ANDINI's POV
Masa awal kedatangan di negeri asing ini terasa sangat melelahkan dan cukup membuatku pusing. Morning sickness yang cukup parah jika dibandingkan dengan saat di Indonesia juga aku alami.
Bagas sering diajak Baskara untuk jalan-jalan ke luar ruangan saat pagi. Mereka tampak menikmati masa-masa berdua yang indah, sementara aku hanya terdiam di apartemen untuk berjuang dengan rasa mual setiap paginya.
"Apa kamu memerlukan sesuatu?" Baskara menanyaiku ketika akan keluar dengan Bagas.
Semua stok kebutuhan makanan masih aman di kulkas dan freezer.
Aku menggelengkan kepala. Setiap hari hanya membayangkan bagaimana rasanya keluar menginjak tanah di bawah sana.
"Apa kamu mau ikut kami jalan-jalan?" Sepertinya Baskara agak berat meninggalkanku setelah satu minggu aku hanya mengurung diri di sini.
"Mungkin besok saja. Aku masih agak pusing." Jawabku sambil memijat beberapa kali kening kepalaku.
ANDINI's POVSekembalinya dari taman, Baskara nampak murung sejak tadi. Aku tidak berani menanyakan penyebab utamanya. Hanya saja tadi sempat aku dengar kalau urusan pengusutan harta yang dibawa kabur Laura sudah hampir selesai.Ini sudah memasuki minggu ke dua kami di sini.Aku tak banyak keluar selama kondisi yang belum stabil. Bukan karena tak mau mengeksplor banyak tempat baru, hanya aku tak mau merepotkan Baskara nanti jika terjadi apa-apa."Kamu harus melatih Bagas agar tidak terus-terusan dekat denganmu. Kamu sudah hamil lagi. Apa dia masih kamu susui?" Baskara bertanya ketika kami menyeberang di lampu perempatan. Tangan kiri Baskata melindungiku dan tangan kanannya memberi isyarat."Tidak lagi, Bas..." Jawabku.Berjalan sejajar dengannya adalah hal yang bagiku masih terasa aneh tapi aku menyukainya. Selama kenal dengan Baskara, aku belum pernah sedekat ini dengan dia. Terlebih hanya benar-benar berdua."Awas!"
BASKARA's POVSalah satu tujuanku sebelum pulang ke Indonesia -tentunya setelah mendapatkan telepon dari Papa semalam, adalah berkunjunga ke beberapa tempat wisata di Sydney.Sydney Opera House adalah yang paling ingin aku datangi. Rencanaku adalah membawa Andini ke sana. Meski tempatnya lumayan jauh dari tempat kami singgah.Dulu aku sering ke sana saat berpacaran dengan Laura. Aku hanya ingin membuat kenangan baru di tempat-tempat yang dulunya memiliki kenangan bersamanya.Hans yang bercerita membawa berita bagus, rupanya itu adalah hak yang dirampas oleh Laura bisa dikembalikan kepadaku lagi. Meski tidak semuanya."Lumayan, Bas. Kamu beneran bisa cari istri muda kalau nanti sudah ditransfer ke rekeningmu. Hahaha..." Hans terlihat senang saat mengatakannya."Waduh, lha wong Mbak Andini masih muda dan cantik begini, masak mau cari istri baru lagi Tuan." Bibi Siti menyahut sambil menjaga Bagas."Lah, Bib
ANDINI's POV Otak lelaki memang dari sananya suka yang namanya daun muda. Ini yang sering aku dapati dari sekelilingku. Pun dengan almarhum Ayahku. Dulu sebelum meninggal, beliau bertengkar dengan Ibuku gara-gara ada tawaran seorang anak lulusan SMA yang mau dijadikan istri ke dua. Aku baru ingat hal itu. Mengetahui kelakar Baskara dan Hans, aku yakin itu bukan sekedar candaan biasa. Terlebih lagi Hans yang sudah melakukan aksi mendekati Lika secara terang-terangan. "Mbak, sudah selesai packing-nya?" Bibi Siti tedengar bertanya dari luar kamar. "Oh, sudah Bi. Ini saya sudah pack semua barangku." Aku menarik koper keluar. Beberapa barang milik Bagas juga sudah aku kemas di koper kecilnya. "Ah begitu ya Mbak... Ini saya sudah bawa baju Bagas semua di tas kecil ini..." Bibi Siti menunjukkan tas bawaan dari apartemen Lika. "Saya mau balik sebentar ke tempat Lika, Mbak. Paspor saya ada di sana." Bibi Siti menggendong Bagas lagi. "Kalau begitu, biar Bagas di sini saja, Bi. Nanti Bi
BASKARA's POV"Kalau kamu tidak percaya, silakan lihat sendiri hasilnya." Pengacara Papa yang baru, Om Malik menyodorkan kepadaku selembar kertas hasil test DNA.Sekali lagi aku membacanya dengan seksama. Hasil probabilitas bahwa Papa adalah ayah kandungku adalah 0%. Apakah ini semacam tipuan atau prank? Kulihat ekspresi Papa yang dari tadi tidak menunjukkan reaksi apapun. Pengacaranya menyodorkan lembar ke dua. Berisi tentang pernyataan bahwa aku dan Bagas memiliki hubungan DNA sebagai anak dan ayah.Dua hal yang membuat duniaku terjungkir balik.Aku yang hanya seorang diri bersama mereka berdua, tak bisa berkata apa-apa lagi."Lalu, apa rencana Papa sekarang?" Kutelan ludahku dalam-dalam. "Aku siap dengan semua keputusan Papa."Papa tak bergeming dan hanya memandangiku."Aku mau semua kepemilikan atas nama kamu dicabut, Baskara. Ini keputusan finalku." Seru Papa.Sejenak aku berpikir bagaimana keadaanku nanti jika aku dicoret dari daftar keluarga Papa. Hal yang sekarang membuatku k
ANDINI's POVAku tidak pernah merasa sejahat sekarang. Mak Ijah tak henti-hentinya memberiku ultimatum untuk segera menyelesaikan rencana. Ya, Mak Ijah memintaku untuk bercerai dengan Baskara."Mbak Andini, jangan bilang kalau sekarang Mbak jatuh hati sama Tuan Muda?" Selorohnya saat aku baru pulang dari Australia.Dia memang menyaksikan aku bergandengan tangan dengan Baskara sejak turun dari mobil."Apa maksud Mak Ijah? Saya tidak ada perasaan apa-apa. Ini hanya bawaan bayi saja." Aku mengelak. Dia memang mudah sekali curiga padaku. Apa-apa selalu dikaitkan dengan aku yang tidak menurut padanya."Mbak Andini jangan bohong pada saya. Saya ini bukan wanita muda, umur sudah mau enam puluh sebentar lagi..." Dia makin menjadi-jadi."Lalu apa yang harus saya lakukan agar Mak Ijah tidak terus-terusan begini padaku?" Aku hampir menangis. Kami sudah hampir dua jam jalan-jalan di taman sebelah komplek perumahan. T
BASKARA's POV"Mama?"Apa aku tidak salah lihat? Mama sedang berbincang dengan seseorang di depan pintu gerbang. Perempuan dan laki-laki. Sepulang dari kantor, aku sempat membuka kaca mobil dan mengamati mereka."Oh, Baskara... Ya, cepatlah masuk ke dalam." Perintahnya.Tak berselang lama kemudian, Mama masuk kembali ke dalam rumah. Penjaga depan menutup lagi gerbangnya."Ma, siapa mereka?" Tanyaku. Sengaja aku menunggunya di teras depan rumah."Mereka adalah orang kepercayaan Mama yang merawat kebun keluarga di villa. Sekarang, setelah semuanya berkembang pesat... mereka mau meminta hak mereka." Jawab Mama lalu memasuki rumah."Hak mereka?" Tanyaku."Iya. Aku sudah membereskannya." Jelas Mama dan melanjutkan langkahnya menuju ke area ruang makan di dekat ruang keluarga."Apa yang mereka minta?" Aku masih belum paham. Bukankah setiap bulannya setiap karyawan memperoleh gaji bula
ANDINI's POVPintu kamarku diketuk halus dari luar. Malam-malam begini? Kulirik jam dinding rupanya sekarang jam setengah dua pagi.Bagas tertidur lelap di sampingku dan aku bergerak sepelan mungkin agar tidak membuatnya terusik."Siapa?" Suaraku lirih menanyai siapa gerangan di balik pintu.Kubuka handle pintu secara hati-hati agar tak bersuara dan mengejutkan bayiku."Baskara?" Mataku masih lengket dan sulit untuk aku buka. Beberapa kali tanganku mengusap-usap kelopaknya agar terbangun. "Ada apa malam-malam begini?"Aku termenung sejenak dan mengingat-ingat sesuatu. Astaga, jangan-jangan dia mau minta jatah... Aku tidak yakin bisa mengabulkan permintaannya sekarang."Tolong, jangan sekarang ya?" Pintaku memelas. Suaraku juga serak dan agak parau."Andini, memangnya setiap kali aku mendatangimu itu tujuanku cuma untuk menidurimu?" Meski matanya juga terlihat mengantuk, selera humornya masih aktif sekarang."Masuklah. Bagas tidur di sini... jangan buat dia bangun." Pesanku agar dia ti
BASKARA's POV Andini membolak-balikkan badannya ke kiri dan ke kanan sejak tadi. Tidurnya tak bisa tenang dan nyenyak. Mungkin dia sedang banyak pikiran atau... entahlah, ada sesuatu yang sedang dipendamnya. "Kenapa tidak bangun?" Gumamku saat melihatnya masih meringkuk pulas di ranjangku. Tidak ada gerakan yang menandakan dia akan segera bangun dan kembali ke realita. "Haruskah aku bangun sekarang?" Tubuhnya terlihat semakin besar sekarang, terutama bagian perutnya yang semakin membuncit. "Jangan malas seperti kucing, Andini. Bangunlah. Ini sudah jam tujuh pagi dan kamu sejak tadi tidak bergerak sedikitpun..." Selimut yang dia pakai sengaja aku tarik dan lipat agar dia tak lagi merasa hangat. "Baskara, kamu jahat sekali. Aku mengandung anakmu, tapi kamu tidak membuat aku merasa nyaman di sini." Rengeknya seperti anak kecil. Kakinya bergerak-gerak untuk mencari perlindungan. Jendela kamar sudah aku buka sejak tadi. Angin dingin sudah berlarian ke luar dan masuk dengan sesukanya
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan