“Bisakah sekarang kita bicara secara dewasa,” kata Raffael.
Ana tahu sebuah pernikahan bukan hanya tentang sepasang buku nikah saja, ada kesakralan dan tanggung jawab yang besar di dalamnya dan sebagai seorang istri dia juga tahu apa hak dan kewajibanya pada suaminya, Neneknya sudah memberikan nasehat yang panjang lebar terkait hal itu sebelum menikah atau saat berkunjung ke rumah neneknya kemarin.Pernikahan yang dia jalani bersama Raffael memang bukan pernikahan yang normal, tapi tetap saja Ana sadar kalau dia salah menyembunyikan kehamilannya ini dari Raffael, yang notabene ayah kandung bayi ini, Ana hanya merasa takut dan belum siap untuk mengatakan semuanya, tapi dengan kejadian ini dia tidak akan bisa mengelak lagi.Ana yang sedang meringkuk di ujung terjauh ranjang dari Raffael perlahan mengangkat kepalanya, tangannya masih setia memeluk perutnya, seolah jika dia tidak melakukan itu Raffael akan menyakiti bayi dalam kandungannya. Melihat Ana ya“Aku mengajukan Resti yang mengikuti audisi ini, karena pimpinan theater minta aku mengirimkan aktrisku yang lain, dia memang tidak sebaik dirimu tapi aku yakin dia akan mendapatkan salah satu peran di sana.” Kata Adam saat Ana menghubunginya dan ingin mengatakan apa yang terjadi sore ini. “Syukurlah menurutku dia sangat berbakat dan beberapa hari yang lalu aku juga sempat iseng berduet juga dengannya, dan suaranya sangat bagus, aku yakin jika dia beruntung dia akan mendapatkan pemeran utama, kenapa Mas Adam tidak mendorongnya untuk itu?” tanya Ana. Adam yang dia tahu sangat optimis, dan dia bukan manager pemula yang tidak bisa mengenali bakat artisnya, bahkan Ana saja yang baru beberapa tahun berkecimpung di dunia entertaiment bisa melihatnya dengan jelas. “Yah aku yakin memang dia bisa bersaing dengan peserta yang lain, dengan catatan mereka mengikuti audisi secara fair,” kata Adam terdengar kesal. “Maksudmu Bella? Bukankah undangan itu suda
“Terima kasih, Nak, ibu senang sekali mendengar berita ini,” kata Sandra Alexander. Wanita paruh baya yang masih cantik itu langsung mengajak suaminya untuk datang ke rumah sang anak begitu mendengar berita dari dokter keluarga, karena berita itu juga dia meminta asisten rumah tangganya untuk memasak berbagai makanan dan membeli berbagai keperluan yang diperlukan Ana, sang ibu juga menempatkan satu asisten khusus untuk memenuhi permintaan ngidam Ana nantinya, dia tahu anak laki-lakinya sangat tidak bisa diharapkan. “Maaf ibu saya tidak langsung mengabarkan berita ini, saya-“ “Sttt, sudahlah ibu tidak masalah ibu yakin kamu punya alasan untuk melakukan ini semua, yang terpenting sekarang kamu harus menjaga kandunganmu dengan baik,” kata sang ibu.“Benar, Nak ayah juga sangat berharap kamu tidak terlalu banyak pikiran dan kelelahan, sekarang di dalam perutmu ada anak yang harus kamu perhatikan juga,” kata sang ayah, Ana sedikit terkejut juga kare
Sampai jauh malam Raffael tidak muncul juga di rumahnya, ayah dan ibunya berkali-kali menghubunginya, tapi tetap saja tak ada jawaban dari laki-laki itu, ponselnya mungkin entah tertinggal di mana, atau memang dia yang tidak begitu peduli dengan ponselnya karena sibuk dengan Bella. Kenyataan itu semakin membuat hati Ana berdenyut nyeri, Raffael sama sekali tak menginginkannya, bahkan meski atas nama kedua orang tua yang dia sayangi, laki-laki itu juga tak mau datang, entah apa yang terjadi pada Bella setelah mengikuti audisi itu, karena Ana belum lagi mendapat berita dari Adam. “Apa tidak sebaiknya kita makan dulu, ehm... mungkin Raffael masih terjebak macet, saya sudah sangat lapar,” kata Ana sambil nyengir. Keberadaan bayi ini memberinya privilege tersendiri, dia jadi bisa meminta apa saja, meski Ana tidak akan meminta apapun kalau tak mendesak tentu saja, dia asih punya rasa malu. “Astaga kamu pasti sangat lapar, baiklah kita makan dulu, bi
“Jangan meyimpan semua masalah sendiri, Nak, bicaralah pada orang yang kamu percaya, mungkin mereka memang tidak bisa banyak membantu, tapi setidaknya itu akan membuatmu sedikit lega.” Sang ibu mengikuti Ana yang masuk ke dalam kamarnya, seharusnya wanita paruh baya itu harus pulang karena esok hari harus menemani suaminya ke luar kota untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi dengan Raffael yang tidak pulang ke rumah dan malah memilih menghabiskan hari bersama Bella membuat wajah Ana mendung. Sebagai wanita yang juga pernah mengandung, sang ibu tahu bahwa tentu saja dalam keadaan seperti ini dia sangat ingin dukungan dari suaminya, kata-kata perhatian sangat dibutuhkan, tapi jangankan perhatian, Raffael malah pergi dan tak kembali. “Ana baik-baik saja, Bu, hanya sedikit lelah saja,” kata Ana yang tadi dipaksa sang ibu mertua untuk langsung masuk ke dalam kamarnya. Sang ibu menghela napas, tahu sekali Ana hanya sedang menahan perasaannya, tap
Memanfaatkan waktu saat Bella ke kamar mandi dini hari itu, Raffael keluar dari kamar mereka dan berjalan menuju kamar Ana. Bukan karena takut dengan Bella, tapi lebih karena Raffael ingin menghindari drama yang tidak perlu, dia hanya ingin menengok Ana, melihat keadaan wanita yang sedang mengandung darah dagingnya itu, meski dia tahu jam segini Ana pasti sudah tertidur lelap. Hal yang tak terduga membuat Raffael hanya bisa mematung di sisi ranjang Ana, istrinya itu memang sudah tertidur dengan lelapnya dan sang ibu juga ada di sana menemani Ana. Sesayang itukah sang ibu dengan Ana, meski wanita itu adalah orang yang baru saja masuk dalam kehidupan mereka. Hubungan sang ibu dengan Bella memang tidak bisa dibilang tak baik, tapi juga bukan hubungan yang sangat hangat, kesibukan Bella untuk belajar akting dan juga syuting berbagai drama membuat sang istri sama sekali tak memiliki waktu senanggang untuk melakukan hal-hal seperti ngobrol atau belanja bersa
Setelah kejadian itu Ana sama sekali tak bisa tidur, berbagai pemikiran bergelayut di otaknya, memaksa matanya untuk terus terbuka meski tubuhnya lelah luar biasa. Meski begitu pagi ini Ana bangun dengan semangat yang baru, dia harus bahagia demi anak yang ada dalam kandungannya ini. “Kamu sebaiknya kembali ke kamar saja, Ana, biar ibu dan bibi yang memasak,” kata sang ibu mertua saat melihat Ana mengambil bahan-bahan makanan dari dalam kulkas. “Ana baik-baik saja, Bu malah aneh rasanya kalau harus tidur lagi,” kata Ana lembut. Tapi ternyata sang ibu mertua lebih keras kepala dari pada Ana, wanita paruh baya itu memaksa Ana untuk duduk di kursi panjang. “Kamu bisa jadi jurinya kalau nanti masakan kami tidak enak kamu bisa komplain,” kata sang ibu setengah bergurau. “Saya sangat cerewet kalau jadi juri memasak.” “Kecerewetan itu perlu supaya makanannya enak.” Pagi itu dapur yang biasanya hanya berisi obrolan ri
Hari memang masih terlalu sore, tapi entah mengapa sejak tahu dia hamil tubuh Ana mudah sekali lelah, bahkan tak jarang dia langsung tidur lagi setelah membantu bibi membereskan dapur setelah makan siang tadi.Tapi kali ini Ana harus menahan matanya untuk tetap melek lebar karena ada tamu yang tidak diundang datang ke kamarnya. Bella, sang madu tersayang. Itu bukan bentuk sindiran memang nyatanya begitulah perasaan Ana pada Bella. Dia menyayangkan sikap Bella yang sangat keras kepala tidak mau hamil dan mempublikasikan hubungannya dengan Raffael, hanya demi karier yang menurut Ana tidak akan bertahan lama. sangat disayangkan kalau keluarga yang dia miliki harus ditukar dengan karir. Ana bukan menghina kemampuan akting Bella, wanita itu tidak akan masuk nominasi penghargaan tahunan kalau tidak memiliki kualitas yang baik, jujur saja Bella sangat baik dalam teknik aktingnya, mungkin itu hasil didikan sekolah-sekolah akting mahal yang dia ikuti. S
“Maaf itu salahku aku tadi tidak hati-hati dan menumpahkan saus di sana,” kata Ana. Bella bisa sangat kejam jika dia mau tak peduli hanya kesalahan kecil yang diperbuat orang lain, Ana tidak ingin karena kesalahannya, asisten rumah tangga di sini yang akan jadi korban apalagi kalau mereka sampai dipecat gara-gara dirinya.“Kamu sengaja ya!” “Sengaja bagaimana, aku saja baru tahu kalau sausnya tumpah,” kata Ana tak terima. Para pekerja rumah ini langsung berkumpul begitu mendengar suara keras Bella, mereka hanya berdiri dalam diam tak bisa membantu apapun, di rumah ini memang Bella adalah nyonya rumah dan memberikan mereka gaji, apalagi mereka juga tahu kalau posisi Ana di sini adalah istri kedua yang hanya diharapkan melahirkan anak untuk tuan mereka saja. “Alasan kamu pasti sengaja melakukannya, dan membuatku buruk di mata orang lain, licik kamu Ana, kamu sudah merebut suamiku dan sekarang kamu bermaksud memfitnahku.” Ana t
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan