Ana sudah berusaha menghubungi ponsel Raffael, tapi tetap saja tidak ada jawaban, hanya jawaban dari operator yang mengatakan kalau saat ini sedang ada di luar jangkauan.
Entah ada di mana laki-laki itu, sejak kejadian tiga hari yang lalu, Raffael belum datang lagi ke mari. Romeo meski mengatakan kalau dia baik-baik saja tanpa sang ayah, tapi Ana tahu kalau anak itu diam-diam merindukan ayahnya, bagaimanapun dia tetap anak-anak yang sangat membutuhkan kedua orang tuanya, apalagi di salah satu momen terberat dalam hidupnya.Yah hari ini tepatnya sore nanti Romeo akan menjalani operasi untuk memperbaiki kakinya, sebenarnya hal ini juga bukan hal yang tidak diketahui Raffael dan keluarga laki-laki itu.Apa Raffael memutuskan untuk pergi dan memilih Bella yang sedang dalam kondisi memprihatinkan karena perbuatannya sendiri?Malam itu memang Raffael pergi tanpa memperdulikan keberatan Ana maupun Romeo, Ana memandang Romeo yang sedang membacaAna merasakan rasa nyaman yang belum pernah dia rasakan, Rasa nyaman yang membuatnya terbuai. Rasanya enggan sekali dia meniggalkan semua ini, ingin lagi dan lagi. Harum tubuh yang membuatnya nyaman, juga pelukan hangat yang sangat dia rindukan, ah... entah sudah berapa lama dia tidak merasakan kenyamanan ini, tapi dia tidak pernah lupa rasa itu, rasa yang membuatnya melayang jauh di atas awang. Tubuhnya terayun, Kepalanya bergerak pelan makin mendekat pada pelukan hangat itu, Ana bisa merasakan sebuah tangan memeluknya dengan posesif, tapi alih-alih menghindar, dia malah bertahan, di tengah kegelapan itu, sekali saja dia ingin menikmatinya. Kehangatan itu hilang saat tubuhnya direbahkan dan berganti dengan selimut yang beberapa hari ini memang sangat familiar di tubuhnya, perlahan Ana membuka matanya hanya untuk mendapati seraut wajah tampan yang begitu dekat dengannya, refleks Ana mendorong tubuh itu dan langsung terduduk. “Jangan duduk
Ditinggalkan...Mungkin itu hal yang pantas untuk seorang pengkhianat, hidup dalam kesendirian bertemankan sepi, tanpa ada satu orang pun di sisinya. Dulu dia begitu bersinar di panggung hiburan, hampir semua orang yang dia temui menatapnya dengan sinar mata kekaguman, saat itu dia bisa berbangga diri, semua keinginannya sudah ada dalam genggaman, tapi dia lupa diri dan ingin meraih lebih dan lebih hingga dia tergincir karena tubuhnya tak sanggup untuk menanggung beban keinginannya, bahkan wajah cantik dan senyum manisnya tak lagi membuatnya bangga.Hanya kehampaan yang dia rasakan terkurung dalam ruangan yang bahkan tak pernah diimpikan akan menjadi tempat tinggalnya saat ini, dulu dia bahkan tak sudi tidur di kamar tanpa ac dan kasur king size, tapi kini jangankan ac ada jendela saja dia harus bersyukur. Wanita itu hanya diam menatap kosong keluar ruangan bahkan saat pintu ruangan itu terbuka dan langkah kaki terdengar, dia seolah tenggelam da
“Boleh aku memelukmu?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Raffael pada Ana, pertemuan dengan wanita yang selama masa remaja menghuni hatinya membuat perasaannya tak karuan, padahal beberapa hari belakangan, tepatnya sebelum penculikan Romeo dia sudah sangat yakin rasa itu sudah hilang dan hanya meninggalkan puing-puing rapuh yang akan roboh seiring angin yang bertiup, pun saat dia mengajak Ana untuk mengunjungi wanita itu. Raffael sudah sangat yakin dia tidak akan goyah lagi, keluarga kecilnya adalah prioritasnya saat ini dan juga ke depannya. Ana menggeleng membuat Raffael kecewa, tapi perkataan wanita itu selanjutnya berhasil memukulnya telak. “Yang ingin kamu peluk dia bukan aku, aku tidak ingin menjadi pengganti.” Raffael langsung terdiam di tempatnya saat ini mereka memang sedang ada di halaman rumah sakit jiwa tempat Bella di rawat, dan kenapa mereka ada di sini jawabannya sudah jelas bukan Raffael meminta Ana untuk menemaninya mengunjungi wanita itu, Ana sudah b
Pagi ini Raffael tak henti-hentinya tersenyum, di bahkan bangun lebih pagi dari biasanya, mandi lebih pagi dan sarapan lebih pagi, padahal bibi belum membuatkan sarapan pagi untuk keluarga itu, tapi Raffael malah mengambil dua tangkup roti, mengolesinya dengan selai kesukaanya dan memanggangnya dalam toast. Wow! Bibi dan beberapa koki rumah orang tua Raffael yang memang sedang bekerja langsung benging seketika, bahkan laki-laki itu menolak ketika bibi ingin membuatkannya segelas kopi seperti biasanya, laki-laki itu hanya minta bantuan untuk menyalakan kompor dan bagaimana memastikan air mendidih, laki-laki itu menunggu sejenak supata air tidak terlalu panas lalu menungkan dalam gelas dengan satu sendok kopi dan satu setengah sendok gula menunggu, lalu dengan hati-hati dia membawa kopinya itu ke meja makan dan segera menikmati sarapan itu sendiri. “Tuan muda mau saya buatkan nasi goreng atau masakan lainnya, ehm.. maaf kalau masakan belum siap,” kata bibi tak enak hati, dia sudah iku
Raffael memandang wajah yang masih terlelap di depannya dengan bahagia, dia tidak menyangka momen ini akan tiba juga. Mata yang masih terpejam dengan erat dan juga dengkur lirih yang menandakan tidur yang benar-benar nyenyak, Raffael bahkan rela menukar harta yang dia punya supya bisa mengalami momen ini setiap hari. Syukurlah dia cepat tersadar dari mimpi buruk kehidupan yang mencengkeramnya kuat, jika tidak tentu dia tidak bisa merasakan hal ini. Tidur sambil mendekap buah hati tercintanya. Samar terdengar suara Ana yang sedang berbicara entah dengan siapa, di apartemen Ana ini mereka hanya tinggal bertiga saja, Sasi memutuskan untuk tinggal bersama temannya, supaya dekat dengan tempat kuliahnya begitu alasan yang dia buat pada Ana entahlah Raffael juga terlalu ikut campur masalah itu, dia juga tidak masalah hidup tanpa pelayan, setidaknya dia harus membiasakan diri. “Romeo sedang tidur dengan papanya, dia pasti akan senang kalau mas ke mari.”Mas? Satu-satunya orang yang Raffa
Jika waktu itu laki-laki paruh baya itu datang dengan masih memperlihatkan taringnya yang tajam, sekarang yang ada di depan mereka adalah laki-laki menyedihkan yang sedang putus asa. Bahkan harga diri yang beberapa waktu lalu dia agung-agungkan seolah hilang tak berbekas lagi, rasa cintanya sudah menggerus kesombongan yang selama ini telah menemani hidupnya. “Berdirilah apa yang kamu lakukan.” “Aku tidak akan berdiri sebelum kalian memenuhi permintaanku.” Dua orang itu langsung tersenyum sinis bahkan dalam kondisi yang tak berdaya sekalipun laki-laki itu tetap pemaksa dan tidak mengenal kata tidak. Luar biasa bukan seolah dia masih punya nilai tawar saja. “Aku tidak tahu apa permintaanmu, lagi pula bukankah kamu sudah berjanji tidak akan menganggu keluargaku lagi.” “Aku minta maaf, tapi kali ini keadaannya sangat mendesak.” “Aku mendengarkan, meski akan lebih beradab jika kamu duduk dengan tenang di kursi itu, ini
“Kamu tidak nyaman tidur di sini?” tanya Ana, padahal dia sudah tidur di pinggir dan jika dia bergerak sedikit lagi dia akan jatuh, tapi mahluk yang berbagi tempat tidur dengannya ini malah terus bergerak. Dia tidak tahu itu karena kegerahan atau tempat tidurnya terlalu sempit. Ini adalah siksaan luar biasa untuk Raffael, dia tidur bersebelahan dengan sang istri yang sangat dia inginkan tapi dia sama sekali tak bisa menyentuhnya, jangankan menyentuh bisa tidur berdampingan dalam satu ranjang saja butuh perjuangan bagi Raffael, dia harus mengucapkan berbagai janji dan juga harus mengeluarkan stock rayuan rahasianya, dia tidak mau usahanya yang keras itu berakhir berantakan hanya karena dia tidak bisa mengendalikan dirinya. “Bukan begitu, hanya terlalu gerah saja,” jawab Raffael. Ah sial! Saat dia menoleh pada sang istri yang sedang mengajaknya bicara, snag istri tidur telentang dengan kepala agak miring membuat lehernya yang putih mulus terekpos dengan lelu
“Itu berita yang sangat bagus, selamat untuk kalian berdua,” kata resti dengan wajah berbinar senang. Lagi-lagi Ana melakukan video call dengan Resti membuat Raffael sebal saja, apalagi ini sudah malam dan dia yang sejak baikan dengan Ana berubah menjadi kolokan tentu saja sangat terganggu dengan hal itu, apalagi dia juga mendengar suara Adam di sana, rasa cemburu itu tak juga sirna meski saat ini yang bicara pada istrinya adalah Resti. Andai saja mengganti Adam semudah mengganti manager artis yang lain tentu Raffael akan dengan senang hati menggantikannya dengan orang lain. Bukan karena laki-laki itu adalah yang terbaik di bidangnya, karena Raffael punya puluhan manager yang bahkan lebih baik dari Adam, akan tetapi karena sang istri terlalu menyayangi managernya itu, bahkan kalau dia nekad bisa saja Ana lebih memilih ganti suami dari pada ganti manager. “Tentu saja, sayang sekali kamu sedang ada kontrak yang tidak bisa dipending, akan sangat menyenangkan jika kita bisa bermain f
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan