Di pantry.Nabila memasukkan semua bahan-bahan kopi racikannya ke dalam coffee maker sebelum kemudian dia menyalakan mesinnya. Cangkir khusus dia letakkan untuk menampung kopi yang telah dibuat.Batinnya berharap, semoga ini sesuai selera yang diinginkan oleh pria itu.“Ehem, ehem! Yang mau ngasih kopi ayank, iya ayankkk. Ah, ayankkk.”Nabila nggak melirik seorang gadis yang baru saja datang, namun sudah langsung julid kepadanya. “Apaan sih, Ris? Julidah banget jadi orang!”Paling menyenangkan adalah ketika berhasil membuat Nabila marah. Marahnya orang sabar kan lucu, seperti ada kepuasan sendiri pikirnya.“Yang spesial ya, Yank bikin kopinya. Kalau perlu tambah kecupan dan air liur, biar tambah manis dan menggugah selera.”“Pret!” Nabila menggoyangkan bokongnya yang kontan ditabok oleh gadis itu. Beruntungnya bokong Nabila tebal dan besar, jadi satu pukulan tersebut tidak akan terlalu terasa di kulitnya.Sembari berjalan meninggalkan pantry, Nabilah berteriak, “Makanya kamu juga cari
Nabila menunduk dalam. Perasaan sesak dan sesal selalu menghimpit dadanya acap kali ia mengingat masa kelamnya. Hingga membuat matanya menjadi perih. Terlebih yang berhubungan dengan Zaki. Semua cerita tentang anak itu selalu menjadi topik yang paling utama di dalam setiap doanya. Meminta agar Tuhan segera menunjukkan siapa sosok ayah Zaki yang sebenarnya. Memang sekarang Zaki masih kecil, belum tahu apa-apa. Namun bukankah lambat laun dia akan tumbuh dewasa? Waktu pasti akan cepat berlalu, Zaki pasti akan bertanya-tanya mengapa dirinya berbeda. Lalu kira-kira, apa jawaban yang tepat—jika sampai detik itu tiba, Nabila masih belum juga menemukan siapa sosok ayah kandungnya? Begitu berat beban yang Nabila tanggung terkadang membuat dirinya tak habis pikir. Padahal, dia jadi manusia tidak jahat-jahat amat. Kok, bisa Tuhan memberikannya karma sedahsyat itu? Hingga makhluk kecil yang tak berdosa ikut memikul dosa masa lalunya. Beruntung anaknya laki-laki, tidak bisa dibayangkan ji
Aditya memukul-mukul kepalanya. Memaksa otaknya agar dia bisa berpikir lebih cerdas mengingat tanggal, hari dan waktu yang Nabila sebutkan kemarin lalu. Sayangnya, semakin dia berusaha memaksakan diri untuk mengingat, yang ada—kepala Aditya justru terasa sakit. Aditya tetap tak berhasil mendapatkan informasi apapun. Kecuali mendapati tubuh polos Siwi yang dibalut dengan selembar selimut, saat dia bangun dari tidurnya waktu itu. Gadis itu senggukan sampai tak mampu menyahuti panggilan dan guncangan di bahunya. Barulah setelah Aditya lelah membujuk dan menenangkannya, akhirnya Siwi mau memberikan sebuah pengakuan mengejutkan. Bahwa semalam, Aditya telah memaksa melakukannya hingga ia tak suci lagi. Tapi Aditya merasa janggal. Karena pengakuan Siwi berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan semalam di sisa kesadarannya. Aditya bisa pastikan, tidak ada pemaksaan di sana. Mereka sama-sama bergelora dan saling membalas perlakuan satu sama lain. Namun saat Aditya menyangkalnya,
Tidak sulit bagi Aditya mencari keberadaan Nabila dan Zaki di sana. Sebab hanya ada mereka berdua yang ada di lantai tersebut.Aditya berjalan mengendap-ngendap untuk memberikan mereka kejutan. Sayang, beberapa langkah sebelum dia menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir Zaki malah mendapatinya lebih dulu.Beruntung, bocah itu bisa diajak kompromi, agar mereka bisa bekerja sama untuk mengejutkan ibunya yang saat ini tengah duduk membelakangi. Sibuk dengan ponselnya sendiri.“Sssst jangan berisik,” begitu kira-kira gerak bibir Aditya yang dibalas serupa oleh Zaki. Zaki meletakkan jarinya dekat bibir, sementara ekspresi wajahnya nampak lucu.Lalu saat Aditya sudah tiba di belakang Nabila persis, pria itu mengejutkan bahunya sambil menyeru, “Dorrr!!!”Sontak ponsel Nabila melayang ke atas, untungnya Aditya memiliki reflek yang baik sehingga benda itu bisa dia tangkap. Meski demikian tak bisa menahan latah lucu wanita itu yang berbunyi, “Ayam ayam ayam!”Aditya dan Zaki tergelak tawa.
Masih ada di restoran cepat saji “Kita harus berangkat kan, tapi udah jam segini kita masih di sini. Aku belum mandi belum siap-siap, belum apa.” Nabila terdengar mengeluh. “Telat-telat dikit ya nggak papa, lah.” Aditya menggampangkan. Ya iyalah, bebas saja baginya mau berangkat habis bedug magrib pun. Tidak akan ada yang berani menegurnya. Lha wong dia bosnya sendiri. “Kok gitu?“ keheranan Nabila menyiratkan ketidaksetujuan, “kalau Mas sendiri sih nggak masalah, kalau aku? Nanti dikira aku memanfaatkan kesempatan. Mentang-mentang aku dekat sama atasan, aku jadi seenaknya.” “Ngapain mikirin orang lain sih, Bil? Yang mau gaji kamu kan, aku.” “Aku udah banyak banget catatan buruknya di kantor. Dari dulu kayak nggak pernah bener track record nya. Wara-wiri libur, yang cuti sakitlah, cuti inilah, itulah. Belum lagi rumor negatifnya, selingkuh, terima transferan, belum lagi masalah rumah tangga. Kalau di tempat lain mungkin aku udah dipecat tau nggak.” “Yang penting di sini enggak kan
Weekend adalah hari yang paling ditunggu-tunggu bagi seorang pekerja untuk mereka libur dan menikmati waktu istirahatnya. Setelah seminggu lelah dalam bekerja dan bertarung dengan penat dan hiruk-pikuk dan ibukota. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Nabila. Karena sang anak justru membangunkannya sepagi mungkin untuk menemaninya lari pagi di kawasan golf.Padahal sudah ada kedua orang tuanya yang bersedia mengantarkan, namun mungkin rasanya kurang lengkap kalau tak ada dirinya bersamanya.Yang menyebalkan, Zaki juga minta dibawakan bekal nasi goreng. Padahal sangat banyak sarapan atau jajanan pasar yang bisa mereka pilih di sepanjang jalan yang ada pasar kagetnya nanti.Tapi yang namanya anak, mungkin masakan ibunya tetap yang paling spesial untuknya seenak apapun makanan di luar sana.“Tadinya aku mau bangun agak siangan aja, Ma. Olahraganya dibalik sore Bila kurang tidur banget belakangan ini, soalnya lembur terus kan?”“Nggak ada kata libur bagi seorang ibu, Bil," jawab M
"Oke, kita udah sampai!"Zaki menatap ke sekeliling dari pintu kaca mobil di sebelah kirinya. Bocah itu terdiam. Mungkin bingung karena mereka tidak sampai di mall seperti yang Aditya janjikan."Mana mall nya?" katanya setelah beberapa saat kemudian, "Jaki maunya ke mall, bukan rumah sakit. Jaki kan ga sakit.""Kita mau ke rumah sakit dulu, sebentar," Aditya menanggapi."Ngga mau, Jaki kan maunya ke mall mau beli jajan sama mainan.""Temenin Om periksa dulu ke dokter. Janji sebentar aja." Zaki menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak mau. Jaki mau telepon ibu aja sekarang!"Baru sebentar saja, Aditya sudah mulai kewalahan menghadapinya. Pria itu menggaruk kepala. Dia juga sama-sama bingung, bagaimana cara membujuknya agar anak ini tak sampai menangis."Di dalam juga ada banyak mainan, ada Playground nya juga kalau Jek mau main.""Ngga mau, main di rumah sakit ngga seru." Zaki menekuk wajah. Keantusiasan nya hilang seketika. "Sebentar aja, kok, Jek. Nggak sampai lima menit udah selesai.
“Bu? Selamat siang,” Nabila menyapa setelah beberapa detik keduanya saling bersitatap. Nabila dengan kebingungannya sendiri, mungkin wanita itu juga sama-sama bingungnya dan bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Kenapa dirinya bisa keluar dari ruangan Aditya? Meskipun bisa saja dia masuk karena adanya sebuah kepentingan. Ya iyalah, Nabila selain kekasih pria itu—begitulah jelasnya—dia statusnya di kantor ini juga masih seorang budak alias pekerja kan?“Selamat siang juga, Nabila,” jawab Siwi nampak jelas memaksakan senyum. Feeling Nabila terlalu kuat untuk mengetahui jika ada sesuatu yang ingin Siwi katakan melaluinya tatapan matanya yang dalam. Tapi, suatu hal yang lain juga menahannya.Apa ini tentang hubungannya dengan Aditya? Nabila mengira seperti itu. Tapi setelah dipikir-pikir ya, sudahlah. Bagus malah seandainya dia sudah tahu lebih dulu tanpa Aditya mengikrarkannya. Kekasihnya itu jadi tak perlu repot-repot atau risau memikirkan bagaimana cara menyampaikannya agar dia tak samp
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa