"Aakhh! Pelan ... tolong!"Elena mengerang keras sambil menggigit bantal di depannya. Dia mencengkeram apa saja untuk menahan tubuhnya yang terdorong cepat ke depan akibat gerakan kasar Darryl. Wajahnya sudah semerah tomat dan peluh kini menetes di tubuhnya yang tanpa busana. Elena benar-benar benci ini, Darryl memperlakukannya seperti wanita murahan yang bertugas untuk memuaskan nafsunya. "Sialan. Sialan ...."Plak!Sebuah pukulan Elena rasakan di bokongnya, yang membuat dia menjerit keras, bersamaan dengan erangan Darryl. Pria itu akhirnya selesai. Elena bisa merasakan cairan hangat dalam tubuhnya yang membuat dirinya bergetar keenakan, sebelum akhirnya ambruk di ranjang dalam posisi telungkup. Napasnya terengah-engah dan Darryl yang juga telah menjatuhkan dirinya di sampingnya, menatapnya dengan senyum puas. Pria itu jahat. Elena sudah memohon untuk bersikap lebih lembut, tapi keinginannya tidak dikabulkan. Bokongnya juga sakit karena dipukul pria itu beberapa kali. "Ada apa? Ap
"Aku akan ke luar kota beberapa hari. Kuharap kalian bisa menjaga rumah. Terutama kau, Elena," ucap Darryl setelah selesai makan. Dia spontan melirik Elena yang masih menyantap makanan terakhirnya. Wanita itu nyaris tersedak. "A-apa?"Elena hanya bisa menatap Darryl kebingungan. Dia tidak tahu dia salah apa, tapi tatapan pria itu sangat menusuk. Suasana di meja makan pun terasa sangat dingin dan mencekik. Apa sebenarnya yang membuat pria itu marah sekarang? "Kapan Ayah kembali?""Ayah tidak tahu, yang pasti, Ayah tidak mau mendengar ada orang yang mencoba kabur.""Uhuk."Elena berpura-pura tak mendengarkan pria itu dan sibuk minum, serta membereskan piring-piring kosong. Darryl sepertinya sedang sensitif padanya. Dia tidak boleh menambah marah pria itu. "Kalau begitu, semoga perjalananmu berjalan lancar, aku akan membereskan piringnya dulu."Elena yang tidak mau di sana lebih lama, langsung membawa piring-piring yang telah dibereskan dan segera melarikan diri. Untungnya, Darryl tida
"Ezekiel, apa kamu sudah selesai?""Sudah, Bu Guru! Iel selesai!"Tiga hari berlalu sejak kepergian Darryl dan seperti biasa, ini adalah jadwal Ezekiel belajar dari Sienna. Sementara Elena masih mengawasi dan sesekali tersenyum mengamati anak itu belajar. Harus diakui, Ezekiel pintar dan cepat tanggap. Anak itu sudah bisa menghitung dan melakukan penjumlahan. "Yap! Kamu benar semua. Pintar sekali, Ezekiel. Bu Guru punya hadiah buat kamu. Terimalah!""Makasih, Bu Guru!"Ezekiel menerima sebatang cokelat dengan senang, lalu tiba-tiba menatap serius Siena. "Bu Guru, Iel mau tanya serius. Bu Guru tolong jawab.""Ada apa? Apa kamu tidak mengerti soal yang tadi?""Bukan, tapi ... Iel mau tanya, kalau buat Tante Elena jadi milik Iel gimana?" tanya Ezekiel dengan polos sambil berbisik pelan, tapi suaranya tetap terdengar oleh Elena yang berada tak jauh darinya. Hingga akhirnya, wanita itu harus tersedak saat minum. "Ezekiel, apa yang kamu bicarakan?" "Iel cuma tanya saja, Tante. Tante haru
Di sebuah kelab malam mewah dan berkelas, terlihat seorang pria dewasa sedang asyik minum di sebuah meja. Dia adalah Darryl. Dia datang ke kelab malam seorang diri dan lebih memilih memerhatikan sekitar dengan saksama tanpa minat. Tidak juga ikut menari di lantai dansa. Dia merasa tak memiliki gairah selain menikmati apa yang ada di hadapannya dan melepas penat setelah seharian disibukkan pekerjaan. Sayangnya, saat Darryl sedang sibuk sendiri di mejanya sambil minum, dia melihat seorang wanita cantik memandangnya dari arah meja bartender. Kedipan mata genit terlihat. Dia berusaha mengabaikannya, tapi tak lama kemudian, wanita itu mendekati mejanya. "Permisi, Tuan, apa saya mengganggu?"Darryl melirik wanita itu melalui ujung matanya. Dia tahu wanita itu tersenyum padanya. "Tidak, ada apa?""Sepertinya Anda sendiri. Saya juga datang sendiri, bisakah kita mengobrol?"Darryl ingin mengusirnya, tapi dia juga tidak terlalu peduli. "Terserah."Wanita itu tersenyum dan duduk dengan anggun
Matahari perlahan masuk menyinari kamar Elena melalui gorden yang sedikit terbuka. Mengusik ketenangan wanita itu yang sedang berbaring di ranjang. Hingga dia semakin menyusupkan kepalanya dan memeluk erat gulingnya. Nyaman. Itulah yang Elena rasakan, sampai beberapa saat kemudian, dia mendengar suara desahan serta sentuhan lembut di pipi. "Sial, bangunlah!"Bisikan halus terdengar dan membuat Elena tersenyum dalam tidurnya, tapi dia terlalu mengantuk untuk sekadar membuka matanya. Justru Elena memeluk gulingnya dengan erat. Hingga sosok yang dipeluk menjadi kelabakan. "Sialan. Bangunlah! Jangan memelukku!" seru Darryl yang langsung mendorong tubuh Elena sambil meringis. Dia yang menjadi guling hidup wanita itu, merasa sangat terusik karena Elena terlalu dekat. Wajahnya sedikit memerah dan tubuhnya agak panas. Darryl merasa tergoda. Elena pasti sengaja melakukannya. Namun saat dia melirik wanita itu yang kini mengusap wajahnya, dia mendadak terdiam. Bibir Elena merengut dan matanya
"Iel mau maafin Ayah kalau kita pergi liburan!""Apa? Liburan?"Elena tersentak dan menatap Ezekiel yang kini meminta sesuatu yang tak terduga. Itu membuatnya terkejut. Begitu juga dengan Darryl. Dia bisa melihat pria itu terpaku di tempat. Dampak dari keributan tadi pagi akhirnya mencapai puncaknya saat siang hari. Elena menikmati tontonan gratis Darryl yang mengemis maaf pada Ezekiel di ruang tengah. Ini lebih seru dari pada drama yang ditontonnya di TV. "Iya, Iel mau keluar dari rumah ini. Iel mau ke pantai. Kalau Ayah kabulkan, Iel maafkan Ayah.""Kamu mau ke pantai? Berdua dengan Ayah?""Tidak, bertiga sama Tante!""Apa?" Elena yang sedang asyik menyantap kacang sambil menonton pertengkaran ayah dan anak, dibuat terkejut. Dia refleks merespon. "Tante juga?""Iya! Kita liburan!"Ini kesempatan emas. Elena mencoba menyembunyikan senyumnya dan melirik Darryl. Dia mungkin akan bertemu temannya jika itu terjadi, atau mungkin dia bisa kabur. Walau Elena menyangsikan hal tersebut. Yah
Seminggu kemudian. Pada akhirnya Elena ditinggal berlibur oleh Darryl dan juga Ezekiel. Dia tidak tahu kapan keduanya kembali, tapi sepertinya itu akan memakan waktu yang lama. Ezekiel pasti senang karena ini pertama kalinya jalan-jalan keluar. Berbeda dengannya yang masih terkurung tanpa bisa melakukan apa-apa. Elena hanya menghela napas kasar dan memandangi bunga tanpa minat di taman belakang. Tangga yang ditemuinya dulu untuk memanjat tembok, kini sudah tidak ada. Dia juga tidak bisa mendekati gerbang yang seperti biasa dijaga ketat. Hanya di sinilah satu-satunya tempatnya untuk menghabiskan waktu, sampai Emma yang melihatnya, berjalan mendekatinya. "Nona pengasuh? Apa yang terjadi?""Ah, Emma." Elena mengalihkan pandangannya dan mencoba tersenyum tipis. "Tidak terjadi apa-apa. Aku hanya bosan. Tidak ada Ezekiel.""Tuan dan Tuan Muda pasti sedang menikmati liburan mereka. Saya terkejut Tuan Muda meminta liburan."Elena tidak terkejut. Dia berpikir jika mungkin Ezekiel penasaran
Di dalam kamar, tepatnya di depan cermin, Kathleen baru saja selesai mandi dan masih mengenakan handuk. Dia yang telah beristirahat sebentar, kini memutuskan untuk menghubungi pemilik rumah yang tidak ada di tempat. Tak butuh waktu lama baginya panggilan itu terjawab. "Kak Darryl, ini aku Kathleen." Kathleen mulai menyapa Darryl melalui telepon sambil tersenyum. "Kathleen, ada apa menghubungiku? Kau sudah sampai?""Yah, aku sudah di kamar yang Kakak siapkan untukku. Rasanya sekarang lebih baik setelah jetlag." Kathleen menyandarkan tubuhnya di kursi dan mencoba bicara santai dengan Darryl. "Tapi sayangnya, aku tidak bisa menemuimu, Kak.""Maafkan aku, Ezekiel meminta liburan. Aku akan menyambutmu nanti. Tiga hari lagi aku akan pulang."Kathleen tertawa kecil memikirkan Ezekiel. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya. "Begitu, ya, sepertinya keponakanku sudah besar. Nikmati saja waktu liburanmu dengan anakmu, Kak.""Yah, kau juga istirahatlah. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa
Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu
"Jadi begitulah ceritanya. Darryl sangat stress dan menderita ketika kau pergi, Elena. Sebagai temannya, aku merasa tidak sanggup mengatakan ini. Dia memang agak bodoh dalam memahami perasaannya, tapi dia sangat mencintaimu. Aku berani bersumpah."Elena terdiam saat mendengar perkataan Mike soal Darryl. Dia melihat pria yang mengatakan sebagai teman Darryl itu menangis tersedu-sedu. Bahkan mengusap air matanya dengan tisu. Tak dipungkiri dia merasa terkejut mendengar penuturannya. "Dia sakit karena memikirkanmu dan sepertinya dia hilang fokus saat berkendara. Aku sangat mengkhawatirkannya. Tolong kembalilah padanya. Dia itu tidak mencintai Kathleen, dia mencintaimu.""Iya, Tante ..., tolong kembali pada Ayah. Iel selalu lihat Ayah tiap malam cium baju Tante. Ayah rindu Tante," ucap Ezekiel sambil ikut menangis. Dia terisak dan mencoba membujuk Elena agar iba pada kondisi Darryl. "A-apa? Benarkah itu?"Elena yang mendengar pengakuan Ezekiel dan perkataan Mike, tentu saja langsung ter
Ezekiel tidak datang lagi. Elena sedang menikmati waktunya sendirian di teras. Dia terus melihat jalanan sejak tadi siang. Menunggu kehadiran anak kecil dan ayahnya yang sudah terhitung hampir setiap hari selalu ke sini. Ezekiel hanya satu hari menginap dan dua hari bermain dengannya sambil diantar Darryl pagi-pagi sekali. Namun hari ini keduanya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya hingga sore tiba. Elena yang sudah agak terbiasa dengan kehadiran dua orang itu, tidak bisa menampik perasaan tidak nyamannya. Dia menjadi gelisah. Terlintas bayangan Darryl tiba-tiba di kepalanya. Apa dia merindukan pria itu? Ataukah anak dalam kandungannya yang merindukannya? Elena merasakan firasat tidak enak tentang pria itu. Perasaan cemas itu, membuat Elena terdiam beberapa saat. Dia melamun di teras sampai tak menyadari suara motor Marcell yang pulang. Pikirannya hanya tertuju pada Darryl dan Ezekiel saja. "Elena, apa yang kau lakukan di sini?" "Darryl—eh, Kakak." Elena menoleh dan menata
"Apa? Apa kau gila, Elena? Kau mau anak itu menginap di rumah ini? Anak bajingan itu?""Jangan keras-keras! Dia punya nama, namanya Ezekiel." Elena berusaha sabar menjelaskan pada Marcell soal keputusannya untuk membiarkan Ezekiel menginap. Mereka berdua saat ini sedang berada di ruang tamu dan Marcell menentang keras idenya. "Lagi pula, ini hanya sehari. Besok Ayahnya akan menjemputnya.""Tidak bisa! Aku tidak suka! Bocah itu bagaimana pun adalah anak bajingan! Aku tidak mau dia tidur di sini!"Elena memejamkan matanya dan mencoba bersabar. "Dia hanya anak kecil yang tidak bersalah. Tolong izinkan, Kak. Ini juga keinginan bayiku. Dia ingin tidur dengan Ezekiel."Rahang Marcell mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia semakin kesal pada Elena yang tampaknya tidak bisa mengabaikan Darryl. Padahal wanita itu sudah berjanji tidak akan kembali. "Aku tidak tetap setuju!""Baiklah! Kalau Kakak tidak setuju, aku pergi saja dari sini! Aku akan tidur di luar!" seru Elena yang mulai jengkel