ANDINI’s POV Keterangan Baskara perihal Bayu tidak membuatku bertambah tenang, justru semakin gusar. Dia malah memojokkanku sepulangnya dari rumah sakit. Tubuhku meringkuk kembali di sofa panjang ruang kerja ini. Sebetulnya sebelum Baskara pulang aku sempat membayangkan bagaimana nanti jika Bayu meninggal dunia setelah kena pukulanku. Untunglah dia masih hidup. “Andini, masuklah ke kamarku sekarang.” Baskara yang tadinya sudah di kamar tidurnya, kini bangkit kembali dan memanggilku. “Aku tahu kamu belum tidur. Jangan pura-pura kamu.” Lanjutnya sambil mendekatiku. Aroma sabun mandinya menguar ke seluruh ruangan. Aku bisa merasakan nafasnya begitu dekat dengan wajahku sekarang. Mataku tetap kuusahakan untuk terpejam dan tak bergerak. Nafasku kuatur sedatar mungkin. Aku tak ingin membuatnya semakin curiga. Tapi Baskara sudah terlalu baik mengenalku. Dia tahu aku tidak benar-benar tidur. “Andini… aku mau kamu menemaniku malam ini… aku sudah lelah berjam-jam mengurusi Bayu akibat ula
ANDINI’S POV “Ada apa lagi, Tuan?” Aku bertanya pada Baskara yang sedang menikmati secangkir kopi di studio kerjanya. Setibanya di kamarnya, aku melihat wajahnya yang masih terpaku pada sebuah kertas dengan coretan tangannya. “Nada bicaramu sangat sinis, Andini.” Gumamnya sambal terus mencoret-coretkan pensil di kertas itu. “Maaf…” Kataku. “Andini, kenapa semalam kamu pergi saat aku terlelap?” Pertanyaan itu diungkapkannya seolah aku adalah pelaku kejahatan yang telah membuatnya celaka. Mengapa harus menginterogasiku untuk urusan yang tidak penting begini. “Baju saya kotor, saya mau ganti… juga mandi di kamar.” Jawabanku tak membuatnya merasa puas. Pasti dia akan menemukan celah lagi untuk menyalahkanku. Kedua matanya menyipit dengan dahu yang mengernyit. “Hah, asalan saja kamu ini…” Dia meletakkan pensilnya lalu dengan cepat menarikku ke pangkuannya. “Cobalah Andini, sekali-kali kamu itu bisa menjadi istri yang baik…” Apa aku tidak salah dengar? Menjadi istri yang baik? Bu
BASKARA’S POVSelepas aku menyelesaikan meeting di kantor, Pak Gun memberikan informasi bahwa Laura dan mamaku sudah sampai di rumah. Ini luar schedule jadwal kedatangan mereka yang seharusnya akan datang di malam hari. Aku baru menyadari kalau ponselku mati sejak siang tadi.Rasa rindu yang terpendam membuatku seperti tersihir. Setelah sampai ke parkiran bawah, aku memacu mobilku agar segera sampai rumah. Beberapa hari terakhir aku sangat merindukannya, mungkin sebab itulah aku menjadikan Andini sebagai pelampiasanku.“Sayang…” Suara Laura sudah mulai membangkitkan gairahku untuk segera memeluknya.“Hei… I miss you, Sayang.” Balasku sambil terus memacu kecepatan.Aku sudah tak sabar lagi untuk bertemu.“Miss you more.” Laura mendesahkan suaranya.“Aku sudah hampir sampai rumah, kok. Ini sebentar lagi… tunggu aku ya…” Kataku.Seandainya jalanan ini bisa kulipat, niscaya akan aku lakukan agar segera sampai tujuan.“Iya, hati-hati di jalan ya… aku tunggu kamu… hmmm, aku juga sudah mandi
ANDINI’s POV Akhirnya kami tiba juga di villa saat hari sudah gelap. Matahari sudah turun ke peraduannya sejak tadi. Kedua tanganku menelingkup di atas bantal yang kubawa dari mobil. Renovasi villa memang belum sepenuhnya selesai. Masih ada bagian atap depan yang rusak karena terkena pohon depan yang roboh saat hujan dua minggu lalu. Untungnya kamarku sudah selesai dan tidak ada bagian yang berlubang lagi. Kupastikan pohon-pohon dahannya sudah aman dan tak lagi berdekatan dengan bangunan villa. Ukuran pohon yang berumur sudah cukup tua memang rawan patah dahan dan rantingnya bila terkena angin atau hujan. “Mbak Andini, kamar sudah selesai ternyata…” Mak Ijah tersenyum lega melihat renovasi villa sudah hampir sempurna. Aku mengangguk. “Mbak Andini kedinginan? Dari tadi saya perhatikan memeluk bantal terus… atau sedang tidak enak badan? Masuk angin?” Mak Ijah memang selalu paling khawatir padaku. Pak Gun tidak ikut kami karena masih harus bertugas di rumah utama. Digantikan sopir
ANDINI’s POV Aku terkejut denga napa yang dikatakan Bu Bidan barusan. Apa? Forum jual beli bayi? Bayangan pertama yang muncul adalah bayi-bayi kecil yang masih merah lantas dibawa oleh sekelompok mafia untuk diambil organnya. Isu yang marak akhir-akhir ini. Aku menelan ludah sendiri. “Usia kandungan Mbak Andini sudah hampir tiga bulan…” Ungkap Bu Bidan seraya memberikan sebuah vitamin untuk aku minum. Meski aku belum bisa percaya sepenuhnya dengan berita yang aku dengar. “Apa maksud Bu Bidan dengan forum jual beli bayi tadi?” Tanyaku. Tanganku masih lemas saat ingin menggerakkannya. Aku tiba-tiba dihadapkan pada hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. “Oh, maaf… saya salah ngomong. Maksudku, ada orang tua-orang tua yang biasanya bisa mengadopsi bayi untuk dirawat.” Sorot matanya berubah. Tapi aku masih tak bisa percaya pada kalimatnya. “Oh begitu ya Bu…” Mak Ijah yang berada di ruangan sebelah belum tahu soal ini. Hatiku gamang apakah aku sebaiknya memberi tahu beliau at
Baskara’s POV Setelah berkali-kali mencoba untuk menghubungi istriku, akhirnya usahaku membuahkan hasil. Laura mau mengangkat teleponku dan bicara padaku. Memang dia belum sepenuhnya menerima kenyataan dan belum mempercayaiku lagi, tapi ini adalah sebuah awal yang baik untuk mengembalikan hubungan kami seperti semula. “Kamu sudah makan?” Tanyaku saat kami mengobrol lewat voice call pagi-pagi. “Sudah. Kamu bagaimana?” Dia menanyakan keadaanku, artinya dia sudah mulai perhatian kembali. Untuk saat ini aku harus bersabar di tiap kalimatnya belum ada nama panggilanku atau gelar kata ‘sayang’ seperti dulu. “Aku? Aku belum makan. Karena istriku belum pulang.” Jawabku sambil tersenyum namun nada bicaraku sedikit sedih. Dia tidak bisa melihat bagaimana eskpresiku yang sesungguhnya. “Hmm… kasihan…” Laura bergumam. Aku sempat mendengarkan dia tertawa geli dengan kalimatku tadi. Pembicaraan sedikit canggung. “Laura, minggu depan aku akan mengikuti meeting dengan investor di Swiss. Apa k
ANDINI’S POV Pertemuan kali ini terasa berbeda dari sebelumnya. Kondisi ibuku memang sedikit menurun. Awalnya beliau tak mau bercerita soal apa yang sebenarnya terjadi setelah kami berpisah beberapa waktu lalu. Tak dinyana sebelumnya, Paman Adi telah menjual Perusahaan keluarga kami dan beliau katakan kalau hutang belum bisa lunas setelah Perusahaan dijual. Uang yang diberikan oleh pihak keluarga Baskara rupanya juga masih diperlukan untuk membayar hutang keluarga kami. “Iya, Andini. Total terakhir yang keluarga kita terima adalah seratus juta. Dan katanya sisa uang yang seharusnya diberikan pada kita di akhir kontrak, Paman Adi sudah memintanya…” Jelas ibuku saat kami bertemu. Aku masih belum menegrti kenapa Paman Adi melakukan keputusan ini secara sepihak dan tidak memberitahuku terlebih dahulu. “Bagaimana dengan pembiayaan kontrol Ibu ke rumah sakit dan biaya obat?” Tanyaku sambil termenung sendiri. Melihat ibu yang sedang mendapatkan ujian semacam ini, aku tak bisa menambah
BASKARA’s POV Seperti yang disampaikan oleh Pak Gun, di villa tidak ada siapapun kecuali penjaga dan tukang kebun. Suasana nampak sunyi dan bangunan villa utama tak menunjukkan adanya tanda kehidupan. Sama seperti ketika Andini dulu belum tinggal di sini. Hal ini akan sama dengan ketika Andini pergi meninggalkan villa. Aku menuju ke area pantry untuk melihat isi kulkas. Kebiasaanku adalah makan buah-buahan saat datang ke sini. Tak jarang pekerja villa akan menyiapkan buah-buahan segar agar aku tidak perlu repot-repot mencari. “Pak Gun, kenapa di kulkas isinya hanya buah jeruk sama anggur saja? Ada lagi juga semangka.” Gerutuku melihat isi dalam kulkas yang penuh dengan hanya tiga buah itu saja. “Apa perlu saya carikan, Tuan?” Pak Gun berinisiatif untuk membelikanku buah dari luar. Aku lihat di luar tadi memang banyak buah-buahan yang sedang musim. “Boleh, Pak. Carikan saya alpukat sama apel ya Pak. Itu kesukaan Laura juga. Beli agak banyak agar saya bisa bawa pulang. Sekalian du
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan