Cup. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia merasa terganggu saat merasakan sebuah kecupan di pundaknya. Sebuah tangan juga menyentuh dan mengelus tubuhnya dari atas hingga bawah. Elena juga bisa merasakan sesuatu menyentuh bokongnya yang telanjang, lalu disusul remasan kuat. Elena awalnya membiarkan, tapi dia langsung tersentak saat sebuah jari masuk menyentuh dirinya. Dia spontan menangkap lengan itu. "Tidak, tolong biarkan aku istirahat sekarang."Suara Elena terdengar lemah dan tak bertenaga, tapi dia memang benar-benar tak kuat lagi. Dia hanya bisa membuka matanya dan mengubah posisinya menghadap pria dewasa yang telah merenggut kegadisannya. Siapa lagi kalau bukan Darryl? Pria itu menatapnya dengan wajah puas karena baru saja mendapatkan apa yang diinginkan. Elena tidak bisa percaya, Darryl akan menunjukkan wajah seperti itu setelah membuatnya pingsan semalam. Pria yang dia kira akan memperlakukannya dengan lembut di malam pertamanya, justru malah kehilangan kendali dan meniduriny
"Darryl!"Suara sapaan terdengar, membuat perhatian sang pemilik nama teralihkan dan melihat seorang pria yang tersenyum sambil melambaikan tangannya. Darryl pun berdehem dan lekas mendekati meja tanpa memedulikan tatapan beberapa wanita padanya. Senyum tipis tersungging sepanjang hari ini di bibirnya, hingga saat dia duduk, pria yang menyapanya langsung mengernyit. "Apa aku terlambat?""Tidak, tapi ada apa denganmu? Kau tersenyum?" Pria itu menatap Darryl dengan wajah anehnya. Tentu saja dia heran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, melihat Darryl tersenyum adalah hal yang langka. "Bukan apa-apa. Jadi, ada apa denganmu? Kenapa kau memintaku bertemu, Mike?" tanya Darryl pada temannya. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil berpangku tangan. "Sebelum bicara, bagaimana kalau kita pesan makanan dulu? Kau pasti lapar.""Terserah. Lakukan saja."Darryl mengibaskan tangannya tak peduli. Ini memang sudah waktunya makan siang. Dia membiarkan Mike untuk memesankan makanan, sementara dirin
"Tante! Tante beneran sudah tidak sakit?"Ezekiel melirik Elena yang saat ini tengah merangkai bunga di taman belakang untuk disimpan di vas. Dia juga melakukan hal yang sama dan mengambil bunga lavender. "Tidak, Tante tidak apa-apa. Lihatlah, Ezekiel! Bukankah ini cantik?" Elena tersenyum sambil memperlihatkan bunga peony berbagai warna yang telah dia rangkai. Dia akan menyimpannya di kamar sebagai hiasan. "Wah, cantiknya. Sama kayak Tante."Elena refleks tertawa mendengar pujian polos Ezekiel. Dia tersipu malu. "Tante cantik?""Banget! Tante mirip Bunda. Tante suka bunga itu, ya?""Iya, Tante suka. Sangat.""Kenapa? Kasih tahu Iel dong, Tan." Ezekiel mendekat dan langsung duduk di sebelah Elena. Dia menatap penuh minat pada wanita di depannya, yang kini juga ikut duduk di rumput. "Sebenarnya tidak ada alasan. Tante hanya suka saja, tapi Tante berharap, Tante bisa pegang bunga ini saat nanti Tante menikah," ucap Elena sambil membayangkan dirinya yang akan menikah dan mengenakan ga
"Aakhh! Pelan ... tolong!"Elena mengerang keras sambil menggigit bantal di depannya. Dia mencengkeram apa saja untuk menahan tubuhnya yang terdorong cepat ke depan akibat gerakan kasar Darryl. Wajahnya sudah semerah tomat dan peluh kini menetes di tubuhnya yang tanpa busana. Elena benar-benar benci ini, Darryl memperlakukannya seperti wanita murahan yang bertugas untuk memuaskan nafsunya. "Sialan. Sialan ...."Plak!Sebuah pukulan Elena rasakan di bokongnya, yang membuat dia menjerit keras, bersamaan dengan erangan Darryl. Pria itu akhirnya selesai. Elena bisa merasakan cairan hangat dalam tubuhnya yang membuat dirinya bergetar keenakan, sebelum akhirnya ambruk di ranjang dalam posisi telungkup. Napasnya terengah-engah dan Darryl yang juga telah menjatuhkan dirinya di sampingnya, menatapnya dengan senyum puas. Pria itu jahat. Elena sudah memohon untuk bersikap lebih lembut, tapi keinginannya tidak dikabulkan. Bokongnya juga sakit karena dipukul pria itu beberapa kali. "Ada apa? Ap
"Aku akan ke luar kota beberapa hari. Kuharap kalian bisa menjaga rumah. Terutama kau, Elena," ucap Darryl setelah selesai makan. Dia spontan melirik Elena yang masih menyantap makanan terakhirnya. Wanita itu nyaris tersedak. "A-apa?"Elena hanya bisa menatap Darryl kebingungan. Dia tidak tahu dia salah apa, tapi tatapan pria itu sangat menusuk. Suasana di meja makan pun terasa sangat dingin dan mencekik. Apa sebenarnya yang membuat pria itu marah sekarang? "Kapan Ayah kembali?""Ayah tidak tahu, yang pasti, Ayah tidak mau mendengar ada orang yang mencoba kabur.""Uhuk."Elena berpura-pura tak mendengarkan pria itu dan sibuk minum, serta membereskan piring-piring kosong. Darryl sepertinya sedang sensitif padanya. Dia tidak boleh menambah marah pria itu. "Kalau begitu, semoga perjalananmu berjalan lancar, aku akan membereskan piringnya dulu."Elena yang tidak mau di sana lebih lama, langsung membawa piring-piring yang telah dibereskan dan segera melarikan diri. Untungnya, Darryl tida
"Ezekiel, apa kamu sudah selesai?""Sudah, Bu Guru! Iel selesai!"Tiga hari berlalu sejak kepergian Darryl dan seperti biasa, ini adalah jadwal Ezekiel belajar dari Sienna. Sementara Elena masih mengawasi dan sesekali tersenyum mengamati anak itu belajar. Harus diakui, Ezekiel pintar dan cepat tanggap. Anak itu sudah bisa menghitung dan melakukan penjumlahan. "Yap! Kamu benar semua. Pintar sekali, Ezekiel. Bu Guru punya hadiah buat kamu. Terimalah!""Makasih, Bu Guru!"Ezekiel menerima sebatang cokelat dengan senang, lalu tiba-tiba menatap serius Siena. "Bu Guru, Iel mau tanya serius. Bu Guru tolong jawab.""Ada apa? Apa kamu tidak mengerti soal yang tadi?""Bukan, tapi ... Iel mau tanya, kalau buat Tante Elena jadi milik Iel gimana?" tanya Ezekiel dengan polos sambil berbisik pelan, tapi suaranya tetap terdengar oleh Elena yang berada tak jauh darinya. Hingga akhirnya, wanita itu harus tersedak saat minum. "Ezekiel, apa yang kamu bicarakan?" "Iel cuma tanya saja, Tante. Tante haru
Di sebuah kelab malam mewah dan berkelas, terlihat seorang pria dewasa sedang asyik minum di sebuah meja. Dia adalah Darryl. Dia datang ke kelab malam seorang diri dan lebih memilih memerhatikan sekitar dengan saksama tanpa minat. Tidak juga ikut menari di lantai dansa. Dia merasa tak memiliki gairah selain menikmati apa yang ada di hadapannya dan melepas penat setelah seharian disibukkan pekerjaan. Sayangnya, saat Darryl sedang sibuk sendiri di mejanya sambil minum, dia melihat seorang wanita cantik memandangnya dari arah meja bartender. Kedipan mata genit terlihat. Dia berusaha mengabaikannya, tapi tak lama kemudian, wanita itu mendekati mejanya. "Permisi, Tuan, apa saya mengganggu?"Darryl melirik wanita itu melalui ujung matanya. Dia tahu wanita itu tersenyum padanya. "Tidak, ada apa?""Sepertinya Anda sendiri. Saya juga datang sendiri, bisakah kita mengobrol?"Darryl ingin mengusirnya, tapi dia juga tidak terlalu peduli. "Terserah."Wanita itu tersenyum dan duduk dengan anggun
Matahari perlahan masuk menyinari kamar Elena melalui gorden yang sedikit terbuka. Mengusik ketenangan wanita itu yang sedang berbaring di ranjang. Hingga dia semakin menyusupkan kepalanya dan memeluk erat gulingnya. Nyaman. Itulah yang Elena rasakan, sampai beberapa saat kemudian, dia mendengar suara desahan serta sentuhan lembut di pipi. "Sial, bangunlah!"Bisikan halus terdengar dan membuat Elena tersenyum dalam tidurnya, tapi dia terlalu mengantuk untuk sekadar membuka matanya. Justru Elena memeluk gulingnya dengan erat. Hingga sosok yang dipeluk menjadi kelabakan. "Sialan. Bangunlah! Jangan memelukku!" seru Darryl yang langsung mendorong tubuh Elena sambil meringis. Dia yang menjadi guling hidup wanita itu, merasa sangat terusik karena Elena terlalu dekat. Wajahnya sedikit memerah dan tubuhnya agak panas. Darryl merasa tergoda. Elena pasti sengaja melakukannya. Namun saat dia melirik wanita itu yang kini mengusap wajahnya, dia mendadak terdiam. Bibir Elena merengut dan matanya
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel