Kian menghela napas berat sambil berguling ke samping. Wajahnya langsung kesal sambil memberengut. Laureta bingung.
“Ada apa, Kian?”
“Ah, menyebalkan sekali. Aku mau mandi sekarang.”
Kian pun bangkit dari kasur. Laureta memperhatikan kejantanannya menciut. Ia jadi bingung.
“Apa salahku?”
Ia pun melihat celana dalamnya dan meringis. Terdapat noda kemerahan di celana dalamnya.
“Yaaaah.”
Laureta tidak sadar jika ia datang bulan. Ia pun bergegas ke ruang pakaian dan mengganti celana dalamnya yang sudah dialasi pembalut.
Permainan malam ini pun gagal total. Laureta mengenakan kembali lingerie-nya. Hilang sudah semua perasaan seksinya.
Seharusnya ia menyadari jika sekarang ini sudah tanggalnya ia datang bulan. Mungkin karena ia habis olahraga, jadi menstruasinya langsung lancar.
Kian pun harus gigit jari karena tidak mendapat jatah ronde kedua. Setidaknya, Laureta sudah me
Lalu kedua orang tua Kian masuk ke ruang makan diikuti Marisa yang wajahnya selalu ceria. Kelvin, suaminya mengikutinya di belakang lalu menyapa dengan sopan.“Ada ribut-ribut apa ini?” tanya sang ayah dengan suara keras yang mendominasi.“Itu, Pa. Coba lihat wajah Erwin,” ucap Elisa dengan kesal.Erwin menunduk sambil menutupi sebelah wajahnya. “Sudahlah, Ma. Tidak usah dibesar-besarkan. Aku jadi malu.”“Ada apa dengan wajahmu, Erwin?” tanya sang kakek.Erwin menjawab dengan suara kecil, “Wajahku terkena tembok.”“Kamu serius? Bagaimana hal itu terjadi?”“Ya, aku sedang berjalan, lalu tidak melihat tembok,” ucap Erwin yang terdengar asal.Laureta cekikikan pelan. Ia berusaha menahan tawa, tapi rasanya sulit sekali. Erwin terlihat sangat bodoh.Kian meliriknya dengan tatapan maut seolah memperingatkannya untuk tidak menertawakan keponakan
Mobil itu pun berhenti di tempat parkir yang luas, tapi sepi. Mungkin tidak biasanya pada hari ini ada keluarga yang mengunjungi tahanan atau bisa jadi ia datang terlalu pagi.Seorang petugas menghampirinya, memberi hormat. Lalu petugas itu memeriksa KTP Laureta. Akhirnya, ia dipersilakan untuk masuk ke dalam. Ada sebuah ruangan khusus untuk kunjungan tahanan.Laureta duduk di sana dengan jantung yang berdetak kencang. Ia takut sekali berada di tempat ini. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya jika ia harus duduk di sini, dikelilingi oleh petugas keamanan yang siap menembak jika sampai terjadi sesuatu.Seketika Laureta mempertanyakan dirinya sendiri, untuk apa ia datang ke tempat ini? Ia tidak begitu ingin bertemu dengan ayahnya. Ia mengkhawatirkan sesuatu hal yang ia sendiri tidak mengerti. Jika waktu bisa diputar ulang, ia tidak ingin berada di sini.Butuh waktu sekitar dua puluh menit hingga dua orang petugas membawa ayahnya masuk ke ruangan yang bera
Kian merasa tidak enak hati karena tidak menemani Laureta ke penjara. Namun, ia tidak bisa membatalkan meeting hari ini, dan lagi ia harus melihat hasil seleksi putri duyung yang kalau lolos akan tampil di aquarium The Prince.Namun, selama Kian bekerja di kantor, ia bukannya fokus bekerja, tapi terus menerus memikirkan Laureta. Hatinya sungguh tidak tenang. Apa ia sekejam itu membiarkan wanita seperti Laureta pergi ke penjara tanpa ada yang menemani?Apa Karsa ikut masuk ke dalam? Apa ada yang mengganggunya di dalam sana? Apa petugasnya bekerja dengan benar? Apa Laureta justru ciut nyalinya dan pulang begitu saja?Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Kian. Ia jadi stress.“Pak, silakan dilihat dulu berkas-berkasnya,” kata Clara. “Menurut Bapak putri duyung mana yang paling cantik?”Kian menatap layar ponselnya dengan wajah kosong. Ia ingin menelepon Laureta, tapi bingung harus berkata apa. Ia tidak ingin terdengar seperti yang mengkhawatirkannya, tapi ia juga tidak bisa diam saja
Kian mengeluarkan ponselnya, lalu segera menghubungi Laureta. Teleponnya terhubung, tapi Laureta tidak juga menjawab. Hatinya mulai cemas. Ia pun menghubungi Karsa.“Halo, Karsa! Apa kamu sudah mengantar Laura ke sana tadi pagi?” tanya Kian dengan nada yang agak membentak.“Iya, Tuan. Saya sudah mengantarkan nyonya tadi pagi. Ada apa, Tuan?”“Lalu setelah itu, bagaimana? Apa kamu mengantarnya lagi pulang?”Karsa diam dulu sejenak sampai akhirnya ia menjawab, “Jadi begini, Tuan.” Begitu mendengar kalimat itu, jantung Kian langsung berdetak kencang. “Saya memang hendak mengantarkan nyonya pulang ke rumah, tapi kemudian nyonya meminta saya untuk mengantarnya ke tempat lain.”“Ke mana?”“Ke rumahnya, Tuan.”Kian menghela napas lega. “Oh, begitu. Jadi, sampai sekarang dia masih di sana?”“Sa-saya tidak tahu, Tuan. Saya pikir nyonya sudah pulang ke rumah. Aduh!”Kian mendecak kesal. “Memangnya dia bilang apa?”“Nyonya meminta saya untuk mengantarkannya ke rumah, lalu dia akan pulang sendiri
Kian menoleh. “Aku sedang melihat fotomu.”“Eh, jangan dilihat!” seru Laureta. Ia buru-buru berlari, lalu membalikkan figura foto itu ke arah bawah.“Memangnya kenapa?”“Sudahlah. Fotoku itu tidak enak dilihat. Di situ aku tampak konyol sekali. Sudahlah, aku malu.”Kian terkekeh. “Konyol apanya? Kamu terlihat manis sekali di foto itu. Aku suka.”“Yang benar saja! Sudahlah. Ayo kita ke dapur!” Laureta menarik tangan Kian.Wanita itu memang senang sekali menarik-narik tangan Kian sesuka hati. Kian pun pasrah saat Laureta membawanya ke dapur.Ternyata dapurnya pun sama kecilnya seperti ruang tamu. Kian duduk di salah satu kursi yang ada di sana, sementara Laureta memasak air dengan menggunakan panci.“Kamu mau memasak apa?” tanya Kian.“Aku mau memasak air untukmu.”Kian menautkan alisnya. “Untuk apa? Aku tidak butuh air panas.”“Aku mau membuatkanmu teh hangat. Kamu mau tidak?” tanya Laureta sambil menatapnya dengan wajah kesal.“Baiklah, tapi tidak usah pakai gula ya.”“Oke.” Laureta m
Laureta menatap Kian dengan matanya yang bulat besar. Kian mengangguk sambil mengusap kepalanya. “Kamu tidak usah memikirkan tentang ayahmu lagi. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Aku tidak bisa mengeluarkan ayahmu dari penjara begitu saja. Aku sudah melakukan yang terbaik. Tetap hukum yang menentukan.”Laureta mengangguk. “Aku paham.”Kian jadi merasa canggung. Laureta diam saja. Meski wajahnya menatap lantai dengan pandangan kosong, tapi Kian tahu jika hati Laureta sedang sedih. Bukankah Kian datang ke sini untuk menghibur wanita itu?Kian mengambil gelasnya yang masih terasa panas. Ia meniupnya, lalu menyeruput teh itu. “Panas,” komentarnya.Laureta menoleh. “Seharusnya aku menambahkan air dingin.”“Sudah, tidak apa-apa. Rasanya nikmat. Kamu juga minumlah. Sepertinya kamu lebih membutuhkan minum daripada aku.”Laureta mulai menyeruput minumannya. Mereka pun menikmati kedamaian dalam diam. Kian tidak bicara apa-apa. Laureta pun diam seperti yang melamun.Hingga suara gemuruh dari
Laureta tidak pernah melihat Kian seceria itu. Suara tawanya terdengar begitu menyenangkan dan natural. Pria itu memang sebenarnya senang tertawa. Sayangnya, Kian terlalu gengsi untuk menunjukkannya. Baru kali ini Kian melepaskan gengsi itu.Ciuman Kian yang tadi benar-benar membuat hati Laureta tersentuh. Cara Kian mencium, seperti pria itu tidak pernah menciumnya sebelumnya. Laureta pun pasrah serasa ingin menyerahkan segala yang ia miliki hanya untuk Kian.Jika bukan karena ia sedang datang bulan, Laureta pasti sudah melakukan hal itu di dapur bersama Kian. Jika mengingat akan hal itu, Laureta langsung gugup dan jantungnya berdegup kencang.Ia menoleh pada Kian yang sedang makan dengan lahap di sebelahnya. Biasanya Kian tidak pernah makan sesemangat ini. Laureta pun tidak mau kalah. Perutnya sudah kelaparan sejak tadi.Laureta pikir, makanan yang Kian pesan terlalu banyak. Nyatanya, semua makanan itu habis dibabat semuanya. Memang jika makan di restoran Sunda, Laureta pasti akan ma
Kota Bandung di malam hari terasa begitu cerah, tidak seperti biasanya. Terkadang justru pagi yang terang benderang membawa suasana hati menjadi redup. Sementara malam yang gelap justru berhasil menerangi hati Laureta.Meski Kian tidak membalas pernyataan cintanya, tapi Laureta tidak akan memaksanya. Pria itu memang tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Dan lagi, Kian jelas-jelas bukan jenis pria yang seromantis itu meski memang mereka saling cinta.Laureta memahami situasinya. Jika pada akhirnya cintanya pada Kian hanya bertepuk sebelah tangan, maka ia harus siap untuk menjalaninya. Setidaknya, Laureta akan merasa rela hati untuk mengandung anaknya Kian.Malam itu, mereka tiba di rumah. Laureta langsung masuk kamar mandi dan membersihkan diri. Selesai berpakaian, Laureta naik ke atas kasur. Kian sudah menunggunya. Pria itu langsung memeluknya sambil menaruh dagunya di bahu Laureta.“Apa kamu masih merasa sedih?” tanya Kian.Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kenapa aku harus
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian