Keesokan paginya, Dante terbangun saat mendengar suara teriakan Samantha yang cukup memekakkan telinga. Dengan kesadaran yang masih belum terkumpul, Dante bergegas bangun dan duduk.“Mengapa kamu berteriak?” Dante mengamati Samantha dengan wajah masam. Gadis itu duduk di ujung kasur dengan tubuh dibalut selimut. “A-apa yang terjadi tadi malam? Mengapa kita berdua tidak mengenakan pakaian?” tanya Samantha begitu panik.Dante mendesah kasar lalu mendaratkan tubuhnya kembali di atas kasur. Kedua matanya sangat mengantuk. Dante masih ingin tidur dan beristirahat sebentar lagi.“Dante, jawab aku! Apa yang terjadi tadi malam? Apa kita melakukannya?” desak Samantha tak sabar. Ia ingin tahu apakah mereka telah melewati malam panas berdua tadi malam?Dante mengabaikan Samantha yang menuntut sebuah jawaban darinya. Pria itu memejamkan mata rapat-rapat meski sekarang Samantha sangat berisik karena terus merengek.“Demi Tuhan, Dante. Tolong jawab aku,” ucap Samantha lirih. Pikiran-pikiran aneh t
Samantha baru saja tiba di LUX Holding dengan membawa paper bag berisi makan siang untuk Dante. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Sage si resepsionis membiarkan Samantha lewat begitu saja dan naik ke lantai atas menuju ruangan Dante.Samantha mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan tersebut. Suasana di ruangan itu sangat sunyi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dante di sana. Namun ketika Samantha berjalan lebih masuk ke dalam, ia melihat Dante terlelap di atas sofa.Samantha tersenyum simpul kemudian menghampiri pria itu. Dengan sangat hati-hati, Samantha meletakkan paper bag ke atas meja. Detik berikutnya gadis itu duduk berjongkok di depan Dante lalu mengulurkan tangan dan menempelkannya di dahi pria itu."Syukurlah, demamnya sudah turun," gumam Samantha pelan.Samantha berniat menjauh, tetapi Dante tiba-tiba membuka mata dan menangkap lengannya. Samantha sampai membulatkan mata sebab merasa sangat terkejut. Ia sama sekali tidak menduga Dante akan membuk
Samantha sigap melingkarkan kedua tangannya di leher Dante saat Clara Johnson melongo menyaksikan keduanya duduk dengan begitu mesra. Ia sengaja melakukan hal tersebut untuk membuat Nona Muda dari keluarga Johnson tersebut marah karena cemburu. Samantha masih menaruh dendam pada gadis itu karena telah melakukan beberapa hal yang merugikan dirinya. “Apa yang membawa Nona Johnson datang ke mari?” tanya Samantha sambil mengamati gadis itu melangkah masuk ke dalam. Samantha tersenyum puas saat melihat wajah Clara Johnson berubah menjadi merah. Clara bahkan mengepalkan kedua tangan sementara matanya memicing tajam karena amarah. Membuat Samantha semakin bersemangat untuk menggoda gadis itu dan bertekad membuatnya terbakar api cemburu. “Kudengar kamu sakit hari ini. Jadi, aku membawakanmu makan siang dan beberapa buah,” ucap Clara pada Dante, lalu meletakkan paper bag di atas meja. Dante memberikan tatapan dingin pada Clara. “Apa kamu tidak melihat itu? Aku baru saja makan siang dengan
Samantha kembali ke studio diantar oleh Jasper atas perintah dari Dante. Saat ia turun dari mobil mewah itu, Samantha tak sengaja berpapasan dengan Ana yang baru tiba. Sejujurnya Samantha tak mengharapkan hal ini, namun ia tidak bisa menghindar sebab Ana sudah terlanjur melihatnya. Ana segera menghampiri Samantha begitu mobil yang dikendarai oleh Jasper melesat meninggalkan halaman gedung perusahaan. Wanita yang usianya dua tahun lebih tua dari Samantha itu tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Lantas, ia pun melontarkan pertanyaan tanpa memikirkan Samantha merasa nyaman atau tidak. “Siapa pria yang mengantarmu tadi? Sepertinya dia bukan pria yang sama dengan pria yang menjemputmu di bar malam itu,” kata Ana berasumsi. Kedua mata Samantha bergerak gelisah sambil memikirkan sebuah jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan oleh Ana. Mustahil baginya mengatakan bahwa pria yang baru saja mengantarnya tadi adalah sekretaris suaminya. Bagaimanapun, Samantha tidak ingin ada yang ta
Samantha mendesah pelan saat kakinya baru saja menginjak pintu keluar gedung dan mendapati di luar sedang hujan deras. Angin bertiup cukup kencang dan kilat sesekali memancar di langit. Membuat suasana malam jadi terasa cukup menakutkan. Samantha memeriksa ponselnya untuk melihat jam. Hampir pukul dua puluh. Biasanya pada jam segini Samantha sudah berada di kamar setelah menikmati makan malam. “Astaga, bagaimana aku akan pulang?” gumam gadis itu sambil memegangi perutnya yang terasa lapar. Samantha mendongak ke atas untuk menatap langit sekali lagi. Dapat dipastikan hujan akan berlangsung lama sebab tidak ada tanda-tanda akan reda dalam waktu dekat. Samantha pun memutuskan masuk ke dalam gedung dan duduk di lobi. Baru beberapa menit Samantha duduk di sana, sekarang gadis itu sudah dilanda rasa bosan. Ditambah perutnya terasa sangat lapar. Hingga sebuah sampul majalah menarik perhatiannya, Samantha segera meraih majalah tersebut lalu membacanya. “Jere …?” gumam Samantha saat meliha
Samantha terbangun saat ponsel yang ia letakkan di atas nakas berdering. Dengan mata yang sangat mengantuk, Samantha meraih ponsel tersebut. Dilihatnya panggilan telepon dari Elnathan terpampang di layar. “Halo?” Suaranya terdengar serak dan matanya kembali tertutup rapat. Namun sedetik kemudian, kedua mata yang tertutup itu sontak membulat dengan lebar saat mendengar informasi yang diberikan oleh saudaranya itu. “APA? Kamu apa? Di rumah sakit?” pekik Samantha terkejut. Tapi tak cukup nyaring untuk membangunkan Dante yang tidur nyenyak di sampingnya. Samantha segera turun dari ranjang begitu panggilan tersebut berakhir. Dengan sedikit panik Samantha berjalan menuju walk in closet, mengambil mantel kemudian mengenakannya. “Mau pergi ke mana kamu?” Samantha terkesiap saat Dante menyambangnya dengan sebuah pertanyaan. Gadis itu tidak menduga Dante akan bangun dan memergokinya saat hendak pergi. “Uhm, aku harus ke rumah sakit. Elnathan baru saja meneleponku dan memintaku segera ke s
Pada akhirnya, hal yang selama ini berusaha Samantha tutupi harus terbongkar juga. Samantha tidak bisa lagi merahasiakan pernikahannya bersama Dante dari Elnathan. Malam ini, Samantha mengaku pada adiknya bahwa ia telah menikah. Elnathan menatapnya tak percaya. "Apa? Kamu menikah dan tidak memberi tahuku? Kamu sungguh luar biasa, Samantha!" ucapnya sambil bertepuk tangan.Samantha menggigit bagian dalam bibirnya. Berusaha mengabaikan tatapan penuh cemooh yang diberikan oleh saudaranya itu. Meski tidak mengatakannya, namun Samantha tahu apa yang saudaranya itu pikirkan.Andai Elnathan tahu alasan mengapa ia menikah dengan Dante adalah demi menyelamatkan laki-laki itu agar tidak mendekam di penjara. Tapi, meskipun laki-laki itu tahu, tidak ada jaminan dia akan bersimpati dan merasa bersalah. Selain kurang ajar, Elnathan adalah seseorang yang tidak tahu terima kasih.Elnathan tidak pernah menghargai semua usaha yang dilakukan Samantha padanya. Atau apa yang gadis itu berikan selama hidu
Pagi ini Samantha mendadak harus terbang ke Seattle mengikuti Jennifer untuk melakukan pemotretan. Seharusnya orang yang terbang mengikuti Jennifer adalah Ashley, namun gadis itu mendadak cuti sehingga Samantha harus menggantikannya.Dengan pesawat jet pribadi yang sebelumnya pernah Samantha tumpangi bersama Dante, mereka terbang ke Seattle. Ya! Mereka. Samantha, Jennifer, dan tentu saja Lionel.Samantha duduk tepat di seberang Lionel. Sementara Jennifer, wanita berambut pirang itu memutuskan beristirahat di sebuah kamar tidur setelah sebelumnya mengeluh pusing."Selamat pagi, Nona, Tuan. Apa kalian menginginkan kopi atau teh?" Seorang pramugari datang menghampiri mereka dan menawarkan minuman.Samantha menyunggingkan seulas senyum manis. "Teh saja, tolong," ucapnya ramah.Pramugari itu lantas mengangguk pelan kemudian memandangi Lionel. "Bagaimana dengan Anda, Tuan? Kopi atau teh?""Kopi dengan sedikit gula," sahut Lionel tanpa menatap sang pramugari. Pria itu malah memandangi Samant
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se