Hari berikutnya Aditya dan Nabila kembali melakukan pertemuan di Sky Loft. Cafe yang mengusung tema rooftop dengan view cantik gedung perkotaan Jakarta. Demi membahas persoalan yang menurut keduanya belum terselesaikan, karena terkendala waktu. “Ok, sekarang adalah waktunya sesi tanya jawab.” Nabila izin pada Aditya untuk mengajukan semua pertanyaannya lebih dulu. “Mau nanya apa?” “Banyak. Salah satunya kenapa Bapak bisa cerai? Udah gitu waktu cerainya juga hampir barengan sama saya lagi. Orang-orang yang nggak tau, bisa ngira kita memang ada something sebelumnya.” Nabila menggesture kedua jarinya menjadi sebuah tanda kutip. “Kita udah nggak ada kecocokan,” jawab Aditya. “Jawaban yang klise banget.” “Alasanmu juga pasti nggak jauh beda sama saya kan?” “Nggak, dong. Perceraian kami disebabkan utamanya ya, karena perselingkuhan. You know lah, ya. Bapak kan udah liat pakai mata kepala sendiri soalnya, gimana red flag nya mantan suami saya.” “Mergokin sendiri?” Nabila menganggu
Mau dipanggil yank, katanya? Dih! Begitu ya, kelakuan Aditya. Jahilnya bukan main.Hilang sudah wibawa yang selama ini dia bangun di depan banyak orang, karena semua jatuh di depan perempuan ini.“Ada lagi nggak yang mau ditanyain?” Aditya kembali bertanya.“Hmm, apa, ya? Bentar minum dulu.” Nabila menyesap kopinya dan menggigit cemilan di depannya sebelum dia melanjutkan.“Bapak kan tau, saya nggak sendiri. Saya udah punya Zaki yang tentu saja akan menjadi bagian dari keluarga Pak Aditya juga, kalau seandainya nanti kita benar-benar berjodoh. Ini seandainya ya, Pak." Perempuan itu menegaskan kalimatnya. "... apa kira-kira Bapak ikhlas menerima anak saya jadi anak bapak juga?”“Panggil yank, Bila. Bukan bapak!” balas Aditya.“Ah, udahlah. Itu kapan-kapan aja, lidahku masih kelu, belum terbiasa.”Kembali ke topik tadi, Aditya menjawab dengan tegas, “Kalau seorang laki-laki mau menikahi seorang wanita ya, tentu harus mau menerima semua paket dari wanita itu, tanpa kecuali. Lagi pula ngg
Hari masih pagi, tapi Adawiyyah sudah misuh-misuh kepada anaknya. “Wa, makan dong, Wa. Udah berapa hari kamu nggak makan, nggak kerja juga. Mau jadi apa kamu? Bunda udah nggak bisa bergantung sama siapa-siapa lagi sekarang selain Dewa. Ayahmu udah nyerein bunda gara-gara belain perempuan itu.” Dewa diam saja. Dia hanya terus terbaring di atas kasur atau paling jika bosan, dia akan berpindah ke tempat rebahan lainnya sembari dia menonton TV atau game. Begitu saja aktivitas yang Dewa lakukan sehari-hari selama beberapa bulan belakangan, hingga dia dipecat dari pekerjaan. Daya juang apalagi semangatnya sudah hilang semenjak kedua orang tuanya dan dirinya bercerai, sehingga demikianlah yang terjadi pada laki-laki itu. “Wa!” kembali bundanya menegur, membuat Dewa akhirnya menjawab. “Nanti aja, Bun. Aku bisa ambil sendiri.” Yang Dewa tahu, bunda memintanya untuk makan agar dia semangat dan bisa kembali bekerja, bukan supaya dirinya tak sakit atau yang lainnya. “Bunda minta uang buat
“Ma.” Nabila mendekati mamanya yang tengah memasak sup ayam sore itu untuk menyampaikan sesuatu. “Kenapa? Ada keluhan apa?” hafal sekali wanita itu jika anaknya sudah memanggilnya dan mendekatinya seperti ini. “Ada yang kena musibah katanya, Ma. Aku bingung, mau besuk mereka apa enggak.” "Siapa, Bil? Kalau ngomong itu jangan setengah-setengah, bikin orang penasaran aja.” “Ya, itu. Mantan suamiku sama mantan besan mama.” “Kenapa lagi mereka? Drama apalagi setelah perceraian kemarin sama penyerangan di supermarket?” “Tabung gas di rumah mereka meledak, jadi ya kena lah mereka. Tapi yang lumayan sih, Dewa katanya. Soalnya pas kejadian, dia nggak jauh dari lokasi." "Hah?? Terus bundanya?" Mama Dina tampak shock. "Entah, beritanya masih kurang jelas. Ada yg bilang nggak papa, tapi kan kalau dilarikan ke rumah sakit berarti ...?" Nabila mengedikkah bahu. "Innalillahi...." "Makanya aku lagi bingung nih, Ma. Mau jenguk dia apa nggak, Bila nanya pendapat mama dulu baiknya gimana.” “
Nabila Mama Dina dan Zaki sudah berada di ruang rawat sekarang. Mereka masuk pelan-pelan karena menurut penuturan Adawiyyah, Dewa baru bisa beristirahat 15 menit yang lalu.Setelah sebelumnya mereka menerima kedatangan banyak tamu, dari saudara maupun teman-teman kantornya dulu. Itulah sebabnya Adawiyyah tak mengizinkan untuk membangunkan anak itu.'Malah alhamdulilah kalau begitu. Lagipula aku juga sebenernya males ketemu sama dia kalau bukan demi kemanusiaan aja.' Batin Nabila justru mensyukurinya.Kondisi Dewa lumayan mengenaskan. Memang tidak ada luka kepala seperti yang ada di film-film, yang setiap seseorang kecelakaan—entah kecelakaan apapun, pasti ada gulungan perban di sana. Tapi goresan luka di wajah serta beberapa lebam di tubuhnya sudah cukup membuktikan, betapa dahsyat ledakan gas tersebut. Tentu, sebab gas yang mereka pakai bukan gas subsidi yang kecil. Dari foto-foto yang diambil oleh wartawan di TKP pun menggambarkan, hampir sebagian rumah mereka sudah hancur. Ini ya
Kedua bahu Adawiyyah melorot. Wanita itu menunjukkan kesedihan yang luar biasa saat Mama Dina dan Nabila berpamitan pulang. Tidak ada yang menemaninya dan menguatkannya dalam kesendirian selama mendampingi putranya semasa sakit. Belum lagi memikirkan biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan. Dewa memang mempunyai asuransi, tapi mereka sudah lama menunggak premi. Jadi statusnya sudah tidak aktif sekarang. Hanya Rudy yang masih bisa diharapkan, namun lelaki itu juga tak kunjung kembali hingga saat ini. Karena kemungkinan, dia masih mencari kekurangannya. “Bila...” ujar wanita itu membuat jantung Nabila terasa was-was. Takut kalau-kalau mangan mertuanya tersebut meminta sesuatu hal yang tak bisa dia wujudkan. Sedang dia tak bisa menolaknya karena perasaannya sendiri. “Kalau ada apa-apa nanti, bolehkan Bunda meminta tolong?” Nabila tak bisa memberikan jawaban pasti agar ia merasa aman, “Insyaallah. Kalau saya bisa, saya lakukan.” Secercah harapan membangkitkan semangat Adawiyyah
“Sore, Tante,” sapa Fuja begitu Adawiyah membukakan pintu untuknya. Diperhatikannya wajah wanita itu, beliau seperti terpaksa menyambut dirinya. Tentu. Karena apalagi kalau bukan karena hubungan terlarang yang pernah dia lakukan bersama putranya? Lalu maunya dia bagaimana? Jikapun ada yang harus disalahkan, salahkan saja anaknya sendiri. Sudah tahu punya istri, tapi masih juga mengejar perempuan lain. Fuja sudah pernah membatasi dirinya pada saat awal pertama mereka dekat, tapi Dewa seolah mendekatinya terus-menerus. Kalau sudah begitu—maka hati wanita siapa yang akhirnya tak memiliki perasaan suka? Sekarang, setelah Fuja dibuat jatuh cinta, Dewa malah menolak untuk dikejar. Brengsek memang! Ok, kita lihat saja sampai mana mereka akhirnya menyerah dari jerat cintanya. Dewa harus bertanggung jawab dengannya dengan cara dinikahi. Dia sudah menikmati tubuhnya selama berulang kali. Enak saja! Pelac*r saja dibayar untuk itu. Masa dia yang cantik dan terjaga ini dinikmati secara grat
Di pantry.Nabila memasukkan semua bahan-bahan kopi racikannya ke dalam coffee maker sebelum kemudian dia menyalakan mesinnya. Cangkir khusus dia letakkan untuk menampung kopi yang telah dibuat.Batinnya berharap, semoga ini sesuai selera yang diinginkan oleh pria itu.“Ehem, ehem! Yang mau ngasih kopi ayank, iya ayankkk. Ah, ayankkk.”Nabila nggak melirik seorang gadis yang baru saja datang, namun sudah langsung julid kepadanya. “Apaan sih, Ris? Julidah banget jadi orang!”Paling menyenangkan adalah ketika berhasil membuat Nabila marah. Marahnya orang sabar kan lucu, seperti ada kepuasan sendiri pikirnya.“Yang spesial ya, Yank bikin kopinya. Kalau perlu tambah kecupan dan air liur, biar tambah manis dan menggugah selera.”“Pret!” Nabila menggoyangkan bokongnya yang kontan ditabok oleh gadis itu. Beruntungnya bokong Nabila tebal dan besar, jadi satu pukulan tersebut tidak akan terlalu terasa di kulitnya.Sembari berjalan meninggalkan pantry, Nabilah berteriak, “Makanya kamu juga cari
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa