"Manusia, 'kan tempatnya salah dan dosa, Mila. Tuhan saja mengampuni, masa kamu tidak bisa?""Walaupun itu fatal dalam agama kita?""Mila, kamu apa tidak ingat cerita tentang anjing yang masuk surga? Atau tentang pela cur yang masuk surga? Atau bahkan cerita tentang keduanya. Tidak ada dosa yang tidak terampuni asal ia benar-benar bertobat. Bertobat dan tidak melakukannya lagi.""Tapi kami punya banyak perbedaan, Bu. Rumit pula kalau ketemu Ayah."Ibu mengambil mangkuk besar dan mulai memindahkan isi panci ke dalam mangkuk porselen dengan sendok besar. "Tidak ada yang tidak mungkin, Mila, kalau Tuhan merestui. Jadi mintalah padaNya."Kae terdiam. Sebentar kemudian ia membantu sang ibu menghangatkan makanan yang lain. Setelah menghidangkannya di atas meja, ia kemudian makan malam bersama keluarga kecil ibunya. ****"Dani, aku minta nomor telepon Kae," pinta Erick dari ponselnya. "Mas, aku mau tanya. Kae itu istrimu, bukan?""Iya.""Apa?""'Kan sudah kujawab iya," sahut pria bule itu
"Eh?" Kae terkejut. "Lho?" Rika melongo, Erick menggandeng stafnya ke arah pintu. Kenapa bukan ia yang mendapat rezeki ini, padahal ia adalah penggemar yang berusaha membela pria bule ini dari mulut pedas Kae. "Ayo!" Dani berdiri di samping Rika, menunggu. Mau tak mau wanita cantik berambut panjang itu mengibaskan rambutnya ke belakang dan berdiri. Ia kemudian mengikuti pria berambut cepak itu mengikuti Erick. Sesampainya di kantor agensi periklanan, mereka bertemu produser yang akan memproduksi iklan itu dan mereka mendapat skrip, juga keterangan tentang syuting iklan itu. Anehnya, Erick selalu memisahkan diri dari Rika dan hanya bersama Kae, dengan alasan menghindari masalah yang akan timbul kemudian. Pria bule itu dan istrinya kadang berbisik-bisik berdua dan mengabaikan keberadaan Dani dan Rika. "Eh, aku sedang mengajarinya. Untuk bicara lebih lembut lagi," kata Erick pada Rika. Ia beralih pada Kae dengan suara sedikit tegas. "Eh, kamu sama atasan jangan sering membantah. Kapa
Kae mau tak mau membalik tubuhnya karena penasaran. Ia hampir tertawa melihat sang suami hendak melepas celana panjang pria itu. Namun ia mulai merasa heran, kenapa Erick tiba-tiba datang ke ruangan HRD padahal tidak ada yang mengundangnya. "Oh, kamu tak punya baju ganti ya? Bagaimana ini?" Aktor itu baru sadar dengan apa yang diperbuatnya. Ia memukul dahinya sendiri karena bingung. Ahmad tampak pusing. Ia tentu saja saja tak membawa baju ganti tapi Kae bisa merasakan sesuatu. Suaminya tengah berakting. Apa yang ia inginkan sebenarnya? Erick menjentikkan jemarinya. "Bagaimana kalau aku belikan gantinya?" Ia menoleh pada sang istri. "Kae, ayo kita belanja.""Apa?"Belum sempat menjawab dan mendapat izin, Erick menarik istrinya keluar dari ruangan itu. Ia mendatangi Dani sambil teriak, "Dani, aku pinjam mobilmu!"Pria berambut cepak itu melempar kunci mobilnya. Erick menangkap dan langsung pergi. Ia tidak membiarkan siapa pun tahu ke mana keduanya pergi. "Bang, Abang bohong ya?" tan
Kae baru saja masuk halaman kost-kostan ketika dilihatnya ibu kost tengah berdiri di depan pintu kamarnya. "Ibu cari Saya?""Iya. Ibu mau tanyakan sisa pembayaran uang sewa. lima bulan sisanya mau dibayar kapan?""Maaf, Bu. Sekarang Saya belum ada uang. Bagaimana kalau nanti pas tanggal gajian?""Kamu lunasi semua?""Eh, mungkin satu bulan dulu, Bu.""Oh, itu sih namanya bayar bulanan. Sisanya kapan?""Aduh ... mmh ...." Kae menggigit bibir bawahnya dan hanya bisa terdiam. "Soalnya begini ya. Ibu mau naikkan harga sewa terus kebetulan ada yang sanggup bayar dan ingin pindah secepatnya.""Ibu, tolong." Kae meraih tangan wanita itu dan memohon. "Saya akan cari uang itu segera, Bu, tapi tolong jangan keluarkan Saya dari sini.""Bukankah orang tuamu ada di Jakarta? Kenapa tidak tinggal saja lagi dengan mereka?""Oh, itu Om Saya, Bu. Orang tua Saya ada di Lampung," sahut Kae berbohong. 'Bisa marah Ayah bila aku tinggal sama Ibu.'"Paling tidak kamu ada keluarga di Jakarta. Masa mereka tid
"Oh, iya.""Dia baru berangkat," sahut Lana yang sudah berpakaian rapi, mengunci pintu kamarnya. Ia mengerut dahi mengamati Erick. 'Sejak kapan Kae punya teman bule?'"Oh, begitu." 'Ke mana lagi dia pergi?' "Terima kasih.""Iya, sama-sama."Erick kembali ke mobil. Sempat menghela napas, ia mencoba menelepon istrinya. Namun teleponnya kembali dimatikan. 'Kae, apa kamu marah padaku?' Pria itu mendesah pelan. ****"Mas, nanti syutingnya hari Senin ya? Pagi-pagi nanti aku jemput.""Mmh." Erick tengah bersantai di rumah saat menerima telepon dari Dani.Dani mengerut kening. Dari suaranya, Erick terdengar tak bersemangat. "Kenapa lagi, Mas? Masih bertengkar dengan istrinya?""Kami tidak bertengkar, hanya ...." Erick ragu-ragu untuk bicara. "Hanya kenapa?" Tidak terdengar lagi suara bule itu sehingga Dani meneruskan. "Sebenarnya ada masalah apa, mungkin aku bisa bantu?"Erick tertawa miris. "Kau belum menikah, kau takkan mengerti. Wanita itu rumit.""Sebelum menikah pun wanita rumit.""Tap
Namun yang terjadi, mata Kae tergenang. Dengan cepat bulir-bulir air mata itu jatuh diiringi pukkulan demi pukkulan dari tangannya yang satu lagi. Pria itu langsung memeluknya agar bisa meredam kemarahan, tapi tetap saja sang istri memukkulinya lagi. Karena itu, akhirnya Erick melepaskan pelukan. Namun tiba-tiba Kae meraih baju kaos yang dikenakan sang suami, seakan tak ingin berpisah. Ia menunduk dan mulai menangis. Erick tentu saja bingung melihat tingkah istrinya itu. Dipeluk dia menolak, tapi dilepas, bajunya digenggam. Walau begitu, ia mencoba sekali lagi mendekap Kae untuk kedua kalinya. Kali ini sang istri menerimanya dengan ikhlas. Wanita itu bahkan menangis dalam pelukan suaminya. Ia memeluk sang suami erat. "Oh, Kae. Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja." Erik membiarkan sang istri menangis di pelukan. Menangis meluapkan semua perasaan, hingga akhirnya tangis itu reda. Namun setelah itu, sang istri masih memeluknya dan tak mau lepas. Pria itu membiarkan saja sela
Kae terdiam. Erick menutup buku yang dipegangnya. "Kamu pilih mana? Mau jadi author apa kerja kantoran?""Author saja, Bang.""Bagus." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah sang istri dan mengecup pipinya. "Kau mau makan malam apa, Sayang? Mau masak atau beli delivery?""Delivery saja. Aku gak bisa bantu kamu masak, aku ngejar deadline.""Ok." Erick kembali ke posisi semula. Ia kembali membuka bukunya. "Oh, ya. Aku besok akan syuting iklan di studio. Kamu mau di rumah atau mau keluar?""Maksudnya?""Kamu 'kan belum bayar kost-kostan dan mengundurkan diri dari kantor. Aku bisa mengantarmu.""Oh, aku bisa sendiri saja.""Kamu tidak bisa sendiri sekarang, Sayang. Berbahaya.""Berbahaya kenapa?" "Dokter bilang kamu tidak bisa sendirian ke mana-mana, karena ada kemungkinan akan pingsan lagi." Erick berterus terang. Ia memang belum menceritakan pada istrinya tentang penyakitnya."Memang aku kenapa, Bang?" Kae merubah duduknya dan menghadap ke arah sang suami. Ia memang belum mendengar in
Kae terenyuh mendengarnya. Ia meraih lengan sang pembantu dan menggenggamnya. "Aku janji."Setengah jam kemudian Kae telah berada di rumah sakit. Ia telah melewati serangkaian tes dan kini tengah berhadapan dengan seorang dokter wanita. Jantungnya berdetak cepat melihat dokter itu dengan mimik serius memeriksa kertas hasil tes yang didapatnya. "Begini ya, Bu. Memang sesuai perkiraan dokter Handi, rahim Ibu memang tidak sempurna. Juga sel telurnya. Kemungkinan bisa hamil itu cuma 10%. Kita bisa coba dengan pengobatan, tapi hasilnya tidak menjamin. Terserah ibu aja, kalau ibu ingin mencoba."Kedua netra Kae memanas, hampir saja air matanya jatuh kalau saja ia tak cepat menyekanya. Dokter itu pun tak sanggup melihat wajah pasiennya. "Ibu ingin ikhtiar?"Kae mengangguk. "Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah meridhoi.""Amin."Tak lama nyonya Erick itu duduk di kursi panjang depan apotek. Ia melamun memikirkan nasibnya. 'Bagaimana kalau Allah tidak meridhoi?' Hampir saja ia menitikkan
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja