ANDINI’S POVSudah kuduga kalau Baskara tak akan mengijinkanku untuk keluar villa lagi. Pun ketika aku menggunakan dalih ibuku yang akan menjalani operasi, alasan yang sengaja aku buat sendiri.Suara yang tegas dan lantang terdengar dari ponsel Mak Ijah saat menelponnya.“Mbak Andini dengar sendiri kan, apa kata Bos?” kalimatnya terdengar satir.Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain pasrah. Menunggu Prasetia untuk datang lagi dengan truk yang membawa bibit buah pesanan perkebunan. Itu satu-satunya cara agar kami bisa bertemu. Gerak gerikku semakin dibatasi sejak Prasetia mendatangiku di mobil beberapa bulan lalu.Sejak pagipun Mak Ijah sudah menanyakan terus perihal perutku yang semakin membuncit. Aku bilang saja aku sekarang memang agak gemuk karena kebanyakan makan nasi. Meski demikian, Mak Ijah tak mau bertanya lebih jauh.“Mbak Andini, apa rencananya setelah kembali ke rumah nanti?”Pertanyaan Mak Ijah kali ini tak pernah aku sangka. Menurutku, setelah aku pulang kembali tentu
BASKARA’s POV Siapa sangka kalau kebahagiaanku tak berlangsung lama. Sekitar dua bulan ini aku benar-benar dihinggapi rasa bahagia yang tak terkira. Tuhan tak memberikannya melebihi lamanya tahun berganti. “Masih sakit?” Aku mengelus-elus perut Laura yang sejak semalam kesakitan. Anggukannya masih lemah dan tak berdaya. Suaranya belum terdengar lagi. “Kamu mau makan sesuatu?” Tanyaku lagi. Rasanya aku ingin menjerit saja sekarang. Membayangkan betapa sakit yang dirasakan Laura dengan kondisi seperti ini. Seandainya bisa, aku ingin rasa sakit yang dia derita diberikan kepada diriku saja. Orang sebaik Laura tidak layak untuk mendapatkan ujian seberat ini, seharusnya Andini-lah yang mendapatkannya. “Ma, apa yang harus aku lakukan?” Ketika Mama mendengar pertanyaanku, beliau diam tak banyak bicara. Sambil terus mengamati Laura yang terbujur lemah dengan infus di tangan kanannya. “Sabar. Jangan terlalu panik begini. Biarkan Laura istirahat dulu. Dia pasti cemas dan sekaligus sedih
ANDINI’s Pov Sebuah bangunan mungil bernuansa putih kini nampak menyolok di antara rumah-rumah perkampungan tempatnya berada. Melihatnya dari kejauhan, aku dibuatnya tertarik untuk segera masuk dan merasakan suasana hangat. Meski aku harus berjalan kaki selepas turun dari truk yang mengangkut bibit tadi. “Andini, masuklah…” Prasetia membukakan pintu pagar berwarna putih yang seirama dengan warna rumahnya. “Iya, terima kasih sudah mau menampungku.” Hanya kalimat sederhana ini yang terpikirkan olehku sekarang. Lampu yang sudah menyala di dalam ruangan memancarkan sebuah isyarat selamat datang yang penuh dengan ketenangan. “Andini, ini adalah paman dan bibiku. Mereka berdua yang selama ini merawatku…” Prasetia memperkenalkanku pada seorang lelaki sepuh dan wanita yang di sampingnya. Melihat dua orang itu, aku teringat pada ayah dan ibu. Air mata menetes tanpa aku sadari. “Mari masuk, Andini. Prasetia banyak bercerita tentang kamu. Ayo, mari sini…” Bibinya mempersilakan aku masu
BASKARA’s POV Peristiwa Laura yang kehilangan janin -yang sebetulnya tak pernah ada- itu membuat Mamaku semakin memperlihatkan ketidaksukaannya pada istriku. Hal ini sungguh berubah drastis. Awalnya Mama sangat senang ketika aku hendak menikahi Laura, wanita berkelas seperti yang Mama inginkan untuk menjadi pendampingku. “Dia itu seperti ular, Bas.” Ungkapnya saat Laura baru saja tertidur lagi. Kami sudah di rumah dan Mama semakin berulah. “Ma, sudahlah. Laura masih masa pemulihan…” aku yang baru keluar dari kamar sudah harus berpapasan dengan Mama dan segala ceritanya. “Ya kalau kamu bersikukuh dengan pendapatmu, itu terserah kamu. Tapi jangan menyesal di kemudian hari kalau kamu tahu siapa dia sebenarnya.” Mama makin meninggikan suara. “Ma, aku tidak mau bertengkar terus soal ini. Tolonglah kasihani Laura.” Aku benar-benar mohon pada Mama sekarang. Hanya saja pendiriannya terlalu keras seperti batu karang. Mama mungkin tidak mengerti apa yang sedang aku alami. Kehilangan anak
ANDINI’s POVMakin mendekati dengan hari perkiraan lahir (HPL)-ku, ada rasa yang bercampur aduk menyelimutiku. Ada perasaan khawatir,cemas, senang dan takut.Setelah bayi ini lahir, sesuai kesepakatan… aku akan tinggal bersama Prasetia dan menaruhnya di panti asuhan. Ini adalah keputusan yang terbaik.“Bagaimana Andini? Kamu sudah siap?” Prasetia bermaksud mengantarkanku untuk periksa.Sekitar semingguan lagi bayi ini akan lahir. Badanku sudah semakin lemah. Kadang untuk bangkit dari tempat tidur semakin sulit.“Iya, sudah…” Aku tertatih-tatih berjalan menuju ruang tamu depan.“Pras, kalian mau berangkat?” Tante Nur menyapa kami yang akan berboncengan naik sepeda motor matic milik Prasetia.“Iya, Bi…” Prasetia mengenakan helm untuk penutup kepalanya. Ia juga menyerahkan satu helm lagi untukku.“Hati-hati di jalan. Jangan lupa untuk beli beberapa perlengkapan yang akan digunakan untuk lahiran ya..” pesan Tante Nur.“Iya, Tante.” Ucapku.Kami pun berangkat menyusuri jalan permukiman men
ANDINI’s POV Rasa sakit tak tertahankan lagi. Perutku sudah semakin sering berkontraksi. Awalnya aku hanya merasakan sekali dalam beberapa jam, kini sudah semakin pendek lagi jaraknya. Beberapa kali aku sudah buang air kecil, tapi tetap saja rasanya aku ingin ke belakang. “Andini, sepertinya kamu akan segera melahirkan…” Tante Nur mengingatkanku. Beliau tentu lebih berpengalaman soal ini. Aku hanya berjalan mondar mandir karena rasa sakit tak bisa lagi aku tahan jika aku duduk diam. Untunglah tubuhku tak selemah dulu. “Mungkin, Bi… semalaman saya tidak bisa tidur.” Keluhku. “Minumlah teh hangatnya… untuk melegakan tenggorokanmu juga.” Beliau menyuguhkanku segelas teh hangat yang diberi daun mint, kesukaanku. “Terima kasih sekali… ini adalah minuman kesukaanku. Bagaimana Bibi bisa tahu?” Aku tak menyangka beliau memperhatikanku sampai sedetil ini. “Kamu mirip dengan aku, Andini. Hanya menebak saja, eh rupanya kesukaanmu hampir sama denganku.” Beliau tersenyum. “Kalau kamu terus
BASKARA’s POV“Di mana letak ponselmu, Bas?”Mama yang tanpa permisi dahulu masuk ke ruangan kantorku. Saat di rumah, Mama hampir tidak pernah lagi masuk ke kamarku karena Laura selalu berada di sana.“Kenapa lagi, Ma?” Aku tak paham lagi dengan skenario Mama.“Mama sudah mengirimkan padamu informasi tentang Laura, istrimu. Dia itu pembohong besar. Dan… oh Tuhan, apa dosaku sehingga mendapatkan menantu tukang tipu seperti dia?” Mama memegang pelipisnya dan memijitnya berkali-kali.“Ada apa lagi?” aku urung memberikan ponselku. Justru sekarang aku pegang erat-erat dengan tangan kiriku.“Lihatlah. Dokter di rumah sakit tempat dia dirawat sudah memberi tahu Mama, kalau dia memalsukan kehamilannya. Dugaanku tak pernah salah, Bas… dia menipu kita. Dia tidak hamil.” Mama berkata-kata dengan histeris.“Ma…” Aku menghentikan ulahnya yang akan mengacak-acak meja kerjaku.Aku pegang kedua lengannya yang terus memberontak.“Dia menipu kita. Dia benar-benar ular betina!” Mama menangis terisak.“M
ANDINI’s POV Suasana rumah mungil yang aku tempati telah berubah semenjak kehadiran sosok mungil ini ke dunia kami. Bagas, begitu aku menamainya. Di dalamnya aku selipkan sebuah doa agar kelak dia menjadi sosok pribadi yang kuat dan ulet. Seharian turun hujan, kami berdiam di rumah saja. Seminggu telah berlalu dan Bagasku telah tumbuh begitu cepat. Meski jari jemarinya masih mungil namun aku merasa senyumannya sekarang lebih sering dari sebelumnya. “Senyum dulu, Bagas…” Aku mengajaknya bicara setiap kali dia tidak sedang tertidur. Entah dibalas dengan suara ‘aa’ atau ‘eee’ aku sudah sangat bahagia. Kadang tangannya memegangiku, tentu dengan gerakan yang masih lemah namun agresif. Aku menyukai semua hal tentang Bagas. Kecuali satu hal, matanya. Mata Bagas sangat mirip dengan mata ayahnya. Aku masih bisa terima kalau warna kulit Bagas memang mirip juga dengan ayahnya, tapi kalau soal mata… aku sedikit merasa keberatan atas pembagian kadar DNA yang Tuhan berikan. Setiap Bagas meman
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan