"Sialan! Darryl kau berengsek!"Elena mengumpat dan menatap langit-langit ruangan di mana dirinya tertidur. Dia tahu hari sudah berganti, tapi tidak ada cahaya matahari yang menerobos masuk sekarang. Semuanya hanya mengandalkan lampu sebagai penerangan. Sayangnya, cahayanya di sini tidak seterang di kamarnya. Ruang penyiksaan ini benar-benar pengap baginya. Elena ingin melarikan diri, tapi borgol itu membuatnya hanya bisa duduk dan terbaring di ranjang. Dia bahkan tidak bisa menjauh beberapa langkah dari ranjang. Pria itu mengekangnya.Ini semua gara-gara kecerobohannya kemarin. Elena merasa kesal dan menyesal karena bertindak tergesa-gesa. Harusnya dia melihat 'moment' yang tepat untuk melarikan diri, bukannya saat Darryl masih ada di sana dia kabur. "Aargghh! Sialan, aku ingin keluar ...."Elena putus asa. Tangannya yang diborgol kini kesakitan karena dia yang tidak bisa bergerak memaksakan diri untuk menarik borgolnya. Sepertinya borgol itu akan membuat lecet pergelangan tangannya.
Enam hari berlalu. Elena masih berada di ruangan rahasia milik Darryl dan selama itu, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah. Menerima setiap makanan yang diberikan Darryl atau pun Emma. Walau Elena sudah melakukan segala protes sampai berteriak hingga suaranya habis, Darryl akan berpura-pura tidak mendengarnya dan mengabaikannya. Ezekiel pun tidak terlihat. Harusnya anak itu mencarinya yang menghilang selama enam hari ini, tapi ternyata rumah lebih senyap dan tenang. "Apa aku sudah dibuang sekarang?" Elena tak bersemangat. Dia berbaring sambil menatap sekeliling ruangan yang terdapat beberapa barang aneh. Ruangan itu didominasi warna merah dah hitam. Ada cambuk yang tergantung di dinding bersama dengan rantai. Elena juga melihat senjata tajam. Entah itu hanya pajangan atau benar-benar berfungsi. Tak jauh dari ranjang yang ditidurinya, dia juga melihat sofa dengan bentuk aneh. Itu seperti sofa untuk pasangan suami-istri. Pipi Elena tiba-tiba memanas. Dia mengingatnya. Tema
"Besok, kita akan menemui pria itu dan membawa pulang Elena. Papa harus membantuku!" tegas Marcell pada ayahnya setelah mereka makan malam. Dia yang saat ini sedang duduk di depan TV, mengalihkan pandangannya pada sang ayah dan bersiap untuk menjelaskan rencananya. "Membawa Elena pulang? Kamu sudah punya uang untuk melunasinya?" Martin melirik putranya penasaran sambil meletakkan kakinya di meja. Dia bersandar dan tak begitu tertarik dengan ide putranya untuk membawa pulang Elena. Satu-satunya yang dia butuhkan adalah uang untuk membayar lunas utangnya. "Tidak.""APA! Lalu bagaimana kamu bisa membawanya?""Tentu saja dengan menipunya. Aku sudah bertemu dengan orang yang menahan Elena. Dia bernama Darryl. Dia pria tua menjijikkan dan arogan."Marcell sedikit kesal saat harus menjelaskan tentang pria yang ditemuinya satu minggu yang lalu. Dia masih ingat tatapan angkuh meremehkan. Pria itu memandangnya seperti seekor lalat. Sungguh, Marcell tidak bisa menebak bagaimana keadaan Elena ya
BUGH!"Bangun!"Sebuah tendangan Darryl berikan pada seorang lelaki yang kini terduduk dan pingsan di depannya. Lelaki yang tidak lain adalah Marcell, dan kini, lelaki itu dalam kondisi dirantai. Darryl membawanya ke ruang bawah tanah salah satu gedung miliknya. Tempat yang tidak memiliki jendela dan hanya mengandalkan cahaya lampu. Tempat kotor dan juga tempat yang dipasang teralis besi layaknya sebuah penjara. Dulu, di sana Darryl biasa menghukum dan mengeksekusi orang yang berani menantangnya. Dia tak segan untuk menyiksanya lebih dulu, dan ini adalah kali pertamanya dia melakukan ini lagi, setelah sekian lama. "Buka matamu!"Darryl merenggut rambut lelaki itu. Hingga akhirnya kepala Marcell mendongak dan kesadaran lelaki itu pun perlahan pulih. Marcell membuka mata dan menatapnya. Saat itu juga, Darryl langsung melepaskannya dan berjongkok di depannya. Dia tersenyum melihat lelaki itu melotot. "Kau ... apa yang kau lakukan, berengsek!" teriak Marcell. Dia hendak maju untuk menye
"Semua pilihan ada di tanganmu."Elena terdiam. Dia termenung beberapa saat ketika mengingat kembali ucapan Darryl tadi. Setelah dibebaskan pria itu dan keluar dari ruangan gelap, Elena kembali melakukan aktivitas biasa, termasuk menidurkan Ezekiel yang sudah seminggu ini tak dilihatnya."Tante? Kenapa, Tante? Tante pikirin apa?" tanya Ezekiel dengan raut penasaran. Dia memerhatikan Elena yang lebih banyak diam sejak keluar dari kurungan. Tentu saja itu membuat Ezekiel merasa khawatir, hingga dia lantas memegang tangan Elena. "Tante?""Ah, apa? Apa kamu mengatakan sesuatu?" Elena berkedip. Dia menatap Ezekiel yang belum menutup mata, meski telah dibacakan dongeng. Anak itu masih menatapnya. "Tante kenapa? Dari tadi kayaknya murung terus. Tante mikirin apa?""Tidak, Tante tidak memikirkan apa-apa."Elena berusaha tersenyum, walau terlihat kaku. Dia sungguh tidak bisa fokus pada Ezekiel gara-gara Darryl. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada kakak sepupunya. Elena benar-benar mengkhaw
Cup. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia merasa terganggu saat merasakan sebuah kecupan di pundaknya. Sebuah tangan juga menyentuh dan mengelus tubuhnya dari atas hingga bawah. Elena juga bisa merasakan sesuatu menyentuh bokongnya yang telanjang, lalu disusul remasan kuat. Elena awalnya membiarkan, tapi dia langsung tersentak saat sebuah jari masuk menyentuh dirinya. Dia spontan menangkap lengan itu. "Tidak, tolong biarkan aku istirahat sekarang."Suara Elena terdengar lemah dan tak bertenaga, tapi dia memang benar-benar tak kuat lagi. Dia hanya bisa membuka matanya dan mengubah posisinya menghadap pria dewasa yang telah merenggut kegadisannya. Siapa lagi kalau bukan Darryl? Pria itu menatapnya dengan wajah puas karena baru saja mendapatkan apa yang diinginkan. Elena tidak bisa percaya, Darryl akan menunjukkan wajah seperti itu setelah membuatnya pingsan semalam. Pria yang dia kira akan memperlakukannya dengan lembut di malam pertamanya, justru malah kehilangan kendali dan meniduriny
"Darryl!"Suara sapaan terdengar, membuat perhatian sang pemilik nama teralihkan dan melihat seorang pria yang tersenyum sambil melambaikan tangannya. Darryl pun berdehem dan lekas mendekati meja tanpa memedulikan tatapan beberapa wanita padanya. Senyum tipis tersungging sepanjang hari ini di bibirnya, hingga saat dia duduk, pria yang menyapanya langsung mengernyit. "Apa aku terlambat?""Tidak, tapi ada apa denganmu? Kau tersenyum?" Pria itu menatap Darryl dengan wajah anehnya. Tentu saja dia heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, melihat Darryl tersenyum adalah hal yang langka. "Bukan apa-apa. Jadi, ada apa denganmu? Kenapa kau memintaku bertemu, Mike?" tanya Darryl pada temannya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil berpangku tangan. "Sebelum bicara, bagaimana kalau kita pesan makanan dulu? Kau pasti lapar.""Terserah. Lakukan saja."Darryl mengibaskan tangannya tak peduli. Ini memang sudah waktunya makan siang. Dia membiarkan Mike untuk memesankan makanan, sementara dirin
"Tante! Tante beneran sudah tidak sakit?"Ezekiel melirik Elena yang saat ini tengah merangkai bunga di taman belakang untuk disimpan di vas. Dia juga melakukan hal yang sama dan mengambil bunga lavender. "Tidak, Tante tidak apa-apa. Lihatlah, Ezekiel! Bukankah ini cantik?" Elena tersenyum sambil memperlihatkan bunga peony berbagai warna yang telah dia rangkai. Dia akan menyimpannya di kamar sebagai hiasan. "Wah, cantiknya. Sama kayak Tante."Elena refleks tertawa mendengar pujian polos Ezekiel. Dia tersipu malu. "Tante cantik?""Banget! Tante mirip Bunda. Tante suka bunga itu, ya?""Iya, Tante suka. Sangat.""Kenapa? Kasih tahu Iel dong, Tan." Ezekiel mendekat dan langsung duduk di sebelah Elena. Dia menatap penuh minat pada wanita di depannya, yang kini juga ikut duduk di rumput. "Sebenarnya tidak ada alasan. Tante hanya suka saja, tapi Tante berharap, Tante bisa pegang bunga ini saat nanti Tante menikah," ucap Elena sambil membayangkan dirinya yang akan menikah dan mengenakan ga
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel