Pov Marni
Kukira, ibu mertua akan datang di hari itu saja, nyatanya tidak. Ia datang lagi ke esokan harinya. Padahal aku berharap, dia tidak usah terlalu sering ke rumah, aku takut padanya.Aku menyiapkan hati dan telinga. Ibu mertua yang suka bicara apa adanya, walaupun ucapannya keluar menyakitkan. Aku tak biasa diperlakukan kasar. Bagiku, kesopanan berbicara adalah nomor satu.Aku ingin, setelah ibu tiada, jika mendapatkan mertua, bisa dijadikan sebagai ibu layaknya ibu kandung. Akan tetapi, ibu Mas Anto dan ibuku bagaikan bumi dan langit.Ibuku selalu tersenyum, suaranya pelan dan ramah, dia tak pernah mencaci atau pun memaki, dia selalu bertutur kata sopan dan santun. Bagaimana caranya aku bisa menganggap ibu Mas Anto bagaikan ibuku sendiri? Saat ini, bahkan ketika baru saja aku membukakan pintu rumah, wajah sinisnya kembali menyapa."Kau sudah menyapu rumah?" tanya dia tanpa basa-basi."Sudah, Bu.""Tapi tidak bersih, pasir masih terasa di telapak kakiku. Apa kau sudah memegang sapu dengan benar?"Aku menunduk. Tentu saja aku sudah memegang sapu dengan benar.Ibu mertuaku berjalan ke arah meja makan, lalu menoleh padaku."Piring kotor masih di atas meja? Tak diangkat?""Itu ... Piring tadi pagi, bukan piring kemaren.""Apa bedanya piring tadi pagi dengan piring kemaren, toh sama-sama kotor."Aku bergegas mengambil piring itu, lalu meletakkannya ke dapur, tepat di atas meja kecil untuk meletakkan dispenser."Bukan di situ tempatnya!" Suara Ibu meninggi. Aku sampai kaget. Dengan gemetar, aku mengangkat piring itu kembali ke westafel.Ibu masih berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. Wajahnya menegang, seperti belum puas marah-marah."Hei, dengan tumpukan piring begitu, apa matamu senang melihatnya?""Itu, piringnya belum banyak.""Apa? Astaga, jadi kau tunggu piring itu setinggi gunung dulu, baru kau cuci? Wanita sejenis apa yang dinikahi Anto."Ibu mengata-ngataiku tanpa perasaan, rasanya sangat sakit, aku membalikkan badan, menghadap ke westafel yang sudah diperbaiki, tanganku masih menggigil karena kerasnya bentakan ibu. Tanpa sadar, satu piring yang berada di tanganku yang penuh busa, meluncur dan jatuh ke lantai, pecah berderai."Marniiii ...." Suara lengkingan ibu menjadi, aku tak tau harus apa, dengan kalut kupungut pecahan piring itu tanpa sadar telah melukai jariku sendiri. Rasanya sakit, tapi lebih sakit di dalam sini, di hatiku.Aku rindu ibuku, yang tak pernah meninggikan suaranya padaku, aku rindu saat dia berkata, bergaul lah penuh kasih sayang dan jangan pernah menyakiti hati orang lain, aku Rindu saat ibuku tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa jika aku melakukan kesalahan.Saat rindu itu menyesakkan dada, aku tak punya tempat untuk pulang. Ibu mertua dan Mas Anto, memperlakukanku bagaikan orang asing.***Ibu pulang beberapa jam kemudian setelah mendikteku ini dan itu, dia mengatakan, apa fungsiku kalau tak bisa melakukan pekerjaan rumah, jika hanya makan dan tidur, kucing pun lebih hebat.Bahkan, ibu menyamakan aku dengan binatang. Perasaan terluka itu makin menumpuk di dalam hatiku.Sebelum pergi, Ibu mengatakan, berhubung besok tanggal merah berturut-turut selama dua hari, biasanya Anto akan pulang.Kegugupanku makin menjadi, belum selesai ceramah panjang ibu mertua, akan disambung oleh ceramah Mas Anto. Tak ada lagi tidur siang, seperti kata ibu, sebelum Anto datang, aku harus berdandan.Berdandan, aku tak pernah mencobanya dalam hidupku, namun sempat beberapa kali memperhatikan orang merias pengantin.Aku punya beberapa peralatan berdandan, yang masih utuh. Mas Anto yang membelikannya.Ibu bilang, Mas Anto akan sampai kira-kira menjelang Maghrib. Waktu yang sedikit kugunakan untuk mandi dengan air hangat, karena aku sangat tidak suka dengan air dingin.Setelah mandi, kupakai daster yang baru. Lalu membuka peralatan berdandan itu satu persatu.Setelah memakai bedak sebisanya, aku mengamati benda yang kutahu namanya adalah pensil alis. Aku harus mencobanya, sebisaku, memakai lipstik pun sebisaku.Tak lama kemudian, mobil Mas Anto menderu. Aku gugup luar biasa. Seiring dengan ketukan pintu dari luar.Kulangkahkan kaki ke arah pintu, membukanya lalu menemukan wajah lelah Mas Anto. Aku tersenyum sambil menunggu reaksinya.Mas Anto tercengang, dia terpaku sejenak, aku pikir dia terpaku melihatku menjadi cantik. Akan tetapi apa yang terjadi setelah itu? dia terbahak, tertawa sambil memegang perutnya. Tawa yang tak pernah kulihat selama ini."Ya, ampun, Marni, apa yang kau lakukan dengan wajahmu? Hapus lipstikmu, alismu tidak lurus. Cuci mukamu sekalian, ada-ada saja."Aku terdiam, seiring dengan perasaan sesak yang tak bisa kujelaskan. Berpuluh menit aku menghabiskan waktu di depan cermin untuk memoles wajahku, lalu Mas Anto malah menertawakanku bagaikan melihat topeng monyet. Dia bahkan sama sekali tak menoleh lagi ke belakang, berjalan lurus ke arah dapur.Rasa sesak yang kutahan dari tadi sejak kedatangan ibu, meledak sudah, aku tak mampu menahan tangisku sendiri. Aku merasa sendiri, tak ada yang peduli, bahkan saat aku berniat berubah dan menuruti perintah ibu, sedikit pun Mas Anto tak menghargainya.Bahuku terguncang, tangis tanpa suara. Tak ada tangan lembut yang menyentuh bahuku seperti dulu, tak ada suara lembut yang mengatakan, air mata terlalu berharga menangisi dunia. Aku sendiri, benar-benar sendiri.Pov AntoMeninggalkan Marni untuk sesaat, mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku. Kejengkelan yang kurasakan karena Marni tak bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, jangan sampai menjadi amarah yang akan semakin menyakitinya.Aku tak tau, pernikahan apa yang tengah kami jalani, seharusnya di usia pernikahan kami, setidaknya kami telah mendapatkan kejutan, contoh punya anak misalnya. Bukankah kesempurnaan seorang laki-laki adalah melihat seorang anak yang mewarisi darahnya? Meneruskan nasabnya?Aku memang tak mencintai Marni, tapi berhubungan badan tak butuh cinta, perasaan naluriah itu adalah sebuah kebutuhan. Akan tetapi, seorang Marni berhasil mematahkan selera dan semangatku dengan badannya yang bau.Mobil sampai di pekarangan rumah ibu. Wanita yang berstatus ibuku itu, masih cantik bahkan di usianya yang hampir mendekati angka enam puluh lima. Dia tengah menggunting bunga, merapikan tanaman kesayangannya itu agar enak dipandang mata."Anto, ayo masuk! Ayah ada di dalam.""Ba
POV AntoAku memutuskan pulang setelah bicara panjang lebar dengan ibu. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya juga, memberi Marni waktu tiga bulan untuk berubah adalah solusi dari semua masalah yang ada pada dirinya.Orang yang normal, tak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian. Pasti setiap orang menginginkan pernikahan yang sempurna, istri yang baik dan pintar mengurus dirinya, pintar mengurus rumah dan hebat mendidik anak. Jangankan mendidik anak, Marni saja tak bisa mengurus dirinya, bagaimana aku bisa berharap dia akan hebat mengurus anak?Anak dengan Marni? Apakah dia layak melahirkan anak-anakku? Setelah semua kejelekannya terasa begitu menganggu. Aku sangsi, dia bisa menjadi ibu yang baik.Sebelum masuk ke dalam rumah, kuhela nafas untuk melapangkan hati. Marni adalah wanita yang penuh kejutan. Setiap masuk rumah, pasti dia memberikan kejutan yang berbeda-beda. Sayangnya, kejutannya tak ada yang baik.Pintu terbuka sedikit, kudorong pelan. Marni terlihat asik duduk bers
POV AntoBagaimana aku bisa mengenal Marni? Kami tak sempat berkenalan, bahkan kami hanya bertemu di prosesi akad nikah, aku mempercayakan semuanya pada Ayah saat itu. Dalam pemikiranku saat itu, Marni seperti manusia normal pada umumnya, layaknya wanita biasa. Bukankah dia kakak dari enam orang adik dan yatim piatu pula, artinya dia bisa jadi teladan bagi adik-adiknya sendiri.Masih ingat waktu itu, saat pulang dari luar kota, Ayah memanggilku secara khusus. Ibu mendampingi Ayah dengan wajah kusut, dari awal pembicaraan sampai akhir, Ibu lebih memilih menutup mulutnya. Aku tau betul, wajah ibu menunjukkan dia tengah marah."Sudah berapa umurmu, Anto?" tanya Ayah, pertanyaan yang sering kudengar dari Ibu tapi kuabaikan. Kali ini tampaknya Ayah langsung turun tangan. Artinya ini sudah sangat serius dan mendesak."Beberapa bulan lagi tiga puluh enam." Aku berkata jujur, bahkan tak lama lagi sudah empat puluh. Sudah cukup tua untuk ukuran laki-laki yang masih melajang."Rudi itu temanmu,
POV Marni"Eh, Marni, tumben keluar dari sarang," sapa seorang wanita muda yang kutak tahu namanya, teman-temannya yang lain menatap ka arahku, dengan pandangan yang sama. Pandangan mengejek. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan mereka.Memang, selama tinggal di sini, aku tak pernah keluar rumah. Segala kebutuhan rumah tangga, sudah ada yang mengantar. Entah dengan alasan apa, Mas Anto sengaja memberhentikan dia yang biasa ke pasar dan membantu membelikan kebutuhan rumah tangga.Saat ini, aku kehabisan sabun cuci. Warung sebenarnya dekat, hanya dipisahkan tiga rumah dari rumah kami. Terpaksa kupergi ke sini.Entah mengapa, mereka kenal dengan namaku, sedangkan aku sama sekali tak mengenal mereka."Kirain, lagi teler karena hamil muda, makanya takut kena cahaya matahari," tambah seorang wanita muda berdaster ungu."Bukan hanya takut melihat matahari, dia juga takut melihat orang," timpal ibu-ibu berbaju blus putih."Ah, berarti sama seperti vampir. Hahahaha." Mereka tertawa. Ra
POV MarniAku menghela nafas lega saat Mas Anto kembali ke rumah. Wajahnya masih setegang tadi, dia masuk tanpa melihatku sama sekali. Pasti terjadi sesuatu yang menjengkelkan hatinya. Mas Anto persis ibunya, saat emosi tak bisa menyembunyikan raut wajahnya.Aku penasaran apa yang telah terjadi, apa tujuan Mas Anto menemui ibu-ibu itu. Tak terbayangkan, Mas Anto menghadapi beberapa wanita yang bermulut tajam.Tanpa meminta persetujuannya, aku mengekor di belakang Mas Anto, mengikuti langkah kakinya ke kamar. Kuhirup aroma wanginya yang sudah kuhafal, dalam keadaan apa pun dia selalu segar."Mas," sapaku. Aku berdiri di ambang pintu kamar, tak berani ikut masuk. Kondisi Mas Anto sedang tak baik, dia bisa saja mengomel seperti ibu mertua.Mas Anto melihatku sekilas, lalu kembali dengan cermin di depannya. Dia menyisir rambutnya yang masih terlihat rapi itu.Aku hanya bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada Mas Anto."Ada apa? Kau mau menanyakan sesuatu?"Aku menimbang, mencari ka
POV Marni"Saat kau dipegang laki-laki, tendang selangkangannya!"Di tengah rasa putus asa, tiba-tiba terngiang kalimat ibu beberapa tahun yang silam, saat adikku Leni menjadi korban pelecehan teman-teman sekolahnya. Tangan pria itu telah singgah di bahuku, wajahnya mendekat dan aku semakin terdesak ke lantai angkot. Dengan nyali yang tersisa, kuangkat lututku, lalu menendang selangkangan pria itu sekeras mungkin. Pria itu melolong kesakitan, kesempatan itu kugunakan untuk melarikan diri. Aku tak menghiraukan sandal jepit yang tertinggal di dalam angkot. Tanpa alas kaki, kuberlari sekencang-kencangnya, tak ada kendaraan satu pun, jalan ini sepertinya dibuat bukan untuk dilalui angkutan umum.Beberapa menit berlari, aku sampai di jalan raya. Kupegang lutut yang rasanya sangat lemas dan gemetar. Hampir saja, jika saja akal itu tak muncul mendadak, aku yakin telah menjadi korban perkosaan. Alangkah malangnya nasibku jika itu terjadi, kupastikan aku takkan bisa lagi menatap dunia, setel
POV AntoMemberhentikan orang yang biasa melayani dan membeli kebutuhan rumah, memang sengaja kulakukan. Selain mengubah kebiasaan joroknya, aku juga mengubah Marni agar lebih mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Entahlah! Aku merasa, Marni perkembangannya lebih lambat dari usianya, dia sudah dua puluh enam tahun, bahkan di usia segitu, wanita telah memiliki dua anak. Sifat perasa dan sering merajuk, atau suka meneteskan air mata pada hal-hal kecil, menjadi pemandangan yang setiap saat kudapati. Contohnya tadi siang, saat aku mengatakan sengaja memberhentikan orang itu, supaya Marni bisa belajar pergi ke pasar untuk belanja, dia langsung pergi dengan menampakkan wajah merajuk. Padahal aku belum selesai bicara, dia sudah pergi meninggalkan rumah. Sebuah sikap yang bagiku sangat kekanak-kanakan.Ingin kutahan langkahnya, akan tetapi, kuingin melihat sejauh mana keras kepala Marni kali ini. Orang yang keras kepala kadang ada kalanya dibiarkan agar jera sendiri.Tiga puluh menit
POV MarniBeberapa hari kemudian, aku menelpon supir Ayah mertua meminta beliau mengantarku ke rumah adik-adikku. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya dua puluh menit jika memakai mobil.Kami tinggal di kecamatan yang sama dengan Mas Anto. Namun, wilayahku agak terpencil dari kota, setelah jalan raya, kita akan masuk ke jalan tanah dan melalui kebun sawit yang amat luas. Mobil harus tahan banting karena jalan sering licin dan berlumpur saat musim hujan. Tak jarang truk pengangkut sawit terguling atau malah tenggelam ke dalam lumpur."Tidak usah ditunggu, Pak. Nanti saya telpon lagi," kataku pada pria yang rambutnya sudah memutih itu. Dia tersenyum dan mengangguk. Namanya Pan Yamin, supir keluarga Mas Anto, mungkin umurnya sebaya dengan Ayah mertua.Sebelum pergi bekerja beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan ilmu baru dari Mas Anto, dia mengajarkan bagaimana cara menelpon seseorang. Mas Anto beberapa kali kesal padaku, karena otakku tak kunjung menangkap apa yang diajarkannya. Maklum,
POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC
POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,
Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal
Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan
POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg