Dinda pun segera bangkit dari atas pangkuan Dimas."Dasar wanita sialan! Kau itu sudah membuat ku kesal!" geram Dimas karena Dinda hanya diam saja.Sejak Megan datang hanya Dimas yang berusaha sendiri untuk meyakinkan wanita itu.Bahkan rasanya seperti tidak ada lagi kenyamanan mengingat Megan akan bertunangan dengan laki-laki lain.Artinya dengan begitu dirinya sudah tak lagi ada di hati Megan.Suatu fakta yang tak dapat di terima oleh Dimas.Tapi mendengar ucapan Dimas membuat Dinda tersenyum miring."Kenapa melihat ku seperti itu?" tanya Dimas.Melihat senyuman Dinda yang tampaknya tak perduli dengan kemarahannya.Karena Dinda selalu saja berani menantang dirinya.Entah sampai kapan dan entah mengapa pula bisa demikian."Berani anda berkata, jalang, wanita sialan, dan lainnya yang kasar lagi pada ku! Jangan harap aku mau membantu mu lagi!" papar Dinda."Kau berani menantang ku?!"Dinda pun berjinjit dan menarik dasi Dimas."Kenapa aku harus takut?!" tantang Dinda.Tidak ada raut wa
Di kamar dengan nuansa serba putih dengan kemewahan yang terasa seorang wanita paruh baya tampak memegang sebuah benda.Cukup banyak benda tipis pada tangannya dan satu persatu menampakkan wajah anaknya bersama dengan Dinda."Dimas membatalkan pergi melihat proyek karena pergi bersama istrinya ke mall?"Laras awalnya terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Gilang.Namun, setelah melihat buktinya dia pun kini percaya."Iya, Bu, itu benar," kata Gilang membenarkan.Laras pun mengangguk sambil terus melihat gambar di tangannya sampai berulangkali.Mungkin masih merasa bingung.Namun, sesaat kemudian Laras pun tersenyum."Tidak masalah, kau boleh pergi!""Saya permisi, Bu."Laras merasa ini adalah hal yang sangat bagus untuk hubungan antara keduanya.Hingga saat itu matanya melihat ke arah luar dari jendela kamarnya.Dia meletakkan foto di tangannya pada meja kemudian berjalan lebih maju beberapa langkah.Di bawah sana tampak mobil Dimas sudah terparkir.Sesaat kemudian Dimas turun be
"Muka mu pucat sekali, kamu sakit?" tanya Dimas saat melihat wajah Dinda saat ini yang tampak pucat.Dinda meletakkan secangkir kopi yang barusan dia buat untuk Dimas.Sepertinya selesai mandi Dimas butuh minum kopi hangat dan dia hanya ingin kopi buatan Dinda saja.Namun, sesaat kembali ke kamar Dimas melihat wajah Dinda tampak pucat."Kayaknya masuk angin," jawab Dinda.Kemudian dia pun segera membaringkan tubuhnya pada ranjang.Sedangkan Dimas sibuk dengan tab di tangannya ditemani secangkir kopi hangat buatan Dinda.Satu jam kemudian Dimas pun melihat Dinda masih berbaring di atas ranjang.Sedangkan dia mulai menuju meja makan untuk makan malam."Dinda di mana?" tanya Laras yang melihat hanya Dimas saja yang tiba di ruang makan."Tidur, Bu," jawab Dimas."Tidur?" tanya Laras bingung.Karena tidak biasanya Dinda seperti ini kecuali ada hal tertentu."Emang pemalas!" kata Moza yang langsung saja menimpali pembicaraan.Ia pun segera duduk di kursinya dan berharap Dinda tidak perlu ik
Sedangkan Laras kini sudah masuk ke kamar Dinda.Ternyata Dinda tengah berbaring di atas ranjang."Dinda," panggil Laras.Dinda yang mendengar suara Laras pun seketika membuka matanya.Perlahan dia pun duduk."Kamu sakit?" tanya Laras sambil terus berjalan ke arah Dinda.Dia melihat wajah Dinda cukup pucat."Masuk angin kayaknya, Bu," jawab Dinda."Ya sudah istirahat saja," Laras pun merasa lega.Sebab Dinda berada di kamar untuk beristirahat.Setelah memastikan Dinda di sana dia pun segera pergi.*****Dimas masih memikirkan apa yang dikatakan oleh putrinya.Menceraikan Dinda dan kembali pada Megan.Tapi dia bingung harus seperti apa saat ini.Dimas juga ingin putrinya bahagia dengan merasakan keluarga yang utuh.Itu adalah keinginan Moza sejak kecil.Sampai tengah malam Dimas tak dapat mengambil keputusan seperti apa untuk membuat anaknya bahagia.Hingga dia pun memilih untuk segera kembali ke kamar.Dia melihat Dinda di bawah selimut yang cukup tebal.Bahkan wanita itu menggigil ke
Dimas kembali ke kamar.Dia melihat uang yang sebelumnya dia letakkan pada ranjang masih saja ada di sana.Dimas pun mengerutkan keningnya bingung karena merasa Dinda sangat menyukai uang.Namun, mengapa tidak mengambil uang-uang tersebut?Tidak ingin lebih lama larut dalam pikirannya Dimas pun mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dinda.Karena tak menemukan di kamar dia pun mengelilingi rumah."Bu, apa Ibu melihat Dinda?" tanya Dimas."Tadi dia sempat sarapan di dapur, tapi dia buru-buru ke kampus," jawab Laras yang duduk di taman belakang sambil membaca majalah.Dimas pun sejenak mengingat saat Dinda sempat mengatakan akan pergi ke kampus.Tapi dia tidak menyangka jika Dinda pergi tanpa memberitahukan kepadanya sebelum berangkat."Lagian tumben sekali kamu menanyakan dia," Laras pun menatap wajah anaknya penuh selidik.Karena Dimas bukan orang yang peduli terhadap orang lain."Jangan sok cuek terus, giliran sedikit dia menghilang dari pandangan mata mu di cari," seloroh Laras
Ting!Satu pesan dari Moza.Dinda langsung membaca pesan tersebut dengan rasa penasaran.[Dinda aku minta maaf, aku kangen sama kamu, sama persahabatan kita yang dulu]Tangan Dinda bergetar hebat saat memegang ponselnya.Dengan mata yang berkaca-kaca dia pun kembali membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Moza.Akan tetapi, isinya masih saja sama.Dengan cepat dia pun mengusap air matanya.Rasanya ini seperti sebuah mimpi namun Dinda berharap ini adalah nyata.Meskipun beberapa kali berganti ponsel tapi dia tetap menggunakan SIM card yang sama.Sehingga Moza masih bisa menghubunginya."Dinda?" Kiara melihat wajah Dinda yang tampak bahagia.Meskipun beberapa kali sempat mengusap wajahnya karena air matanya terus saja menetes.Ting!Lagi-lagi sebuah pesan masuk dari orang yang sama.Dinda pun lagi-lagi membaca dengan perasaan tidak sabar.[Aku tunggu di tempat biasa, aku kangen banget sama kamu]Saat membaca pesan kedua Dinda langsung saja bangkit dari duduknya.Tempat biasa?Dinda tah
"Cepat pegang tangan ku!" Dimas terus berusaha untuk menggapai tangan Dinda.Akan tetapi Dinda memilih untuk tidak menggapai tangan Dimas.Sejenak Dinda pun melihat ke bawah sana pikirannya pun kini semakin rumit.Rasanya ini mungkin yang terbaik untuk dirinya.Tidak ada orang tua, tidak ada keluarga dan kini masuk di keluarga sahabatnya dan justru membuat Moza pun membencinya.Baiklah, jika begitu pilihan terbaiknya adalah pergi dari hidup orang-orang disekitarnya.Karena kenyataannya hanya menjadi beban saja untuk mereka semua.Tidak ada yang merasa diuntungkan dengan kehadiran seorang Dinda."Dinda, aku tahu kamu bisa!" seru Kiara yang kini juga mulai mengulurkan tangannya untuk Dinda.Semangat terus saja diberikan oleh Kiara agar Dinda bisa segera naik kembang.Dinda pun kembali melihat ke atas, dia tahu tanpa ditolong pun dia bisa naik ke atas sana.Namun, saat ini dia hanya ingin dalam ketenangan.Mungkin dengan pergi untuk selamanya jauh lebih baik.Baik bagi dirinya dan orang
Tapi Dinda menggelengkan kepalanya."Kiara," kata Dinda dengan raut wajah memohon agar Kiara tidak lagi memaksanya untuk melepas tangan Moza.Akhirnya Kiara pun menjauh dan saat itu Dinda pun menarik tangan Moza hingga akhirnya kembali naik ke atas.Tubuh Moza terasa lemas.Bahkan lututnya seperti tak lagi terasa membuatnya menjadi terduduk di lantai.Dimas langsung saja memeluk putrinya yang ketakutan setelah apa yang barusan dia alami."Pi, Moza takut," kata Moza yang terus saja memeluk Dimas dengan eratnya.Sedangkan Dinda memilih untuk segera pergi disusul oleh Kiara yang juga segera pergi dari sana."Tidak apa, kamu baik-baik saja," Dimas terus saja memeluk putrinya dengan erat.Dia tahu Moza memang bersalah.Akan tetapi rasa sayangnya terhadap Moza membuatnya tidak bisa marah.Apa lagi dia tahu bahwa keinginan untuk memiliki keluarga yang utuh adalah impian anaknya itu sejak kecil.Hingga membuat Moza seakan tak perduli bahwa dirinya hampir saja menjadi seorang pembunuh.Bahkan
Kadang kala mendengar kebagian orang lain kita juga ingin merasakan seperti mereka. Namun, saat bahagia itu tiba tentu saja ada perjalanan yang penuh kerikil yang harus dilewati. Begitu pun juga dengan Dinda, awalnya dia juga menolak pernikahan paksa ini. Tapi takdir tetap saja membawanya untuk menjalaninya. Pernikahan yang tidak dia inginkan itu pula yang membawanya bertemu pada kedua orang tuanya. Hingga sadar bahwa dia tak lagi sendirian melewati semuanya. Belum lagi cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Dimas begitu besar. Meskipun perbedaan usia yang terbilang cukup jauh tapi bukan menjadi masalah untuk hidup terus berdampingan. Hingga kini mereka memiliki anak kembar yang lucu dan menggemaskan. Meskipun Dinda adalah ibu tiri untuk sahabatnya sendiri, tapi tidak membuat kedua merasa canggung. Moza yang awalnya menentang pernikahan ayahnya dan sahabatnya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Apa lagi kenyataan pahit yang harus dia terima, bukan anak kan
Tuuut!!! Terdengar suara kentut yang cukup keras dan berasal dari Dinda. Membuat baby twins D seketika terjaga dan menangis keras. Padahal sudah payah Dinda menidurkan kedua bayinya itu. Tapi karena perkara kentut yang tak bisa dikondisikan malah membuat kedua bayi itu terusik. "Sayang," Dimas yang telah menunggunya sejak tadi di kamar pun memilih untuk segera menyusul ke kamar anaknya. Ternyata kedua anaknya tengah menangis keras. "Ada apa? Apa anak-anak rewel?" tanya Dimas. "Ini gara-gara kentut, tadi mereka udah tidur. Tapi Dinda malah kentut, mana suaranya keras banget. Bikin anak-anak kebangun," kesal Dinda. "Ahahahhaha," Dinda pun tertawa lucu mendengar ucapan Dinda, "kamu ini ada-ada saja, ayo tidurkan anak-anak dengan cepat, apa iya kita kalah sama pengantin baru itu," ujar Dimas. "Pengantin anak itu?" Dinda sepertinya bingung dengan maksud Dimas. "Sahabat mu itu dan Chandra, itu saja tidak tau!" "O, kirain tadi siapa. Ya, biarin aja mereka kan udah lam
"Baiklah, kamu tidur duluan, Mas mandi dulu, gerah," kata Chandra. Kiara mendengar suara gemerincing air dari kamar mandi. Saat itu Kiara pun segera keluar dari kamar. Dia pun pergi ke kamar Ibunya yang bersebelahan dengan kamarnya. "Ada apa?" tanya Diana. Awalnya Diana mengira jika saja Kiara sudah tidur. Ataupun mungkin saja terjadi hubungan antara suami dan istri dan rasanya itu sangat wajar. "Apa Mikayla rewel, Bu?" tanya Kiara yang hanya ingin membuat sebuah pertanyaan asal. Padahal dia sudah melihat sendiri jika saat ini anaknya tengah begitu terlelap dalam tidur di atas ranjang dengan Farhan yang juga berbaring di sampingnya. "Cucu Ibu baik-baik saja, kamu mendingan balik ke kamar mu, biasanya juga cucu Ibu tidurnya sama, Ibu," ujarnya. Karena Mikayla tidak minum asi, sehingga tidak sulit jika pun terus bersama dengan dirinya. "Oh," Kiara bingung harus beralasan apa lagi agar tetap berada di sana. Tapi jika bisa dia ingin tidur di kamar ini saja bersama
Kiara pun kini sudah berada di dalam kamar setelah pesta selesai. Malam ini semua keluarga menginap di hotel milik keluarga Chandra. Dimana pesta pun dilangsungkan di hotel tersebut. Kiara tidak tau apa yang terjadi padanya hari ini akan membawa kebahagiaan atau tidak nantinya Dia hanya sedang berjuang untuk putrinya, untuk terus bersama. Kini dia sedang berada di dalam kamar mandi, setelah selesai segera keluar dengan memakai piyama dan handuk putih yang membalut rambutnya. Saat itu matanya pun tertuju pada sebuah kado milik Dinda yang ada di sudut kamar. Dia sudah penasaran sejak tadi, apa lagi kini hanya sendiri saja di kamar. Membuatnya pun segera mengambilnya dan membawanya ke atas ranjang agar dia bisa duduk dengan nyaman. Tangan Kiara tampak bergerak melepaskan pita kado, kemudian bergerak membuka kotaknya. Mata Kiara pun melebar sempurna setelah melihat apa yang ada di hadapannya. "Tisu ajaib?!" tanya Kiara yang bingung. Meskipun sebelumnya sudah pernah
"Kamu masih ragu?" "Aku nggak tau, soalnya kamu aneh." "Kenapa begitu?" "Entahlah, tapi Mas boleh ngomong langsung ke Ibu dan Ayah. Kalau mereka setuju, Kiara juga setuju." *** Seperti yang dikatakan oleh Kiara, Chandra pun langsung berbicara pada kedua orang tua Kiara mengenai keinginan untuk rujuk kembali dengan Kiara. Dengan cara baik-baik tanpa ada beban yang tersimpan. "Diana, Farhan, terlepas dari masa lalu kita. Kini Kiara adalah ibu dari anak ku. Aku ingin anak ku dibesarkan di lingkungan yang baik-baik, memiliki orang tua yang lengkap." "Untuk itu aku mohon dengan sangat untuk mengijinkan aku dan Kiara menikah lagi, aku pun akan membahagiakannya," pinta Chandra. Farhan dan Diana pun tidak dapat lagi berkata-kata, sebab sudah menyaksikan sendiri seperti apa menderitanya Kiara selama beberapa bulan ini hamil tanpa suami. Mana mungkin dia kembali membiarkan putrinya kehilangan bayinya yang dibawa oleh Chandra. Sebab, kembali bersama adalah cara satu-satunya untuk men
"Boleh saya masuk?" tanya Chandra yang kini berdiri di depan pintu kamar. Kiara pun bingung harus menjawab apa. Iya atau tidak? Apa lagi kini keduanya hanya orang asing, bagaimana mungkin hanya berdua saja di dalam kamar tersebut. "Masuk saja," sahut Diana yang muncul dari arah belakang dan kini dia telah masuk terlebih dahulu dengan membawa makanan hangat untuk putrinya, Kiara. Sesaat kemudian Diana pun segera keluar dan kini Chandra pun mulai melangkah masuk. Kedua tangannya tampak memegang paper bag berisi perlengkapan bayi. Mulai dari susu, diapers, tisu, pakaian bayi dan lainnya. Kiara juga merasa tidak mampu untuk membeli susu formula dengan harga yang begitu mahal. Karena anaknya tidak tidak bisa minum susu formula sembarangan. Selain untuk perkembangan juga karena alergi. Kiara semakin stres memikirkan uang untuk bisa membeli susu formula untuk anaknya sendiri. "Boleh saya menggendongnya?" tanya Chandra lagi. Kiara pun perlahan memberikan pada Chandra
"Hay," Dinda dan Moza pun menjenguk Kiara dan bayinya yang sudah dibawa pulang ke rumah. Tentunya perasaan Kiara kini begitu bahagia melihat wajah bayi mungilnya yang sangat menggemaskan. "Kamu kapan hamilnya?" tanya Moza yang begitu penasaran. "Tau-tau udah lahiran aja," Dinda pun ikut menimpali. Kiara pun tersenyum mendengar ucapan kedua sahabatnya itu. Dia juga menyadarinya tapi selama hamil dia hanya di rumah saja menikmati kesendiriannya. Sedangkan dua sahabatnya juga sibuk dengan mengurus bayi mereka, bahkan sambil kuliah juga. Kegiatan yang begitu padat membuat mereka benar-benar hanya fokus pada kesibukan masing-masing. Berbeda dengan Kiara yang hanya di rumah saja hingga mereka tidak pernah bertemu. Apa lagi rumah mereka yang cukup berjauhan. "Pantesan waktu aku lahiran kamu gemukan, taunya isi," Moza pun mengingatkan kembali saat itu. Begitu juga dengan Dinda yang tidak lupa saat itu sempat berkomentar tentang penampilan Kiara dan bentuk tubuh yang berbed
Chandra tidak lagi peduli akan status perceraian mereka berdua. Kini dia harus melihat keadaan putrinya, menjaganya hingga nanti akhirnya dokter mengatakan sudah bisa dibawa pulang. Bahkan Chandra pun tidak peduli pada Diana dan Farhan yang selama ini menentang hubungan antara dirinya dan juga Kiara. Sebab, Chandra sudah terlalu merasa bersalah pada bayinya. Bayi yang lucu itu dia beri nama Mikayla Chandra Winata. Bahkan Chandra tidak mempertanyakan sama sekali kebenaran tentang dirinya yang ayah kandung bayi itu atau bukan. Karena Chandra bisa melihat wajahnya dalam wajah bayi itu. Jika pun Kiara yang tiba-tiba mengatakan bahwa itu bukan bayinya nanti, justru Chandra yang tidak percaya. "Kiara, biarkan bayi itu bersama ku saja, aku yang akan merawatnya, dan membesarkannya," pinta Chandra. Chandra akan melakukan segala cara untuk bisa menebus kesalahannya terhadap bayinya. Sebab, baru mengetahui saat bayi itu lahir. Bahkan setiap kali melihat bayi Mikayla seketik
Chandra tidak ingin banyak bertanya untuk apa uang yang diminta oleh Kiara. Bahkan dia juga cukup terkejut melihat nama Kiara yang muncul dilayar ponselnya. Awalnya Chandra tak percaya, tapi begitulah adanya. Bahkan saat sedang rapat pun dia tetap menerima panggilan telepon. Mungkin jika bukan Kiara yang menghubungi dia tak akan menjawab karena masih dalam rapat penting. Dan untuk mendengar suara Kiara saja rasanya sangat dirindukannya. Walaupun hanya sebentar saja mendengarnya. Bahkan dia langsung mengirimkan uang tanpa tau sebenarnya berapa banyak uang yang dibutuhkan oleh Kiara. Apakah uang itu cukup atau tidak. Chandra tidak tau. Hingga akhirnya kini Chandra selesai rapat. Dia duduk di ruangannya dengan perasaan yang penuh tanya. Dia ingin menghubungi Kiara kembali, tetapi ragu. Akhirnya dia pun hanya diam sambil terus memikirkan tentang Kiara. Bahkan kini sudah malam tapi dia masih saja berada di kantor dengan perasaan yang tidak tenang tanpa sebab yang