Ana menatap Raffael dengan wajah ketakutan, apalagi dia bisa melihat kilat amarah di mata laki-laki itu.
Ana bukan tak mengerti apa yang ingin di lakukan Raffaael, mereka memang sering melakukannya dan laki-laki itu sama sekali tak pernah lembut padanya, tapi Ana biasa terima, karena hatinya masih berharap untuk bisa menyenangkan suaminya tapi kali ini berbeda, tak ada harapan lagi untuk Ana meraih hati Raffael.Juga... ada bayi yang masih bergelung dalam rahimnya.Cepat Ana bangkit berdiri, dia harus keluar dari ruangan ini, dia tak mungkin berteriak minta tolong, karena selain ruangan ini kedap suara juga ini di rumah orang tua laki-laki itu, mereka memang sangat menyayangi Ana, tpi statusnya hingga saat ini masih istri sah Raffael.Ana bergerak cepat menuju pintu, tapi ternyata laki-laki tak membiarkannya begitu saja, seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya secepat itu pula Raffael bergerak, tahu-tahu sekarang sudah ada di depan Ana.“Kamu cantik, pintar, baik dan sangat mandiri, aku tidak tahu kenapa kamu bisa berakhir menjadi istri kedua laki-laki yang sama sekali tak mengharapkanmu?” Ana hanya bisa terdiam mendengar perkataan wanita di depannya ini, bukan maunya untuk menjadi wanita kedua, bukan inginnya malam itu terjebak dalam lembah dosa bersama Raffael, meski belakangan baru dia ketahui bahwa Raffael saat itu dalam pengaruh obat. Yah meskipun ini juga salahnya yang sempat terbuai oleh laki-laki yang dicintainya dan juga demi menyelamatkan karirnya. “Maaf,” gumam Ana pelan. Wanita itu menghela napas dengan dalam, wanita yang menurut Ana sangat berbeda dengan yang dia temui di rumah Raffael waktu itu yang diminta oleh ibu mertuanya untuk menjaganya untuk sementara waktu, tapi karena ada pekerjaan yang tidak bisa dihandle yang lain terpaksa dia ditarik kembali ke rumah utama. Mbak Reni, begitulah Ana memanggilnya, wanita yang hanya beberapa tahun lebi
Ada sedikit rasa bersalah di hati Raffael saat memperlakukan Ana seperti itu, apalagi istrinya itu baru saja keguguran dan masih dalam tahap pemulihan, tapi Raffael berusaha untuk menepis rasa itu. Ana memang pantas mendapatkannya, wanita itu sudah membuatnya terjepit, dan orang tuanya sekarang juga sama sekali tidak menganggap Bella sebagai menantunya, awalnya Raffael hanya berpikir itu hal yang biasa karena Ana bisa memenuhi keinginan orang tuanya, meski Bella sering protes, tapi dia berusaha menenangkan wanita yang dia cintai itu. Akan tetapi lambat laun dia juga merasa orang tuanya sangat tidak adil pada Bella, membuatnya menyalahkan Ana atas hal itu, puncaknya saat Ana keguguran dan Raffael tak bersama wanita itu, ayahnya begitu marah pada Bella yang membuat istrinya itu sedih. Pintu diketuk dengan pelan dan Bella melangkah masuk begitu pintu terbuka, membuat senyum Raffael menggembang.“Sayang kamu di sini, bagaimana syuting hari
“Saya kira anda akan datang bersama Anastasya, saya sudah lama tidak ngobrol dengannya,” sapaan tuan rumah di depan pintu masuk itu membuat Raffael dan Bella tak suka, meski sedapat mungkin kemarahan itu mereka sembunyikan dengan senyum menawan yang selalu bertengger di wajah ke duanya. Ada yang retak dan patah di dalam sana, bahkan tak ada orang lain yang tahu, kalau aoi itu mulai tersulut di hati Bella, bukan hanya orang tua Raffael yang mengagungkan wanita itu, tapi juga artis senior ini juga, Bella bahkan tak suka cara sang tuan rumah menyebut nama Ana, apalagi sang istri juga terlihat sangat antusias menanyakan tentang Ana. “Ana sedang tidak enak badan, karena itu saya datang mewakilinya, dia bilang tidak enak kalau tidak datang,” kata Raffael. “Ah, tuan Raffael bisa saja, saya sebenarnya yang tidak enak hati karena mengganggu waktu sibuk tuan, padahal ini hanya acara ulang tahun orang tua seperti saya.” “Saya malah terhormat bisa datan
“Bukankah dia laki-laki yang waktu itu minumannya diberi obat perangsang,” kata salah satu pelayan yang kebetulan melihat Raffael menuntun Bella ke dalam ruangan. “Iya benar dan wanita yang dituntun itu yang memberikan obat itu.” “Iya benar, itu artis Isabella tidak salah lagi, dia juga membagi-bagikan uang untuk tutup mulut, padahal laki-laki itu terlihat mencintai Bella, tapi kenapa Bella malah menjebaknya dengan Ana?” yang lain mengajukan tanya, “Entahlah, apa mungkin waktu itu salah sasaran ya?” “Ah mana mungkin, kalau salah sasaran untuk apa kita diberi uang, bukankah waktu itu Bella sendir yang memergoki mereka.” “Ya jelas saja bisa memergoki wong dia yang merencanakan.” “Stt,,,, sepertinya dia mendengar pembicaraan kita, ayo pergi jika tidak ingin mendapat masalah kabarnya laki-laki itu sangat berkuasa.” Para pelayan yang baru saja berkumpul itu langsung membubarkan diri dan pura-pura bekerja seperti biasa.
Raffael memandang wajah yang masih tertidur pulas itu dengan pandangan geram, kalau saja tidak malu dan gengsi pada harga dirinya yang setinggi gunung himalaya, Raffael tentu saja akan menangis, yah menangisi semua yang terjadi padanya. Sungguh ironis bukan wanita yang dia perjuangkan mati-matian nyatanya tega menusuknya dari belakang, dia bahkan pernah bercerita pada Bella saat akan menikahi Ana, akan membalas dendam pada wanita itu dan membuatnya menderita karena berani menjebaknya, tapi ternyata....Raffael menggelengkan kepalanya, merasa konyol sendiri. Sejak awal pernikahannya dengan Bella, ornag tuanya memang tidak terlalu setuju, meski tidak menentang dengan keras dan berbuat yang ekstrim, tapi orang tuanya sudah berkali-kali bilang untuk memikirkan semuanya sekali lagi. Bagi Raffael yang sedang terserang virus jatuh cinta yang sudah dalam tahap parah, tentu saja tak akan mau mendengarkan itu, baginya menikahi Bella adalah hal paling b
Bella menangis sangat keras, dan berusaha melawan, dia bukan wanita yang mau begitu saja tunduk pada orang lain, dia terbiasa dipuja dan dimanja. Hidup bergelimang harta sejak kecil membuatnya sangat percaya diri dan merasa bahwa dunia berada dalam genggamannya, dia selalu memiliki seribu satu cara untuk bisa mencapai keinginannya. Sejak kecil Bella adalah magnet, wajahnya yang cantik sangat mendukung itu semua, dia sangat suka jika perhatian semua orang tertuju padanya, saat sekolah dulu banyak sekali kawan sekelasnya yang mendekati, mereka dengan suka rela akan mengerjakan semua PR Bella, dan membantu Bella jika ada kesulitan. Kehidupan yang selalu dimudahkan sejak kecil itu terbawa sampai sekarang. Bella salah jika mengira dengan tangisnya Raffael akan luluh dan meminta maaf padanya, suaminya itu hanya menatap lurus ke depan, ke arah jalan yang lengang dini hari ini, bahkan dengan semena-mena Raffael menambah kecepatan mobilnya membuat Be
Raffael tidur meringukuk di pangkuan ibunya. Dia hanya diam tanpa berkata-kata, tapi sang ibu seolah sudah tahu tentang apa yang dirasakan putranya, mungkin ini yang disebut ikatan batin. Sandra Alexander hanya membelai rambut putranya dengan sayang, yang dibutuhkan Raffael saat ini bukan kata-kata hiburan, atau bantuan apapun, putranya itu hanya butuh ketenangan dan bisa kembali berpikir jernih. Sandra tak tahu dengan jelas apa yang terjadi, tapi dari laporan asistennya yang tiba-tiba dihubungi Raffael untuk datang di gedung waktu itu, membuatnya sedikit banyak bisa meraba apa yang telah terjadi.... rahasia besar itu terkuak sudah. Akan tetapi Ana sudah pergi dan terlihat sama sekali tak ingin kembali, Sandra bisa mengerti itu, luka yang didapat anak itu karena putranya sudah sangat parah dan rasanya jika dia ada dalam posisi Ana akan memilih mati saja dari pada menghadapai ini semua, tapi anak itu berbeda, dia masih saja menampakkan senyumn
“Saya datang bukan untuk mendapat tamparan,” kata Raffael dingin. Tangannya dengan sigap menahan tangan ayah mertuanya yang ingin memukulnya, Raffael mengakui kalau rasa perdulinya pada Bella masih tetap ada meski dia sudah sangat kecewa pada wanita itu. Bella tetap saja istrinya, wanita yang sampai saat ini Raffael akui sebagai wanita yang sangat dia cintai, tapi dia tidak akan mau lagi diperbudak oleh perasaannya, benar aoa kata ibunya andai saja waktu itu orang tuanya mengatakan secara langsung tentang masalah ini, dia pasti tidak akan percaya dan pasti akan menyangka orang tuanya hanya mengada-ada, tapi saat dia sendiri yang menemukan fakta ini, dia tak bisa lagi menghindar, dan tentu saja ini juga menjadi pukulan tersendiri untuknya. “Kurang ajar kamu?! Berani membiarkan anakku seperti ini, ini yang kamu sebut akan membahagiakannya!”terikan keras penuh kemarahan itu menggema di ruangan VVIP rumah sakit itu.Raffael hanya menatap dengan da
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan