Pov Frida
Usai menunaikan sholat zuhur, aku segera bergegas ke luar, menemui Bang Farhan, tapi sayang, rupanya mantan suamiku itu sudah pergi.
Aku terbiasa sholat awal waktu, begitu azan berkumandang, segera ku tunaikan kewajibanku itu. Aku tidak mau menunda-nunda sholat, bikin hati was-was, takutnya ada pembeli datang, sholat pun bablas.
Tadi memang aku sempat mendengar suara panggilan dari Bang Farhan, tapi aku sedang sholat. Panggilan itu pun aku abaikan, dan dia pergi begitu saja tanpa pamit.
Farhan Habibi, nama lelaki yang menikahi aku empat belas tahun yang lalu itu. Kami tetangga sekampung, berlatar belakang dari keluarga pas-pasan, tak tapi menyurutkan langkahnya untuk meminangku, si kembang desa.
Dia tidak tampan, tidak pula mapan. Tapi entah mengapa aku bisa jatuh cinta padanya, mungkin karena tutur katanya yang santun, dan sikapnya yang selalu sopan pada siapapun.
Kalau mengingat semua itu, seperti membuka luka lama yang sudah mulai mengering, dan kini harus berdarah lagi.
Dulu kami hidup miskin, gajinya sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tempat tinggal pun hanya mampu ngontrak rumah petak, bagiku tak apa, yang penting ada tempat berteduh.
Kemiskinan tak membuat cintaku luntur, aku terus menyemangatinya agar lebih giat bekerja. Hingga suatu hari bapakku mengunjungi kami, beliau merasa iba, melihat keadaan kami yang memprihatinkan.
"Kalau tahu hidupmu seperti ini, tak ku ijinkan kau ikut merantau suamimu, Da. Lebih baik di kampung, tinggal sama Bapak, semua ada nggak kekurangan," tutur Bapak dengan suara sedih.
"Ya namanya juga istri, Pak. Harus ikut kemana pun suami pergi," sanggahku kala itu. Apapun keadaannya aku harus menerima suamiku, kan? Tak boleh mengeluh, apalagi pada orang tua. Hanya akan menambah beban pikiran saja.
"Kalau hanya bikin susah, buat apa dia ajak-ajak kamu," balas Bapak tidak suka, orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita.
"Sawah bagianmu Bapak jual, ya? Masmu mau membelinya. Harganya memang sedikit lebih murah dari harga pasar. Tapi itu lebih baik, dari pada dibeli orang lain. Kan uangnya bisa kamu pakai buat beli rumah yang layak, dan buat modal usaha."
Dan aku pun menuruti usulan bapakku, meski pada awalnya kami harus terseok-seok, gonta-ganti usaha, hingga akhirnya sukses membuka warung soto.
Tapi dasar laki-laki tidak tahu diuntung! Setelah sukses dia malah menjalin cinta dengan mantan pacarnya, Freya Matilda.
Bukan pacar sih, tepatnya penggemar setia. Freya adalah idola di sekolahnya dulu, cantik seksi dan popoler di kalangan murid laki-laki, termasuk Bang Farhan.
Tetapi Freya yang cantik itu punya selera tinggi, hingga cinta Bang Farhan bertepuk sebelah tangan. Mana mau Freya pacaran dengan anak buruh tani, seperti Bang Farhan itu.
Tapi itu dulu, setelah Bang Farhan sukses, siapa yang tak tergoda? Freya yang dulu menikah dengan pengusaha kaya, diceraikan suaminya karena ketahuan selingkuh. Itu cerita yang kudegar dari temanku.
Freya bertemu dengan Bang Farhan tanpa sengaja, saat makan soto di warung kami. Freya yang tahu Mas Farhan sudah sudah sukses dan kaya, pun merayu Mas Farhan, dan terjalinlah hubungan terlarang itu.
"Maafkan Abang, Da. Abang khilaf," lirihnya saat kutunjukkan, video dan foto-foto seronoknya dengan Freya.
"Abang tega ya? Waktu Abang miskin, siapa yang setia menemani? Siap yang suport Abang sampai sukses? Freya?!" raungku, dan Bang Farhan hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Aku Bang! Aku! Istrimu!" jerit ku pilu.
"Aku minta maaf, Da. Tapi aku benar-benar mencintainya," ucap Mas Farhan pelan, tapi terdengar bagai sambaran petir di telingaku.
Istri mana yang sanggup mendengar pengakuan, bahwa suaminya mencintai wanita lain?
"Apa kamu bilang, Bang? Kamu mencintai Freya? Lalu kau anggap aku ini apa, hah?" ucapku dengan nada tinggi.
"Aku juga mencintaimu, Da. Aku mencintai kalian berdua. Aku tidak akan menceraikanmu, meskipun aku menikahi Freya nantinya," ucap Bang Farhan tanpa merasa berdosa.
"Plak!" tamparan ku mendarat di wajah Bang Farhan yang tidak mulus itu.
"Kurang ajar kamu, Bang! Laki-laki serakah, kau pikir aku apa? Benda untuk dikoleksi?!" murkaku, seraya menjambak rambut ikal Mas Farhan.
"Sakit Da, lepaskan," rintih Mas Farhan, sambil memegangi tanganku, yang berada di atas kepalanya.Tapi aku yang sudah kadung emosi, justru memperkuat cengkeramanku.
"Kau pikirkanlah nasib anak-anak, Da. Jangan egois," ratapnya, masih dengan merintih.
"Kamu bilang aku egois? Pintar sekali kau memutar balikkan fakta, Bang. Kau yang selingkuh, kau bilang aku yang egois? Apa waktu kau meniduri Freya ingat anak-anaknu, hah?!" geram ku seraya menghujaninya, dengan pukulan.
"Ampun Da, ampun ..." rintihnya.
"Pergi kamu! Pergi!" jerit ku seperti orang kesetanan.
Sejak itu hubungan kami semakin memburuk, kami tak lagi bertegur sapa, meski tinggal satu rumah. Aku pun tak perduli lagi, dengan apa pun yang dilakukannya.
Hatiku terlanjur sakit, cinta dan pengorbanan tulus ku, dibalas penghianatan. Aku tak bisa lagi berfikir jernih untuk mengambil langkah selanjutnya. Meratap kini jadi hobi baruku.
Hingga hal yang tak kuinginkan pun terjadi.
"Da, aku minta maaf atas semua kesalahanku selama menjadi suamimu," lirih Bang Farhan.
Kupikir waktu itu, dia sudah menyadari segala kesalahannya, dan bermaksud memperbaiki hubungan kami. Selama ini aku diam, berharap dia berubah, tapi nyatanya?.
"Terimalah ini, Da." Mas Farhan menyerahkan, sebuah amplop coklat berlogo pengadilan agama.
Air mataku luruh seketika, demi mengetahui isinya. Surat merah.
"Sejak hari ini kau bukan istriku lagi, kita sudah resmi bercerai," ucap Bang Farhan, datar.
"Sekali lagi aku minta maaf," ucapnya sebelum pergi dengan membawa koper besar.
Jadi selama ini dia diam-diam menggugat cerai aku? Dan dia sengaja mengalamatkan panggilan sidangnya ke warung, terang saja aku tidak tahu. "Dasar licik!" Makiku dalam hati.
Benar-benar tidak punya hati, aku yang berjuang, aku yang ditedang. Dalam tangisku aku berdoa, semoga mereka mendapat karma.
Aku menjalani hari-hari setelah bercerai tanpa semangat, untung ada Firni dan ferina,. merekalah yang menjadi penguatku, penghibur gundahku.
"Sudahlah Bu, Bapak kan sudah kawin lagi, nggak usah dipikirin," ucap Firni, anak gadisku yang belum genap tiga belas tahun.
Kalau orang lain menutupi kebusukan ayah anaknya, berbeda dengan aku. Aku biarkan anak-anak tahu kelakuan bapaknya, agar bisa jadi pelajaran untuk mereka kelak.
Dan sekarang kami sedang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan, tiba-tiba dia datang mengibarkan bendera perang, meminta rumah ini untuk dijual.
Pasangan serakah itu tidak akan kubiarkan menari di atas penderitaan kami. Freya harus merasakan, bagaimana rasanya hidup serba kekurangan. Bukan hanya enak-enakan menikmati kesuksesan suami orang.
Bersambung ....
Jangan lupa review bintang lima, ya.
"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. "Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?
Pov Frida "Kalau sudah dingin langsung dibungkus aja, Mbak! Hati-hati ya, jangan sampai mesesnya berantakan," titahku pada kedua putrimu Firni dan Ferina, yang sedang membungkus donat orderan pelanggan. Beginilah kegiatan kami sehari-hari, membuat aneka kue dan cake, pesanan tetangga sekitar. Selain membuka toko, aku juga membuka usaha katering, walau kecil-kecilan. Kalau ada pesanan banyak, aku panggil tetangga sebelah untuk bantu-bantu. Kalau sedikit seperti sekarang, cukuplah kedua putriku yang membantu. Aku bersyukur, kedua anakku ini menurut, dan tak banyak menuntut. Mengerti kesulitan orang tua, mau membantuku mengerjakan semuanya, termasuk beres-beres rumah dan jualan. Tak mudah menjadi single parent, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Tapi Allah maha baik, aku dikaruniai dua putri sholehah. Meski awalnya kami mengalami kesulitan ekonomi, karena Bang Farhan tak ambil peduli dengan anak-anaknya, akhirnya kami bisa bangkit, meski pelan-pelan. Aku jual semua perhiasan
"Papaaaa!" Terdengar suara lengkingan Freya, entah habis kesambet apa dia? Siang bolong gini sudah ngamuk nggak jelas. "Apaan sih, Ma. Teriak-teriak kayak di tengah hutan, ngomong baik-baik kenapa? Malu didengar orang, tuh pembeli lagi ramai," ucapku lembut, berharap bisa menurunkan nada suara Freya, yang selalu meletup-letup seperti cabai digoreng. "Huh! Benci aku sama mantan istrimu itu! Lagaknya itu sombong banget, sok intelek, padahal miskin," ucap Freya emosi. "Mama dari sana tadi? Mau minta rumah itu? Dan gagal?" tanyaku beruntun. "Iya, kok Papa tahu? Jangan-jangan Papa menjalin komunikasi dengan Frida, di belakangku ya?" tanya Frida penuh selidik. Selalu begitu dia, hatinya penuh prasangka, cemburu, dan iri dengki. Entah mengapa dulu aku bisa tergila-gila padanya? Dia memang cantik, gadis tercantik yang pernah kutemui, tapi setelah tahu sifat aslinya, aku hanya bisa menyesal, seandainya aku kuat iman waktu itu. "Farhan? Farhan Habib, kan? Anak RT 09 dekat mushola?" sapa F
"Plak!" Flatshoes Freya mendarat sejenak di kepalaku, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. "Auw!" Aku yang terkejut hanya bisa mengelus kepalaku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mau marah? Itu hanya akan memicu pertengkaran. Lihatlah! Bukannya merasa bersalah, Freya malah memelototkan matanya kepadaku. "Istri durhaka!" makiku dalam hati. Iya dalam hati saja. Sekurang ajar apa pun Freya padaku, aku tak pernah bisa marah. Dia yang salah dia yang marah, aku hanya bisa menerima saja. Entah lah, punya ilmu apa dia, hingga membuatku tak berdaya"Mama, kenapa sih? Nggak sopan banget, pakai lempar sepatu ke kepala, Papa!" hardikku pelan, gak terima Freya berlaku seenaknya padaku. "Salah Papa sendiri! Pakai bilang mau kembali pada Frida segala! Coba berani ngomong sekali lagi? Aku lempar kepalamu pakai tabung gas," ketus Freya. Tuh, kan. Padahal aku ngomongnya pelan, tapi Freya justru ngegas. Gimana kalau mencak-mencak tak terima? Bisa langsung dimutilasi aku. Sadis amat ya?Freya tidak akan mera
Sejak menjadi istriku, Freya selalu mengaturku dalam segala hal, termasuk urusan warung. Padahal dulu kupikir dia lebih suka menerima duit, dari pada ikut pusing mikir jualan. "Mas, harga sotomu terlalu murah. Masak sepuluh ribu porsinya banyak gitu? Padahal Soto di Pak Gendut aja dua belas ribu, porsinya kecil," protes Freya. "Itulah kenapa warung soto kita ramai, Ma. Porsinya besar, yang makan langsung kenyang. Kalau Pak Gendut harganya segitu ya biarin aja, setiap penjual punya strateginya masing-masing. Mungkin memang rejekinya Pak Gendut, jualannya mahal tapi tetap laku. Sementara kita memang rejekinya seperti ini. Kalau kita naikan harga takut pembelinya pada lari. Setiap penjual punya pembelinya sendiri," ucapku berusaha bersikap bijak. "Tapi keuntungan kan kita jadi sedikit, kalau nggak menaikkan harga. Cobalah porsinya dikurangi, kalau tomau menaikkan harga. Emang kamu nggak pengen untung besar, apa?""Bukan begitu. Kalau porsinya dikurangi, nanti pembelinya pada lari baga
#Istri_Serakah 10Kepalaku berdenyut nyeri, mendengar penolakan dari Ibu. Wanita yang melahirkan aku tiga puluh lima tahun yang lalu itu, tidak terima waktu kuminta untuk mengurus Freya dan bayinya. "Kamu memang anak kurang ajar ya, Han! Masak orang tua sendiri kau jadikan babu, kau minta mengurus istrimu yang super manja itu," ketus Ibu. "Bukan begitu, Bu. Kalau pekerjaan lain sudah ada yang mengerjakan, hanya mengurus anak kami. Freya masih takut pegang bayi, Bu," sanggahku. "Gayanya kayak istri Sultan saja, si Freya itu. Padahal sudah beranak berkali-kali sok-sok an takut pegang bayi! Kayak yang baru melahirkan saja," ucap Ibu makin ketus. "Lagian, kenapa nggak kamu bayar orang saja untuk mengurus anak dan istrimu?" lanjut Ibu. "Duitku habis buat bayar biaya operasi, Bu," lirihku. "Ooh ... jadi kamu sudah bangkrut sekarang?" ejek Ibu. "Bukan bangkrut, Bu. Hanya saja akhir-akhir ini warung agak sepi," kilahku. "Itu namanya kamu kena azab, Han. Zolim sama anak istri, malah me
#Istri_Serakah 10Pov Frida. Ku bulatkan tekadku untuk menggugat pembagian harta bersama. Keenakan Bang Farhan, dia pergi dengan membawa semua harta kami, sedangkan aku dan anak-anak dibiarkan terlantar. Sebenarnya sudah aku tidak ingin berurusan dengan laki-laki tidak bertanggung jawab itu, bagiku lebih cepat move on, lebih baik.Tapi kedatangannya ke rumah dengan niat menjual tempat tinggalku itu, jelas membuatku meradang, tidak puaskah dia dengan semua yang dia kuasai? Ditambah lagi kedatangan istrinya yang seenak perutnya menghinaku, membuatku siap mengibarkan bendara perang?Tenang Bang Farhan, kali kau akan mendapatkan lawan yang sepadan. Jangan kau kira karena aku janda, jadi tak bisa berbuat apa-apa. Kau lupa, bapakku masih hidup, kakakku pun masih ada, aku bisa minta bantuan mereka untuk menumpasmu, tapi untuk sementara cukup hadapi aku dulu. Frida Fatmala kembang desa yang sudah menjanda. * * * * * * * *Potman Prancis and Partner's, kantor bantuan hukum. Itu yang tertu
Aku pulang dengan hati ambyar, ya ambyar. Hasil kerja kerasku dirampok anak buahku sendiri. Andai aku tidak terlalu percaya pada mereka, andai aku lebih bisa mengontrol mereka, andai Freya nggak manja dan mau aku tinggal, pasti semua ini tidak terjadi. Rutukku dalam hati. "Pa, bagi duit dong," anak laki-laki usia tujuh belas tahun itu menadahkan tangannya padaku, dia adalah Fatir, anak Freya dengan suami pertamanya. "Kan, kemarin sudah Papa kasih, kok minta lagi?" tanyaku gusar, baru juga parkir mobil di garasi, sudah ditodong pemuda tanggung itu. "Yang kemarin sudah habis buat beli bensin, Pa. Sekarang aku mau jajan," ucapnya santai. kukeluarkan uang dua puluh ribuan, dia tidak langsung menerimanya, melainkan memandang uang itu dengan tatapan merendahkan. "Dua puluh ribu dapat apa, Pa? Cilor?" ejeknya. . Tak ambil pusing dengan sikap anak tiriku, aku pun memasukan uangku kembali ke saku celanaku. Sombong bener dia, merendahkan uang dua puluh ribu, kayak yang sudah pinter nyari
Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa
Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per
Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da
Pov Freya. Aku terbangun di atas brangkar rumah sakit, tapi aku yakin ini bukan rumah sakit yang sama. Ruangan di sini lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Aku menoleh ke samping, ada beberapa pasien yang sedang terbaring. Rupanya aku dipindah ke bangsal, ruangan yang ditempati beberapa orang. Rupanya Julian tak ingin mengeluarkan banyak uang, untuk membayar perawatan ku. Padahal dia meraup banyak untung dari menjual tubuhku. Dasar laki-laki tak punya hati! rutukku dalam hati. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku mendapat perawatan. Daripada dibuang di jalan. Laki-laki itu kejamnya luar biasa, dia bisa melakukan tindakan diluar nalar. "Mama! Mama! Mama sudah bangun?" tangan mungil milik Fadil menggoyang tanganku. "Eh iya Nak," ucapku terharu. Melihat Fadil di sisiku. Kupikir Julian membuktikan ancamannya akan menjual Fadil. "Ibu tidurnya lama, nggak bangun-bangun. Aku di sini nggak ada temannya," ucap bocah lima tahun itu dengan polosnya. "Om Julian mana," tanyaku
Akhirnya aku terpaksa melayani nafsu be jat laki-laki bernama Rudi ini. Meski tua bangka ternyata dia tangguh juga, berkali-kali aku dibuatnya tak berdaya. "Terimakasih pelayanannya cantik, kamu memang hebat. Baru kali ini aku merasa puas, tak rugi aku membayar mahal pada Julian," ucap Rudi seraya mengenakan pakaiannya. "Sama-sama, mana tip yang kamu janjikan? Kamu bilang kalau aku bisa memuaskanmu," ucapku menagih janji. "Tentu saja aku tidak lupa, ini!" Rudi mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya, lalu meletakkannya di pangkuanku. Tangan yang mulai keriput itu membelai wajahku, bibir hitamnya mengecup bibirku. Aku hanya bergeming, jujur aku merasa jijik disentuh pria tua itu. Meski demi uang, aku tetap pilih-pilih pelanggan, tidak sembarangan seperti ini. "Kalau aku tidak takut istriku, sudah pasti aku akan membawamu pulang ke rumahku. Kamu benar-benar membuatku mabuk kepayang, tapi aku harus kerja. Besok aku akan datang lagi, tunggu ya?" ucap Rudi seraya
Pov Freya"Frey, itu laki-laki yang katanya pengen kenalan sama kamu," ucap Andrea. Dia menunjuk seorang laki-laki berpenampilan dandy yang sedang berjalan dari arah pintu. "Dia itu tajir melintir, pengusaha batu bara. Lagi cari istri katanya, kamu mau aja. Orang ganteng gitu, sayang kalau ditolak," ucap Andrea lagi. "Iya sih dia ganteng dan kaya, tapi apa dia mau sama aku? Sudah hampir kepala empat ini," sanggahku. "Ya nggak pa-pa, kan? Biar sudah berumur kamu masih terlihat cantik dan seksi, kok?" ucap Andrea menyemangatiku. "Aku cuma nggak PD aja, laki-laki tampan dan mapan kayak dia bisa cari perempuan model apa saja. Bahkan gadis perawan bisa dia dapatkan, sekarang itu yang penting kan uang. Masa iya dia mau sama aku, yang sudah mau expired ini? Tentu saja aku tidak percaya begitu saja omongan Andrea. Mau secantik apapun aku, tetap lebih lebih menarik gadis muda. Lebih sekel, lebih ranum. Mana aku sudah punya buntut lagi. Rasanya kok nggak masuk akal. "Dia sendiri yang mint
Pov Frida"Bapak seneng, Da. Kamu mengambil keputusan yang tepat. Tomi selain baik hatinya, baik juga perilakunya, sopan sama orang tua, perhatian sama anak-anak. Bapak tidak pandang harta, bagi Bapak asal dia setia dan bertanggung jawab padamu dan anak-anak, Bapak setuju. Lagi pula, menurut pengakuan Tomi, dia tidak kunjung menikah, karena mencari sosok wanita sepertimu, tapi tidak pernah ketemu," jelas Bapak usai acara lamaran konyol itu. "Bapak menerima Mas Tomi, karena disogok sama makanan tiap hari, ya?" tuduhku. "Idih! Murah banget? Emangnya Bapak cowok apaan?" sergah Bapak tidak terima. "Ha ... ha ... ha ..." Aku tak bisa menahan tawa mendengar jawaban Bapak. "Habisnya, Bapak kalau ngobrol sama Mas Tomi betah banget. Sampai aku ini nggak dianggep," selorohku. "Tomi itu teman ngobrol yang asik, kami mengenang kembali masa-masa di kampung. Rasanya menyenangkan punya menantu seperti dia. Bapak jadi tenang, bila nanti harus kembali ke kampung, Da. Nggak khawatir lagi, di sini k
Pov FarhanLima bulan berlalu, aku dan Freya sudah resmi bercerai. Sekarang aku tinggal di belakang warung sotoku. Freya memenuhi janjinya untuk menjadikan aku gembel. Sekarang aku hanya bisa menyesali semuanya, bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada wanita licik seperti, Freya? Wanita ular itu benar-benar telah memiskinkanku. Rumah dia kuasai, bahkan sepeda motor yang biasa aku pakai pun, dia akui juga. Karena semua kubeli sebelum kami menikah, dan semua atas nama dia, jadi aku tidak bisa menuntut apapun. Dalam hukum statusnya harta pribadi, bukan harta gono gini. Bodohnya aku, tak jadi menjual perhiasan Freya untuk membayar biaya rumah sakit, karena tidak mau repot. Tapi malah menggunakan uangku, yang ku kumpulkan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Freya, sebagai gantinya. Dan hasilnya, aku benar-benar tidak punya uang sepeserpun setelah dicampakkan, Freya. Untungnya, uang modal jualan soto, dipegang Sandro, karena dia yang biasa belanja untuk kebutuhan warung. B
Pov FridaAkhirnya Bapak memutuskan tinggal di rumahku, untuk sementara waktu. Menemani dan menjaga aku dan anak-anakku kata beliau. "Ini kota besar Da, Bapak nggak tega lihat kalian sendiri di rumah, nggak ada laki-laki. Meskipun Bapak sudah tua, paling tidak kalau ada sosok laki-laki, kamu tidak direndahkan oleh orang lain, kalau ada yang mau macem-macem, pasti akan mikir dulu. Bagaimana pun juga kamu itu janda, sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Istri Farhan itu, tidak akan berani melabrak ke sini, kalau tahu ada aku," tegas Bapak. Aku memang sudah cerita pada Bapak, tentang kelakuan Freya yang pernah melabrak ku, aku juga cerita tentang Bang Farhan yang sempat ingin menguasai seluruh hartaku. "Bapak tega ninggal sawah? Tega ninggal kebon? Nanti bilangnya kangen kampung?" sindirku."Semuanya sudah diurus masmu, Bapak di kampung juga dilarang kerja lagi sama dia. Bapak bosen, lebih baik di sini saja, kan Bapak bisa kalau hanya jaga toko, ngangkat-ngangkat barang begi