Suara kedua orang itu memenuhi kepala Kae. Keras dan lembut. Ia memegangi kepalanya karena pusing. Sekuat tenaga ia menggeleng-gelengkan kepala, tapi suara itu tak kunjung pergi. Kae buru-buru memasukkan ponsel dan dompet itu ke dalam tas dan menyimpan tas itu ke dalam laci. Dengan sempoyongan ia pergi kembali ke kamar. Di kamar ia berbaring di ranjang. Samar-samar beberapa potongan adegan muncul dalam ingatan. Matanya menyipit karena kepalanya masih berdenyut. Ia lamat-lamat memijit dahinya. Pelan-pelan potongan adegan itu membuat ingatannya kembali, hingga sebuah adegan kecelakaan membuat ia terkejut dan terduduk. "Hah!" Tiba-tiba tubuhnya jatuh lemas dan terhempas ke ranjang.****Erick berjalan mondar-mandir di depan meja sambil meletakkan ponsel di telinga tapi orang yang dituju tak kunjung menjawab. Padahal ia menelepon untuk kedua kalinya. "Ayo, Kae. Angkat ... Jangan bikin aku khawatir," gumamnya resah. Namun hingga dering terakhir, telepon itu tak juga diangkat. Erick menur
Kedua mata Kae mulai redup. Kedua pria itu kembali bicara. Dokter itu menepuk bahu Erick. "Alihkan saja pembicaraan ke arah lain agar istri bapak tidak banyak pikiran," bisiknya saat mendekatkan kepala. "Bicarakan hal-hal yang menyenangkan.""Baik, dok." Pria bule itu mengangguk. "Untuk hari ini, aman. Kalau ada apa-apa, tinggal panggil suster.""Ok, dok."Suster dan dokter itu pun pergi. Erick kembali menemani sang istri. Ia merapikan selimut Kae karena sang istri sudah tertidur. Erick mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengecup dahi Kae dengan lembut. Ia mengusap pucuk kepala sang istri dengan penuh kasih sayang. "Kae ...," desahnya lirih. ****Kae terbangun saat Erick tengah sibuk melihat ponselnya. Ia melihat sekeliling. Wanita itu masih berada di dalam kamar perawatan. Erick tak sengaja melihat istrinya terbangun. "Oh, Kae. Kau sudah bangun. Kau lapar? Apa kepalamu masih pusing?"Kae menggeleng. Gorden yang ditutup menandakan hari sudah malam. "Apa Abang di sini terus dari ta
Wanita paruh baya itu bergegas datang dari dapur. "Ada apa, Tuan?""Kae ke mana, Bik?" tanya Erick. "Keluar.""Keluar?" Kening pria itu berkerut. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya untuk menelepon. "Tumben, pagi-pagi sudah keluar," gumamnya. Telepon tersambung. Pada saat itu Kae masih berada di dalam taksi, bersandar menatap ke arah jendela. Ada bekas air mata di kedua kelopak mata dan ia terkejut mendengar dering telepon dari dalam tasnya. Dering itu berasal dari ponsel baru miliknya. Kae memeriksa tas. Seperti dugaannya, Erick menelepon. Segera ia mematikan ponsel. Saat ini ia ingin menyendiri. Ia tak tahu apa yang diinginkan saat ini, yang penting ia jauh dari Erick. Kae takut keputusan berikutnya dipengaruhi dengan keberadaan sang suami. Sakit hatinya harus meninggalkan Erick tapi ini untuk kebaikan mereka berdua. Ia harus tetap bertahan walau tanpa sang suami di sisinya. Erick menurunkan ponsel dari telinga. Ia terkejut. Kenapa Kae mematikan ponselnya? Ia kembali menyambungka
"Tidak, Mbak. Saya sudah bilang di sesi wawancara, karena itu Saya di sini.""Lagi pula yang dibutuhkan yang muda," kata wanita itu yang masih mencari-cari kesalahan Kae. Kae yang sudah tak lagi memakai cadar hanya bisa menghela napas. "Kalau Mbak gak puas, Mbak ke HRD aja."Wanita itu sebenarnya kesal, Kae terus-terusan menjawab ucapannya tapi ia tak bisa apa-apa karena Kae telah mematahkan semua ucapannya. "Ok, mungkin staf marketing lagi dibutuhkan banyak sehingga menerima orang diluar dari kriteria seharusnya." Begitulah cara wanita berambut panjang ini menyelamatkan wajahnya. Wanita ini kemudian melangkah ke depan dengan wajah angkuh. "Baiklah, kita mulai saja. Namaku Rika dan aku adalah Marketing Manager di sini."****Erick tengah duduk di saung yang berada di kebun tehnya. Angin sepoi-sepoi tak ia rasakan karena pikirannya tengah melayang entah ke mana. Memandangi hamparan kebun teh dan sinar mentari yang masuk sedikit ke dalam saung yang sedikit remang-remang itu. 'Kae, ap
"Sekarang aku tidak ingin main film. Kalau iklan aku mau. Oya, kamu tahu cara menghubungi penulis Dara siapa itu namanya ...." Erick mencoba mengingat-ingat nama pena istrinya. "Dara Jamilah? Entahlah. Sebentar aku cari dulu." Pria muda itu kemudian mencari nomor telepon wanita itu di ponselnya. "Ah, ada. Mas Erick mau apa?" Ia menoleh pada artis bule yang kini tampak lebih kurus dari sebelumnya. "Bisa kau suruh datang. Mmh ... mungkin bertemu di luar. Di restoran mungkin.""Kenapa? Mas, mau bertemu lagi dengannya?""Jangan beri tahu, aku yang ingin bertemu, ok?""Ok." Pria berambut cepak itu mencoba menghubungi, tapi tak seperti yang diharapkan. Nomor itu tak bisa dihubungi. "Kayaknya udah ganti nomor, Mas."Erick menghela napas. Ia menyentuh bibirnya. "Bagaimana dulu kamu mendapatkan nomornya?""Oh, aku memberikan nomorku di kolom komentar novelnya. Coba aku tanya lagi." Dani kembali menyalakan ponselnya. Ia membuka aplikasi novel tempat Kae menulis, tapi kembali ia kecewa. "Oh, s
"Eh, Saya Rika. Saya Manager Marketing di sini." Rika menyodorkan tangan pada Erick ketika para senior telah keluar ruangan. Matanya berbinar gembira saat bisa dekat dengan pria bule itu. Bukan apa-apa. Pria itu adalah aktor favoritnya. Erick menyambut tangan wanita cantik itu. "Halo, Rika.""Saya juga penggemar film-film Anda.""Oya? Terima kasih.""Sama-sama. Oya, aku akan ditemani stafku Kae untuk membantu Anda mengenal produk-produk kami.""Kak Kae, ayo cepat! Namamu disebut itu sama Manager," sahut Nana mendorong bahu Kae agar bangun dari kursinya. Wanita berjilbab itu mau tak mau bangkit berdiri dan menemui mereka. Kae melangkah dengan enggan dengan wajah sedikit menunduk. Kedua pria itu menunggu sedang Rita terlihat tak sabaran. "Ayo, Kae. Cepat. Jangan buat tamu kita menunggu," ucap Rika dengan gemas. Matanya melotot pada Kae karena jalannya sangat lamban. "Eh, iya." Walau terlihat berusaha cepat tapi juga terlihat dipaksakan. "Oh, ini yang namanya Kae. Namanya unik juga,
Erick kemudian mengambil sapu dan mengganjal pegangan pintu kamar mandi itu dengan pegangan sapu yang diletakkan melintang. Ia menoleh pada managernya. "Dani, tolong usahakan jaga jangan sampai terlepas.""Eh, iya." Walau tak mengerti, pria berambut cepak itu mengiyakan. Ia meletakkan plastik belanja di tangan ke atas meja terdekat. Erick kemudian meraih brosur yang ada di tangan Kae, dan meletakkannya di atas meja. "Ayo ikut aku!""Apa?" Kae yang kebingungan terpaksa ikut karena sang suami menariknya ke arah jendela balkon. Di sana Erick membuka pintu. Menutup jendela dengan gorden dan membawa istrinya keluar. Ia kemudian menutup pintu kaca itu. "Sekarang, katakan apa yang kamu ingin katakan.""Apa?" Kae masih belum mengerti apa maksud perkataan suaminya. "Kenapa kamu kabur dari rumah? Kenapa kamu tidak bilang padaku amnesiamu sudah sembuh? Apa aku sebagai suamimu tak berhak tahu?"Tahulah wanita itu, kenapa suaminya membawanya ke sana. Mereka tidak bertemu ruang privat di mana me
Saat lift terbuka, mereka masuk. Tiba-tiba Erick berkata, "Oh, ada yang ketinggalan." Ia menggerakkan kartunya pada alat pengenal kartu dan menekan nomor basemen paling bawah lalu menarik Kae keluar bersamanya. "Dani, tolong antarkan Mbak Rika, ya?"Kejadiannya begitu cepat sehingga siapa pun tak bisa menolaknya. Bahkan Kae. "Biar Kae aku yang antar," ujar pria bule itu sesaat sebelum pintu lift tertutup. Erick menggandeng sang istri kembali ke apartemennya. "Bang!" Kae menarik tangannya dengan kasar. "Apa sih?" Pria itu menoleh. "Aku mau pulang!"Erick tersenyum lebar. "Aku rindu panggilan itu. Aku rindu suaramu. Aku rindu melihat wajahmu."Wanita itu cemberut dengan pipi merah merona. "Jangan coba merayuku ya!"Kini pria itu berhadapan dengan Kae yang sebenarnya. Galak. "Lho, kenapa? Aku 'kan merayu istri halalku. Lagipula, aku gak bohong. Aku benar-benar merindukanmu.""Sudah, jangan banyak tipuan. Aku mau pulang!""Ini aku mau ambil kunci mobil, masa aku bohong sih?"Kae masih
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja