Raffael memandang wajah yang masih terlelap di depannya dengan bahagia, dia tidak menyangka momen ini akan tiba juga. Mata yang masih terpejam dengan erat dan juga dengkur lirih yang menandakan tidur yang benar-benar nyenyak, Raffael bahkan rela menukar harta yang dia punya supya bisa mengalami momen ini setiap hari. Syukurlah dia cepat tersadar dari mimpi buruk kehidupan yang mencengkeramnya kuat, jika tidak tentu dia tidak bisa merasakan hal ini. Tidur sambil mendekap buah hati tercintanya. Samar terdengar suara Ana yang sedang berbicara entah dengan siapa, di apartemen Ana ini mereka hanya tinggal bertiga saja, Sasi memutuskan untuk tinggal bersama temannya, supaya dekat dengan tempat kuliahnya begitu alasan yang dia buat pada Ana entahlah Raffael juga terlalu ikut campur masalah itu, dia juga tidak masalah hidup tanpa pelayan, setidaknya dia harus membiasakan diri. “Romeo sedang tidur dengan papanya, dia pasti akan senang kalau mas ke mari.”Mas? Satu-satunya orang yang Raffa
Jika waktu itu laki-laki paruh baya itu datang dengan masih memperlihatkan taringnya yang tajam, sekarang yang ada di depan mereka adalah laki-laki menyedihkan yang sedang putus asa. Bahkan harga diri yang beberapa waktu lalu dia agung-agungkan seolah hilang tak berbekas lagi, rasa cintanya sudah menggerus kesombongan yang selama ini telah menemani hidupnya. “Berdirilah apa yang kamu lakukan.” “Aku tidak akan berdiri sebelum kalian memenuhi permintaanku.” Dua orang itu langsung tersenyum sinis bahkan dalam kondisi yang tak berdaya sekalipun laki-laki itu tetap pemaksa dan tidak mengenal kata tidak. Luar biasa bukan seolah dia masih punya nilai tawar saja. “Aku tidak tahu apa permintaanmu, lagi pula bukankah kamu sudah berjanji tidak akan menganggu keluargaku lagi.” “Aku minta maaf, tapi kali ini keadaannya sangat mendesak.” “Aku mendengarkan, meski akan lebih beradab jika kamu duduk dengan tenang di kursi itu, ini
“Kamu tidak nyaman tidur di sini?” tanya Ana, padahal dia sudah tidur di pinggir dan jika dia bergerak sedikit lagi dia akan jatuh, tapi mahluk yang berbagi tempat tidur dengannya ini malah terus bergerak. Dia tidak tahu itu karena kegerahan atau tempat tidurnya terlalu sempit. Ini adalah siksaan luar biasa untuk Raffael, dia tidur bersebelahan dengan sang istri yang sangat dia inginkan tapi dia sama sekali tak bisa menyentuhnya, jangankan menyentuh bisa tidur berdampingan dalam satu ranjang saja butuh perjuangan bagi Raffael, dia harus mengucapkan berbagai janji dan juga harus mengeluarkan stock rayuan rahasianya, dia tidak mau usahanya yang keras itu berakhir berantakan hanya karena dia tidak bisa mengendalikan dirinya. “Bukan begitu, hanya terlalu gerah saja,” jawab Raffael. Ah sial! Saat dia menoleh pada sang istri yang sedang mengajaknya bicara, snag istri tidur telentang dengan kepala agak miring membuat lehernya yang putih mulus terekpos dengan lelu
“Itu berita yang sangat bagus, selamat untuk kalian berdua,” kata resti dengan wajah berbinar senang. Lagi-lagi Ana melakukan video call dengan Resti membuat Raffael sebal saja, apalagi ini sudah malam dan dia yang sejak baikan dengan Ana berubah menjadi kolokan tentu saja sangat terganggu dengan hal itu, apalagi dia juga mendengar suara Adam di sana, rasa cemburu itu tak juga sirna meski saat ini yang bicara pada istrinya adalah Resti. Andai saja mengganti Adam semudah mengganti manager artis yang lain tentu Raffael akan dengan senang hati menggantikannya dengan orang lain. Bukan karena laki-laki itu adalah yang terbaik di bidangnya, karena Raffael punya puluhan manager yang bahkan lebih baik dari Adam, akan tetapi karena sang istri terlalu menyayangi managernya itu, bahkan kalau dia nekad bisa saja Ana lebih memilih ganti suami dari pada ganti manager. “Tentu saja, sayang sekali kamu sedang ada kontrak yang tidak bisa dipending, akan sangat menyenangkan jika kita bisa bermain f
Ana tertawa saat melihat Romeo yang berteriak kegelian saat digelitiki kakeknya, lalu sang nenek yang akan mengomel karena membuat cucu kesayangannya harus berteriak-teriak kegelian. Sungguh Ana sangat bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk merasakan kebersamaan ini. Keluarga adalah tempat untuk pulang, keluarga adalah tempat kita berbagi suka dan duka serta dukungan, Ana sudah sangat lama tidak merasakan hal itu, bahkan mungkin dia sudah lupa bagaimana rasanya, tapi sekarang dia bisa merasakannya lagi dan juga bonus tawa ceria sang putra yang bisa bermain dengan keluarga kandungnya. “Terima kasih,” bisik sebuah suara disertai dengan sebuah pelukan hangat di belakangnya, dan tanpa menoleh sekali pun Ana tahu siapa yang melakukan ini semua. Raffael suaminya tercinta, satu-satunya laki-laki yang membuatnya merasakan apa itu cinta, sekaligus yang telah menorehkan luka yang sangat dalam di hatinya, tapi sekarang Ana sudah baik-baik saja. Luka itu memang masih dia ingat deng
Pesta bukan merupakan kegiatan favorit Ana. Akan tetapi menjadi seorang artis apalagi saat ini dia menjadi istri salah satu pebisnis yang berkecimpung di dunia keartisan membuat Ana mau tak mau harus berteman akrab dengan yang namanya pesta. Gaun mahal, riasan sempurna juga semua hal yang harus berteriak mahal harus melekat di tubuhnya. Bangga? Oh sama sekali tidak, Ana yang terbiasa hidup susah tentu saja kesulitan untuk beradaptasi dengan semua ini, pesta-pesta yang sering dia hadiri tak membuat Ana terbiasa untuk hal itu, dia lebih akrab dengan dapur dan kebun dari pada barang-barang mewah dan itu disadari betul oleh Raffael. Jika dulu Bella dalam sebulah bisa menghabiskan ratusan bahkan milyaran untuk menunjang penampilannya, tapi sekarang tidak sampai puluhan juta Ana sudah bisa menghandle semua kebutuhan keluarga baik untuk dirinya dan juga anak mereka, bahkan Raffael pernah berseloroh. “Aku bisa cepat kaya kalau punya istri hemat sepertimu.” Ana hanya bisa meringis
Jerit kesakitan itu menggema, teriakan, makian dan juga sumpah serapah membuat Bella menutupi telinganya, dia menyesal langsung ke mari tanpa persiapan apapun. Tapi bagaimana lagi dia sekarang dalam pelarian dan dia tidak bisa menyiapkan apapun yang dia inginkan, apa memang sesakit itu mengeluarkan manusia baru. Tangannya menjadi dingin, dia yang belum pernah melahirkan tentu saja merasa ngeri, dia bahkan melihat seorang wanita yang dengan brutal menjambak rambut laki-laki di sebelahnya sambil berteriak kesakitan. “Apa mungkin mereka di sini,” gumamnya tak yakin setelah kepalanya dari tadi celingak celinguk mencari seseorang, tapi sampai pusing dia tidak dapat menemukannya. Bella berpikir sejenak, ruangan ini memang terlalu biasa untuk orang kelas atas seperti mereka, tapi kenapa suster yang dia tanya bilang hanya ini ruangannya, apa suster itu membohonginya? Bella membetulkan topi yang dia gunakan, berharap tidak ada orang yang mengenalinya, hampir satu tahun dia menghilang dari l
Sofi setengah mati menginginkan posisi seperti Ara sekarang tapi sahabatnya itu malah ingin lari menghindar.Ini mungkin kesempatan untuknya, tapi Sofi tahu dia bukan barang yang seenaknya dipindahkan. “Kamu yakin akan melakukannya?” “Tentu aku belum siap untuk semua ini dan... mungkin tak akan pernah siap.” “Kamu bisa bicara baik-baik dengannya, dan orang tuamu tentu.” “Mereka tidak akan mau mendengar lagi pula aku tidak ingin melihat kekecewaan di mata mereka, aku menyayangi mereka tapi keinginanku dan keinginan mereka bersebrangan.” “Kamu pengecut,” desis Sofi dan tanpa dia duga Ara malah mengangguk. “Aku tahu tapi mereka akan baik-baik saja, ayah dan ibu akan marah, tapi itu lebih baik dari pada seumur hidup aku terjebak selamanya dalam penderitaan.” Sofi menunduk dia kembali teringat pertemuan terakhirnya dengan Ara, pagi itu dia mengantar Ara ke bandara tentu atas permohonan gadis itu, dan sekarang Sofi menyesalinya kenapa dia tidak meminta Ara naik taksi saja. “Saya m
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan