Kae baru saja masuk halaman kost-kostan ketika dilihatnya ibu kost tengah berdiri di depan pintu kamarnya. "Ibu cari Saya?""Iya. Ibu mau tanyakan sisa pembayaran uang sewa. lima bulan sisanya mau dibayar kapan?""Maaf, Bu. Sekarang Saya belum ada uang. Bagaimana kalau nanti pas tanggal gajian?""Kamu lunasi semua?""Eh, mungkin satu bulan dulu, Bu.""Oh, itu sih namanya bayar bulanan. Sisanya kapan?""Aduh ... mmh ...." Kae menggigit bibir bawahnya dan hanya bisa terdiam. "Soalnya begini ya. Ibu mau naikkan harga sewa terus kebetulan ada yang sanggup bayar dan ingin pindah secepatnya.""Ibu, tolong." Kae meraih tangan wanita itu dan memohon. "Saya akan cari uang itu segera, Bu, tapi tolong jangan keluarkan Saya dari sini.""Bukankah orang tuamu ada di Jakarta? Kenapa tidak tinggal saja lagi dengan mereka?""Oh, itu Om Saya, Bu. Orang tua Saya ada di Lampung," sahut Kae berbohong. 'Bisa marah Ayah bila aku tinggal sama Ibu.'"Paling tidak kamu ada keluarga di Jakarta. Masa mereka tid
"Oh, iya.""Dia baru berangkat," sahut Lana yang sudah berpakaian rapi, mengunci pintu kamarnya. Ia mengerut dahi mengamati Erick. 'Sejak kapan Kae punya teman bule?'"Oh, begitu." 'Ke mana lagi dia pergi?' "Terima kasih.""Iya, sama-sama."Erick kembali ke mobil. Sempat menghela napas, ia mencoba menelepon istrinya. Namun teleponnya kembali dimatikan. 'Kae, apa kamu marah padaku?' Pria itu mendesah pelan. ****"Mas, nanti syutingnya hari Senin ya? Pagi-pagi nanti aku jemput.""Mmh." Erick tengah bersantai di rumah saat menerima telepon dari Dani.Dani mengerut kening. Dari suaranya, Erick terdengar tak bersemangat. "Kenapa lagi, Mas? Masih bertengkar dengan istrinya?""Kami tidak bertengkar, hanya ...." Erick ragu-ragu untuk bicara. "Hanya kenapa?" Tidak terdengar lagi suara bule itu sehingga Dani meneruskan. "Sebenarnya ada masalah apa, mungkin aku bisa bantu?"Erick tertawa miris. "Kau belum menikah, kau takkan mengerti. Wanita itu rumit.""Sebelum menikah pun wanita rumit.""Tap
Namun yang terjadi, mata Kae tergenang. Dengan cepat bulir-bulir air mata itu jatuh diiringi pukkulan demi pukkulan dari tangannya yang satu lagi. Pria itu langsung memeluknya agar bisa meredam kemarahan, tapi tetap saja sang istri memukkulinya lagi. Karena itu, akhirnya Erick melepaskan pelukan. Namun tiba-tiba Kae meraih baju kaos yang dikenakan sang suami, seakan tak ingin berpisah. Ia menunduk dan mulai menangis. Erick tentu saja bingung melihat tingkah istrinya itu. Dipeluk dia menolak, tapi dilepas, bajunya digenggam. Walau begitu, ia mencoba sekali lagi mendekap Kae untuk kedua kalinya. Kali ini sang istri menerimanya dengan ikhlas. Wanita itu bahkan menangis dalam pelukan suaminya. Ia memeluk sang suami erat. "Oh, Kae. Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja." Erik membiarkan sang istri menangis di pelukan. Menangis meluapkan semua perasaan, hingga akhirnya tangis itu reda. Namun setelah itu, sang istri masih memeluknya dan tak mau lepas. Pria itu membiarkan saja sela
Kae terdiam. Erick menutup buku yang dipegangnya. "Kamu pilih mana? Mau jadi author apa kerja kantoran?""Author saja, Bang.""Bagus." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah sang istri dan mengecup pipinya. "Kau mau makan malam apa, Sayang? Mau masak atau beli delivery?""Delivery saja. Aku gak bisa bantu kamu masak, aku ngejar deadline.""Ok." Erick kembali ke posisi semula. Ia kembali membuka bukunya. "Oh, ya. Aku besok akan syuting iklan di studio. Kamu mau di rumah atau mau keluar?""Maksudnya?""Kamu 'kan belum bayar kost-kostan dan mengundurkan diri dari kantor. Aku bisa mengantarmu.""Oh, aku bisa sendiri saja.""Kamu tidak bisa sendiri sekarang, Sayang. Berbahaya.""Berbahaya kenapa?" "Dokter bilang kamu tidak bisa sendirian ke mana-mana, karena ada kemungkinan akan pingsan lagi." Erick berterus terang. Ia memang belum menceritakan pada istrinya tentang penyakitnya."Memang aku kenapa, Bang?" Kae merubah duduknya dan menghadap ke arah sang suami. Ia memang belum mendengar in
Kae terenyuh mendengarnya. Ia meraih lengan sang pembantu dan menggenggamnya. "Aku janji."Setengah jam kemudian Kae telah berada di rumah sakit. Ia telah melewati serangkaian tes dan kini tengah berhadapan dengan seorang dokter wanita. Jantungnya berdetak cepat melihat dokter itu dengan mimik serius memeriksa kertas hasil tes yang didapatnya. "Begini ya, Bu. Memang sesuai perkiraan dokter Handi, rahim Ibu memang tidak sempurna. Juga sel telurnya. Kemungkinan bisa hamil itu cuma 10%. Kita bisa coba dengan pengobatan, tapi hasilnya tidak menjamin. Terserah ibu aja, kalau ibu ingin mencoba."Kedua netra Kae memanas, hampir saja air matanya jatuh kalau saja ia tak cepat menyekanya. Dokter itu pun tak sanggup melihat wajah pasiennya. "Ibu ingin ikhtiar?"Kae mengangguk. "Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah meridhoi.""Amin."Tak lama nyonya Erick itu duduk di kursi panjang depan apotek. Ia melamun memikirkan nasibnya. 'Bagaimana kalau Allah tidak meridhoi?' Hampir saja ia menitikkan
"Benar, 'kan!" Erick semakin geram. Ia meraih lengan Kae dengan kasar sehingga wanita itu kembali menghadapnya. "Bang, sudah ya ...." Kae terlihat pucat. Tiba-tiba ia terjatuh, tapi dengan cepat Erick menangkap tubuhnya. "Kae?" Pria itu terkejut. Kae tak bergerak. Ia pingsan. Erick segera menggendongnya dengan kedua tangan.Bik Inah yang datang di belakang tak tahu apa yang terjadi. "Erick, jangan bertengkar. Kalian ...." Ia tertegun melihat Kae yang pingsan. "Nyonya?"Erick membaringkan Kae di atas ranjang. Ia tampak cemas. "Kae ... maafkan aku ...."Bik Inah mendatangi ranjang dengan wajah nanar. Ia melirik Erick dan memukkul bahunya dengan kencang. "Boddoh!" Kembali ia menatap Kae yang berbaring di ranjang. "Lalu, Nyonya tidak dibawa ke rumah sakit?" tanyanya khawatir. "Aku harus menunggu setengah jam. Bila ia bangun sebelum waktunya, ia tak perlu dibawa ke rumah sakit.""Lalu Tuan tetap percaya dia selingkuh?""Sebab Kae tidak pernah mau berterus terang jika sudah menyembunyika
Erick yang mengintip dari belakang tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya tersenyum melihat sang istri makan dengan lahapnya. 'Syukurlah, kau tidak apa-apa.'****Sebenarnya cukup membosankan bagi Erick membaca sendirian di kamar. Apalagi saat tahu Kae ada di rumah. Cukup melihat dia ada di dekatnya saja, ia sudah senang. Karena itu ia menyimpan bukunya ke atas meja dan mencari sang istri di kamar sebelah. Sudah cukup lama wanita itu berada di sana. 'Apa dia sudah sholat? Tadi aku sudah meletakkan kain sholatnya di sana sesuai permintaan.'Ya, Kae sempat berkomunikasi dengan Erick lewat pesan singkat dari ponsel. Dan hanya itu yang diminta, setelah itu tidak ada lagi percakapan. Erick bertanya tentang obat yang sudah diminum atau belum saja, Kae tak menjawab. Erick membuka pintu kamar itu dan melihat sang istri meletakkan kepalanya di atas lipatan kedua tangan. Ponselnya pun ada di samping. 'Apa dia tidur?' Ia mendatangi istrinya. "Kae ...."Tak ada jawaban. Kae tak bergerak. Erick memb
Tentu saja Erick mengulum senyum. Ternyata Kae benar membeli es krim untuk memperbaiki mood-nya setelah bertengkar dengannya. 'Kau ini, ternyata.' Pria itu kemudian ikut duduk di lantai. Ia mencoba es krim dari sendok plastik milik istrinya. "Mmh, enak sekali ternyata." Ia menyendok lagi es krim stroberi dari dalam wadah. Kae terlihat khawatir. "Bang, udah ....""Aku baru coba satu sendok, Kae. Satu lagi ya?"Wanita itu merengut membuat Erick tersenyum melihatnya. Pria itu menyendok es krim dan menyuapnya segera. Setelah itu, ia coba menyendok lagi, membuat Kae mulai merengek. "Abang ...."Erick tersenyum lebar. Padahal ia cuma menggodanya. "Ok, kiss dulu."Sang istri mengerucut bibirnya ke depan dan Erick mengecupnya. Sang pria kemudian melihat saja Kae mulai menyendok es krimnya kembali. Wanita itu terlihat senang makan es krim dan kemudian meneruskan pekerjaannya di ponsel. Setiap melihat benda pipih itu, wajahnya langsung serius. Dari jauh Bik Inah memerhatikan keduanya. Ia se
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja