air matanya. Ia menarik-narik otot wajahnya yang kaku dan memasang senyumnya."Hai Flo, tidak, Merlin tidak melakukan yang lebih parah hari ini jadi mestinya semua baik-baik saja," ucapnya menenangkan."Dia keterlaluan, kenapa kau tidak mengadukannya saja? Atasan kita pasti tertarik mendengarnya."Cahaya menggeleng. Ia pernah melakukannya dan justru berakhir buruk. Kali ini ia akan menghadapinya. Siapa yang tahu Merlin akhirnya lelah sendiri dan menyerah mengusiknya?"Aku baik-baik saja. Kurasa sebaiknya aku pulang karena kau sudah datang."Flo mengangguk. "Ini."Cahaya menerima kunci rumah yang diulurkan Flo. Mereka memang tinggal satu rumah dan Flo juga yang mengenalkannya pada pekerjaan ini, membantunya pulih dari duka yang masih menyelimutinya."Aku pergi dulu." Cahaya melambaikan tangan setelah mengganti seragamnya dengan pakaian sehari-harinya.Udara sore membelai wajah Cahaya begitu kakinya menginjak tanah. Senyumnya mengembang saat melihat sinar matahari masih membumbung di langit yang berwarna kemerahan.Sejenak Cahaya memejamkan matanya.Tanpa Cahaya sadari seseorang tengah mengamati gerak-geriknya dari dalam mobil hitam tidak jauh dari bar tempatnya bekerja."Itu orangnya?" si pria yang duduk di kursi belakang bertanya pada pria yang duduk di kursi kemudi."Ya, Tuan.""Sial! Dia masih sangat muda! Apa yang dipikirkan Kakek tua itu sebenarnya?"Si pria yang duduk di kursi kemudi diam karena sebenarnya dia juga tidak diharapkan untuk memberikan tanggapan. Ucapan itu hanya bentuk kekesalan."Kita kembali sekarang. Aku harus membuat perhitungan dengan kakek tua itu atau aku terpaksa membuat gadis itu menderita."Jonathan Alexander Hardin, cucu kedua dari keluarga Hardin kini sedang berjalan melintasi ruang tamu keluarga dengan wajah sekeras batu dan kemarahan seperti granit. Langkahnya yang lebar membuat beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya otomatis mundur dan memilih menjauh.Tidak ada yang ingin berhadapan dengan Jonathan yang marah.“Di mana Granpa?” suaranya yang dingin dan terdengar kaku membuat pelayan yang ditanya menunduk takut-takut.“Beliau ada di ruang baca, Tuan.”Jonathan mengeluarkan sejumlah kata makian. Ia benci rumah ini, tapi sekarang ini ia tidak punya pilihan lain. Kakinya yang panjang berjalan menaiki 2 anak tangga sekaligus. Ia berbelok melewati lorong yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan mahal abad ke-16 dan langsung berhenti begitu melihat pintu ruangan yang Jonathan tuju.Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum akhirnya menarik pintu terbuka.“Grandpa.”Suaranya berhasil menarik perhatian seorang pria tua yang tengah sibuk memandangi rak-rak buk
Terdengar suara ribut-ribut dan pekikan histeris saat Cahaya masuk kafe lewat pintu belakang. Para pelayan tampak sibuk berbisik satu sama lain. Wajah mereka terlihat sumringah dan juga penuh semangat. Jadi setidaknya bukan hal buruk yang sedang terjadi, pikirnya.Cahaya memandang Flo, teman sekamarnya yang hari ini satu sift dengannya.“Apa kita melewatkan sesuatu hari ini?”Flo mengangkat bahu. “Selama kita tidak terlibat dalam masalah, apa pun yang kita lewatkan bukan hal penting.”Cahaya tersenyum lebar. “Kau benar.”Mereka masuk ke ruang ganti dan mengganti pakaian dengan seragam kafe. Teriakan-teriakan yang mengikuti mereka mulai terdengar samar. Saat Cahaya bergerak ke depan untuk mengumpulkan gelas dan juga piring yang kotor, Merlin mencekal tangannya.“Dia lebih penting sejuta kali daripada dirimu. Jangan membuat kesalahan atau kau benar-benar akan dipecat kali ini.”Cahaya mengernyit tidak paham. “Apa maksudmu?”Merlin menunjuk gelas yang ada di meja konter.“Antarkan minuma
“Siapa kau, apa yang kau inginkan?” pria itu tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kita sudah melewatkan pertanyaan basa-basi itu?”“Ouh, Mister maksudku Tuan, aku tidak tahu tentang apa ini semua, tapi saat ini aku tidak tertarik mendengar basa-basi aku hanya ingin tahu apa maksudmu menjebakku di sini.”“Kau tidak tertarik?” Pria dengan setelan jas mewah buatan tangan itu kini menatap Cahaya seperti sebuah barang antik.“Tentu saja aku tidak tertarik. Aku tidak punya bakat menjadi aktris,” tukasnya jengkel.“Aktris?” Sekarang pria itu yang kelihatan bingung.“Ya, itu tujuan Anda da—““Alex, sudah kukatakan kau bisa memanggilku Alex.”Cahaya memindai Alex dengan tatapan penuh minat yang tidak disembunyikan. Pria itu jangkung, tingginya mungkin lebih dari 180cm, dan dari aksen dna juga garis wajahnya pria ini jelas tidak berasal dari negara yang sama dengannya atau mungkin blasteran?“Sudah?” Alex menyilangkan kedua lengannya. “Sekarang katakan apa kau punya minat untuk menikah?”Selam
Jonathan bersumpah kalau yang ia temui barusan adalah bocah yang menghibur hari-harinya yang menyedihkan dengan membaca novel-novel roman dan film romantis yang memberikan akhir bahagia penuh cinta dan juga kasih sayang. Sayang sekali, kedua hal itu jauh dari kehidupan Jonathan. Cinta dan kasih sayang mengabur dari dalam hidupnya seiring dengan pengkhianatan yang ia terima dan lihat.“Bagiamana? Sudah bertemu dengannya?”Jonathan menatap kakeknya lekat. Di antara semua orang di keluarga mereka kakeknya adalah satu-satunya orang yang ia hormati. Kakeknya banyak mengajarinya hal-hal yang membuatnya mampu bertahan di antara konflik keluarga yang terasa mencekik.“Dia benar-benar masih lugu. Ini tidak benar, Grandpa.”Alfred duduk di singgasananya. Mereka berada di ruang kerja Alfred sementara di lantai bawah ada keluarga yang sedang menunggu mereka. Semua keluarga malam ini berkumpul untuk mengumumkan pernikahan Jonathan dan ia tidak akan membiarkan keraguan atau ketidakyakinan tergambar
Cahaya menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu, mengabaikan tatapan penuh peringatan yang dilemparkan Flo padanya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya Cahaya saat berhadapan dengan seorang pria bersetelan hitam tanpa ekspresi di hadapannya.Enam orang, batin Cahaya saat menghitung jumlah orang yang datang memenuhi halaman rumah mereka.“Kami datang untuk menjemput Anda, Nona. Malam ini dan seterusnya Anda akan tinggal di rumah keluarga Hardin.”Satu alis Cahaya terangkat. Di sampingnya, Flo yang sudah pulih dari kekagetannya kini memandang Cahaya dengan mata membelalak.“Apa maksudnya itu, Aya?” bisik Flo terkejut.Cahaya mengabaikannya, ia menatap pria bertubuh besar tersebut dengan jengkel.“Maaf, tapi ini rumahku dan aku akan tinggal di sini.”Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian melakukan panggilan. Cahaya menunggu saat melihat pria itu bercakap-cakap melalui telepon dengan seseorang yang Cahaya perkirakan sebagai
Cahaya mendesah penuh kelegaan begitu tarikan di rambutnya lepas. Ia meringis sesaat, kemudian membuka mata—dan membeku.Alex!Pria itu sama sekali tidak menatapnya dan Cahaya merasa bersyukur karenanya karena sosok Alex yang sekarang begitu berbeda dengan pria yang menjemputnya kemarin. Alex sedang memancarkan kemarahan termonuklirnya. Matanya yang membakar dan wajahnya yang kaku bisa membuat nyali siapapun menciut. Cahaya menoleh pada Merlin yang sekarang terlihat pucat pasi.“Ng..Alex, ap-apa yang kau lakukan di sini?” saat gugup kata-kata yang keluar dari mulut Cahaya biasanya seperti peluru yang dilepaskan. Tidak terkontrol.Alex mengabaikan Cahaya dan sekarang Cahaya punya firasat kalau pria itu juga marah padanya.“Kurasa harus ada balasan untuk tindakan ‘baik seperti itu bukan?”Cahaya bingung, tapi Alex lagi-lagi mengabaikannya. Pria itu justru menarik ponsel dari saku celananya untuk melakukan panggilan.“Albert, ini aku. Ya, kurasa kau membutuhkan evalusi terkait manager ka
Alex tidak mungkin ingin menciumnya kan? Cahaya menelan ludah susah payah. Kedekatan mereka melumpuhkan kinerja otaknya. Aroma cendana yang menguar dari tubuh Alex membuat pikiran Cahaya lumpuh.Alex menunduk hingga bibir mereka hanya sejauh helaan napas, tapi kemudian pria itu menjauh dengan seringai lebar di wajahnya yang tampan.Apa-apaan!“Kau—aauchh,” gumam Cahaya mengaduh, menyentuh keningnya yang baru saja mendapat jentikan maut dari tangan Alex.“Jangan memancingku, Aya. Ayo kita pergi dari sini.” Kali ini Alex bahkan tidak menunggu Cahaya. Pria itu berjalan melewati pintu tanpa menoleh ke belakang.Cahaya menggerutu sembari mengusap keningnya yang malang. Percuma melarikan diri, dewi batinnya menegur dengan mata melebar jengkel.Kubilang juga apa!“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Cahaya begitu masuk dan duduk nyaman di dalam mobil.Alex mengangkat satu tangannya, membungkam Cahaya saat pria itu menarik ponsel dari saku celananya.“Tidak, aku tidak ingin ini menjadi konsum
Cahaya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai. Begitu dia keluar dan mengangkat kepala, Cahaya disuguhi pemandangan berupa rumah besar indah yang dikelilingi pepohonana hijau rimbun yang membuat udara disekitarnya terasa dingin dan sejuk.Cahaya memeluk dirinya sendiri.“Dingin?”Cahaya menggeleng. “Hanya menikmati pemandangan.”Rumah ini memiliki halaman luas yang bisa dugunakan sebagai kandang kuda, pikir Cahaya.“Kau tinggal di sini?” Kekaguman mewarnai suaranya saat melihat bangunan bertIngkat sewarna gading dengan konsep resort yang berdiri tinggi menjulang seperti pertunjukkan kekayaan.“Ayo.”Cahaya mengerutkan kening. Apa Alex sengaja mengabaikan pertanyaannya? Cahaya mengedikkan bahunya. Bukan urusannya di mana pria itu tinggal.“Waw, kolam renang?” Cahaya memekik seperti anak kecil saat melihat kolam renang kebiruan tampak berkilauan seperti mutiara.Kolam renang di dalam ruangan? Well, pemilik rumah ini sepertinya memiliki ide sen
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku
“SIALAN‼”Suara gelas yang pecah menggema memenuhi ruang tamunya yang mewah. Cairan merah pekat dengan cepat membasahi lantai marmer yang dilapisi karpet berwarna putih. David mulai berjalan mondar-mandir membuat ketiga orang yang kebetulan satu ruangan dengannya menatapnya dengan waspada seolah David bisa saja menyerang mereka dan berubah menjadi gila.“Wanita sialan itu mendapatkan warisan, bisa kalian bayangkan kegilaan itu! dan seakan belum cukup gila anak yang belum jelas keberadaannya mendapatkan bagian saham juga? Apa ada yang lebih sinting dari itu?” teriaknya marah.Kedua tangan David mengepal sangat erat. “Alfred bodoh itu benar-benar tahu bagaimana membuat kita kesal rupanya.” Tawanya pecah, namun, tidak seorangpun di ruangan itu yang kelihatannya tertarik untuk tertawa.“Padahal dia punya putra tapi dia lebih suka menyerahkan semuanya pada Alex, lalu dia anggap apa kami selama ini.” Kegetiran dalam suaranya semakin menyuramkan ruangan.“Kenapa Alex? apa yang dia lakukan ya
Inilah pertama kalinya semua keluarga Hardin berkumpul dalam satu ruangan. Cahaya bahkan ingat kalau kedua orang tua Kavin tidak menghadiri pernikahan mereka, tapi sekarang sepasang suami istri itu tengah duduk dengan tenangnya di antara semua orang seolah ini hanya pertemuan rutin yang biasa dilakukan.Begitu mendapat telepon dari pengacara Kakek Alfred, ia dan Alex bergegas pulang dari Mykonos dan meski Cahaya sudah melakukan semua cara untuk membujuk Alex agar pria itu mengatakan alasan kenapa mereka harus pulang secepatnya, Alex menolak menjawabnya sampai sekarang. Jadi di sinilah mereka, duduk di sofa keluarga di antara semua yang hadir.Cahaya mengamati satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Meski bukan ahli dalam membaca wajah tapi Cahaya harus mengakui dengan berat hati kalau duka jelas tidak ada di wajah mereka semua.Mungkin yang dikatakan Alex benar bahwa tidak seorang pun yang berduka kehilangan Kakek Alfred. Dan Cahaya tidak bisa tidak merasa sedih untuk pria tua itu,
Seharian ini Alex mengacuhkannya. Pria itu sibuk dengan dunianya sendiri. Begitu tiba di Mykonos, Alex sama sekali tidak membuang waktu. Dia masuk ke dalam kamar yang keberadaannya belum pernah Cahaya masuki dan sampai sekarang belum keluar.Cahaya mondar-mandir di kamarnya—atau kamar mereka lebih tepatnya. Sudah 12 jam berlalu sejak kedatangan mereka ke pulau ini yang berarti sudah selama itu Alex terjebak di sana. Sebenarnya apa yang dia lakukan di kamar itu atau yang lebih membingungkan apa yang mereka lakukan di sini?Cahaya gelisah takut terjadi sesuatu, tapi suasana hati Alex yang gelap menyurutkan keberaniannya untuk mendekati pria itu.“Ayolah, Cahaya, dia suamimu sendiri, memangnya apa yang bisa terjadi?” Cahaya bergumam sendiri saat berdiri di depan kamar tempat Alex mengurung diri.Cahaya menarik napas dalam-dalam kemudian mengetuk.“Alex….”Tidak ada jawaban selain keheningan, Cahaya kembali mengetuk sampai beberapa kali hanya untuk mendapatkan jawaban yang sama. Takut ter