Rei Harristian membawa adiknya, Venus kembali ke apartemen lamanya di Manhattan dari rumah sakit. Sesuai dengan permintaan, Rei akan menyediakan tempat tinggal sementara Venus mengurus perceraiannya dengan Rex Milan. Steven ikut masuk ke dalam apartemen yang dulunya memberikan banyak kenangan manis dan pahit pada hubungannya dan Venus.“Ini apartemenku dulu?” tanya Venus seperti meragukan. Rei tersenyum kecil lalu mengangguk.“Apa kamu ingat? Kamu tinggal di sini sebelum kamu menikah. Ya sekarang, interiornya sedikit berubah kurasa,” ujar Rei ikut melihat ke sekitar.Venus berjalan masuk ke dalam lalu menyentuh semua perabotan dari kursi, sofa sampai ujung penutup lampu. Keningnya mengernyit setelahnya lalu ia berbalik pada Rei.“Ke mana semua furniturnya? Bukan ini kursinya─” Venus menunjuk pada salah satu sofa.Rei dan Steven saling menoleh berpandangan lalu kembali menatap Venus. Apa Venus bisa mengingat sedikit dari kenangannya soal apartemen lamanya?“Apa kamu ingat seperti apa a
Venus merasakan kesedihan yang tidak ia mengerti kala melihat balkon kamarnya. Seakan seperti ada yang menariknya, Venus pun berjalan perlahan. Ia menoleh dan melihat dirinya sedang menangis hebat.“Apa yang terjadi?” gumam Venus pelan. Ia mengikuti bayangannya menuju balkon tersebut. Venus berjalan sampai pembatas balkon dan menatap ke depan. Angin yang membelai rambut panjang Venus yang tergerai.“Apa yang kulakukan di sana?” ujar Venus mendekat. Ingatannya perlahan kembali saat dirinya kemudian berbalik dan masuk ke kamar mandi. Venus menyalakan shower air dingin dan menyirami dirinya.Dalam tangisnya, ia meringkuk di bawah kucuran shower sekian lama, kedinginan dan terluka.Pintu kamar Venus kemudian berhasil dirusak oleh Rei sebelum asisten Venus berhasil menemukan kunci cadangannya. Begitu terbuka, Rei langsung menerobos masuk tanpa peduli apa pun. Ia memanggil adiknya dan langsung berlari ke arah balkon kamar.Tirai balkon melayang dihembus angin karena pintunya yang terbuka. R
“Venus?” Steven memegang kedua sisi lengan Venus yang membuatnya tersentak kaget. Venus menoleh pada Steven yang menatapnya cemas lalu berbalik dan langsung memeluknya.“Ada apa, Venus? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Steven mengusap punggung Venus yang memeluknya erat. Angin sepoi dari balkon di sore hari menjelang mata hari tenggelam memberikan kesan hangat dan romantis bagi keduanya.Perlahan Steven melepaskan Venus dari pelukannya lalu ia menoleh menatap Venus yang memegang sebelah pipinya.“Aku melihat lagi masa laluku, Steve.” Mata Steven membesar lagi. Ia kembali memeluk Venus yang juga mengeratkan pelukannya.Apartemen mewah itu pernah menjadi tempat yang membuat Steven alias Dion ditinggalkan oleh Venus karena Gareth kembali membuat masalah. Akankah tempat yang dihindari oleh Dion tersebut bisa menjadi titik balik hubungan keduanya dan bahkan menjadi tempat Venus mengingat semuanya?Venus kembali mendapatkan semangatnya lagi. Awalnya ia pesimis dengan kembali ke apartemen lam
Rex Milan menyuap Andrew Miller untuk membantunya menangkap Steven Alexander. Andrew yang memang seorang polisi licik, menerima uang tersebut dan menjadikannya barang bukti.“Aku ingin kamu menangkapnya dan memenjarakannya. Dia sudah berani merayu dan menggoda istriku!” ujar Rex Milan menggeram marah. Andrew Miller mengangguk sambil menghitung cepat segepok uang yang diberikan oleh Rex Milan.“Apa uang ini hasil dari merampok atau menjual obat-obatan terlarang?” tanya Andrew iseng.“Tentu saja bukan. Itu uangku! Aku seorang CEO!” pungkas Rex Milan dengan kening mengernyit tak suka. Andrew mengangguk lagi lalu memasukkan uang itu ke dalam amplop semula dan ke dalam jaketnya.“Jika kamu berhasil menangkap dia, aku akan memberikanmu lagi ... lima ribu dolar!” imbuh Rex Milan lagi.“Oke, aku akan mencari keberadaannya.” Andrew menjanjikan. Rex Milan pun mengangguk setuju. Ia keluar dari rumah tersebut tak lama kemudian. Tanpa kecurigaan dari siapa pun, Andrew masuk ke dalam mobilnya lalu
Cindy benar-benar kaget sampai nyaris tidak bernapas kala dipeluk Sebastian dari belakang. Bahkan dengan lembutnya, Sebastian berbisik di telinganya.“Oh, aku kangen banget sama kamu, Sayang.”“Pak─” Cindy serta merta melepaskan diri dari dekapan Sebastian lalu berbalik dengan wajah pucat basi. Sebastian ikut kaget tapi tak lama ia tersenyum.“Kok kamu kaget?” Sebastian balik bertanya.“Ngapain Bapak meluk saya seperti itu?” tukas Cindy dengan sikap penuh kecemasan. Sebastian terdiam sesaat lalu tersenyum lebih lebar.“Karena aku kangen sama kamu. Kamu enggak ya?” Cindy jadi bengong kebingungan. Rasanya ia baru selesai cuti selama beberapa hari dan Sebastian sudah benar-benar berubah.“Pak Seb, ini ....” tangan Sebastian mengambil sebelah tangan Cindy lalu menggenggamnya.“Aku datang ke kampus kamu. Aku juga cari kamu di asrama tapi ternyata kamu uda pindah. Aku kangen ingin ketemu kamu, kangen kopi buatan kamu. Aku kangen sama kamu.” Sebastian kembali mengulang kalimatnya seperti ora
Dion mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan mata dengan terangnya sekitar. Hari sudah pagi dan Dion harus segera bangun. Bunyi ponsel tiba-tiba membuat ia mengernyit.“Uh, siapa yang menelepon?” Dion meraih ponselnya lalu mengernyit.“Iya, Dek?”“Mas, tolong aku, Mas!” Cindy terdengar begitu ketakutan seketika membuat Dion langsung panik.“Kamu kenapa, Cindy? Apa yang terjadi?”“Mas, aku gak mau lagi ada di sini. Pak Sebastian ... aku harus bagaimana, Mas?”“Tenang dulu. kamu bernapas pelan-pelan dan jangan panik,” ujar Dion membujuk. Cindy terdengar sesenggukan di ujung telepon dan Dion bergegas bersiap untuk pergi.“Kamu di mana sekarang?” tanya Dion lagi mencari jaketnya.“Di toilet, Mas.”“Ya sudah. Mas ke sana sekarang. Kamu jangan keluar sampai Mas di sana, oke?” imbuh Dion lagi.“Baik, Mas.” Dion menghidupkan pelacak di ponselnya untuk terus bisa mengawasi Cindy. Ia benar-benar cemas dengan keadaan Cindy. Dion pun mengenakan masker di mulutnya dengan jaket palka yang memilik
Beberapa saat sebelumnya ...“Peter!” Jasman memanggil Peter dengan suara tertahan. Peter sedang sangat sibuk melayani pembeli dan nyaris tidak mendengar panggilan Jasman. Peter lalu berjalan keluar dari kafe tempat Jasman menunggu.“Ngapain lo di sini?” tanya Peter dengan kening mengernyit.“Ganti pakaian lo. Kita ke atas, ke ruangannya Dek Cindy.” Peter langsung curiga dan cemas.“Mau ngapain?” pekiknya tertahan.“Buat ngebersihin barang bukti. Cepetan!” Jasman mendorong Peter untuk mengganti pakaiannya segera. Peter tidak sempat bertanya apa-apa. Peter pun berlari ke ruang ganti di dalam kafe dan mengganti pakaiannya. Sebuah seragam petugas kebersihan sama seperti yang dikenakan oleh Jasman juga dikenakan oleh Peter. Ia bergegas keluar dari jalur darurat dan bertemu Jasman di pintu samping.Keduanya memakai topi dan mendorong kereta berisi alat-alat kebersihan. Tidak lupa Jasman dan Peter memakai tanda pengenal palsu. Mereka masuk ke dalam lift dan keluar di lantai atas.“Kita puny
“Kenapa dia belum kembali, Em?” cecar Venus dengan rasa cemas mencari Dion. Emerson hanya bisa menyengir aneh lalu terkekeh.“Maaf, Nyonya. Steven tidak mengatakan apa pun soal tujuannya. Dia hanya bilang jika dia harus mengerjakan sesuatu di luar dan aku diminta datang kemari,” jawab Emerson lagi.“Tapi ini sudah hampir sore!” Venus separuh merengek. Emerson hanya bisa meringis saja tanpa bisa berbuat apa pun. Venus yang mengambek kemudian masuk ke kamarnya. Sedangkan Emerson hanya bisa manyun. Ia tidak tahu harus berbuat apa.“Ah, semua jadi serba salah. Mereka seperti orang sedang jatuh cinta dan aku adalah nyamuknya,” gerutu Emerson lalu cemberut. Ia duduk di salah satu sofa dan mulai melihat ke sekitarnya.“Sebenarnya Nyonya Venus itu kaya raya, lalu untuk apa dia bertahan dengan Rex Milan Wilson jika ia bisa punya rumah sendiri?” ujar Emerson bermonolog.Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Steven pun masuk. Ia membawa sebuah paper bag bersamanya.“Oh Steve. Dari mana saja