Happy Reading. Damara menghentikan penyerangan atas perintah dari Arron dan Lycus secara terpaksa. Setelah selesai, ia menatap ke arah Arron dan Lycus bergantian sembari menghembuskan nafasnya kasar. "Kita pulang sekarang?" tanya Arron sambil mengulurkan tangannya pada Damara. Yang disambut dengan sangat baik. Melingkarkan tangannya pada pinggang Damara, Arron membawa dia pergi. Diikuti Lycus di belakang mereka. Dalam perjalanan. Damara melihat kekacauan yang ia buat, cukup parah, cukup meninggalkan trauma bagi rakyat. "Belum sampai sehari, kota ini terlihat berantakan ck!" Arron dan Lycus yang mendengarnya hanya diam, tau sikap Damara tapi tidak mengetahui rencana yang ia buat. Sampai di kediaman. Arron menurunkan Damara perlahan-lahan, yang langsung disambut oleh para pelayan dan prajurit yang mengenal Damara. "Astaga, Nona apakah kau baik-baik saja? Kau tidak terluka kan?"Arron membiarkan Damara menghadapi kekhawatiran orang-orang. Yang tidak dimengerti oleh Damara. Saat
Happy Reading. "Ku kira kau tidak akan membawaku menemui Arron!" ungkap Damara, mengejek kesetiaan Lycus yang ternyata benar-benar ada dipihaknya. Gedung utama Helike, gedung putih layaknya istana. Jendela atas, yang mengarah langsung ke dalam ruangan yang terang. "Kalau begitu, Damara, sampai bertemu lagi."Setelah Lycus pamit, Damara mengerutkan keningnya menatap Lycus yang melesat menjauh darinya. Sebelum matanya tertuju pada dalam ruangan yang ternyata adalah altar pernikahan. DEG! Sontak bola mata Damara melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. "Arron!" Kagetnya. Yang perlahan-lahan berubah menjadi senyuman Smirk penuh niat jahat. "Ck!"***20 menit kemudian. Disisi lain, Area perbatasan. Lycus sedang mengawasi lokasi dengan santai, tidur di atas reruntuhan. Karena ia tahu kalau Faycon tak akan menyerang, disaat yang lainnya waspada. "Salam Tuan Lycus, Pimpinan memintamu untuk menjaga area kediaman belakang."Sontak mata Lycus terbuka, lalu di tataplah praj
Happy Reading. BOAM! "Akh!" Damara terpental cukup jauh saat sebuah penghalang tak kasat mata menghentikan langkahnya. Uhuk! Uhuk! Uhuk!Terbatuk-batuk. Damara meyadarkan pandangannya ke arah pintu keluar yang di jaga oleh aura pertanahan yang begitu kuat. "Lycus!"Dia sadar, kalau Lycus juga dilibatkan. Tetapi Damara juga yakin kalau Lycus tak mengetahui apapun. Tap! Tap! Tap! Belum sempat ia bangkit, sebuah tangan mengulur padanya. Damara mendonggakan kepalanya menatap Arron, dengan aura yang sepenuhnya berbeda. "Maaf, karena tak bisa membuatmu melihatku mencerita Damara!" ujar Arron, menatap Damara dengan sayang juga menyesal. DEG! Mata Damara terbuka dengan lebarnya. Terkejut. Sebelum bangkit, mengabaikan tangan Arron. Malah memelukknya dengan sangat erat. "Salahku karena tidak merencanakannya dengan matang!" sinis Damara dalam pelukan Arron. Terkejut. Arron akhirnya tersenyum, sebelum membalas pelukan Damara tak kalah eratnya—tanpa sadar, matanya menajam. Puas karena
Happy Reading. Keesokan harinya. Saat Arron membuka matanya, Damara sedang melihatnya dengan senyuman full terukir dari kedua sudut bibirnya. "Selamat pagi," ucap Damara. Tiba-tiba saja, Arron menarik tangan Damara. Cup! "Selamat pagi juga istriku!" goda Arron—ketika Damara buru-buru keluar dari atas tempat tidur, tak memperdulikan tubuhnya yang polos. Berjalan ke arah kamar mandi, untuk membersihkan diri. ***Kembali ke kediaman Arron, yang resmi di kosongkan agar Damara bisa bebas melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk, mengurus portal para Faycon. Dan saat seperti ini, Lycus tiba-tiba saja menghilang. Arron semakin posesif, dan ayah Arron terus-terusan meminta untuk bertemu dengan Damara. Rakyat juga penasaran, begitu juga dengan orang Tua Damara. Tetapi amcaman Arron untuk membunuh siapapun yang masuk ke kediamannya, cukup membuat mereka mundur. Di Taman, Damara sedang berkebun. "Damara!" Panggil Arron. Dengan ketus Damara menjawab, "apa maumu?" tanya Damara tak me
Happy Reading. Cup! Kecupan singkat yang diberikan Arron untuk Damara mengakhiri kemarahannya sendiri. Sedangkan Damara lebih banyak diam, dilrma pada dirinya sendiri—bingung dengan isi pikiran yang terus mempertanyakan posisi Arron dalam hidupnya. ***Esok harinya, Arron tak datang menemuinya dengan alasan pekerjaan. Dan membuat Lycus sebagai prajurit pelindung bagi Damara. Dia baik-baik saja, tetapi esok harinya. Dan esok harinya lagi. Arron bahkan tak bisa ia temui. Jelas, hal itu membuatnya kesal setengah mati. "Apakah Arron marah padaku?" Pertanyaan Damara justru dibalas senyuman tak tulus dari Lycus. "Memangnya siapa yang tidak marah saat kau mengatakan akan membunuh keluarga dan kehidupannya secara terang-terangan?" tanya balik Lycus, terkesan menyindir. Dia kesal. "Aku mencoba untuk jujur padanya.""Kau hanya takut.""Aku tak pernah takut! Camkan itu!" tegas Damara dengan alis yang saling bertautan tanda kalau ia sedang marah saat ini. Lycus tersenyum mengejek. "Kenap
Happy Reading. BOAM!!! Suara ledakan kembali terdengar, itu membuat Arron tak senang. Sebab ia ingin menghabiskan malam bersama dengan Damara. "Damara," Arron menatap lembut netra mata Damara. Sebelum mengelus wajah gadisnya itu lembut. "Aku merasakan aura Faycon di luar sana!"Dia tersenyum. "Faycon adalah makhluk pencemburu, mereka keluar tanpa titah karena merasa pimpinannya akan menjauh dari mereka."Arron terkejut. Ia senang. "Lalu bagaimana kau menangani mereka?""Aku membunuh mereka, tetapi wajahku harus tertutup topeng agar mereka bisa lenyap seutuhnya."Arron bangkit dari posisinya. Lalu ia mengulurkan tangannya pada Damara—bersiap-siap untuk melawan kecemburuan para Faycon. Tepat di saat Lycus datang. "Pakailah!" Damara melempar kain pada Lycus yang sedang menatapnya bingung. "Nona, bisakah saya tahu ini untuk apa?" ia menjeda, menatap kedua pasangan itu curiga. "Jangan bilang, kalian akan melarikan diri."Bukh! Damara melayangkan bantal pada Lycus. Yang seketika membu
Happy Reading. Esok harinya. Saat sarapan pagi, Damara dan Arron terlihat sangat akur dan romantis—seperti tidak ada batas bagi keduanya. Saling menyuapi, bahkan Damara tak boleh duduk ditempat lain selain di pakuan Arron. Dan itu membuat Lycus terkejut. "Apa yang terjadi kemarin malam? Ku kira kalian berdua akan saling adu senjata?" tanya Lycus penasaran. Arron mengabaikan. Sedang Damara terlihat tersenyum singkat, sebelum menjawab. "Oh, harusnya begitu. Tapi pria dibelakangku ini selalu punya cara untuk menang.""Bukankah kau ingin melarikan diri dari kota ini hmmm?" Ucapan Arron membuat Lycus kembali terkejut, ditataplah Damara dengan tatapan mengintimidasi. Sedang Damara hanya tersenyum acuh, menyenggol Arron dengan sikunya. "Nona…saya sudah berjanji, jika Anda pergi saya juga pergi!" Lycus berkata dengan nada tak suka. Arron tersenyum sinis. "Kenapa kau melakukan sumpah pada seorang Faycon?""Karena memiliki mimpi seperti itu sejak saya masih kecil""Bodoh.""Saya tahu."
Happy Reading. Esok harinya. Saat matahari terbit terlalu tinggi, udara disekitar menjadi sangat panas. Tetapi Damara harus menggunakan gaun panjang, dengan full make up untuk menghadiri pesta perjamuan yang sempat tertunda. "Panas," keluhnya pada pukul 12 siang. "Aku ingin berenang!" Liriknya pada Arron yang ada di sebelahnya. Berharap agar Arron membawanya ke pantai Delmare daripada ke pesta sialan itu. "Nanti ya.""Ayolah Arron," regek Damara menarik tangan Arron agar tak masuk ke dalam kereta kuda. "Ke pantai ya."Dengan lembut, Arron menggelengkan kepalanya. "Tidak boleh. Kita ke pesta, baru ke pantai."Panasnya sekarang. Bukan sebentar atau esok! "Tapi…""Hanya sebentar. Kalau bisa, tahanlah emosimu disana! Cobalah untuk tenang dan jadilah istri yang lemah lembut."Lemah lembut tak ada dalam kamusnya—bagaimana bisa Arron memintanya disaat pikiran Damara dipenuhi dengan rencana menghancurkan, pembunuhan dan pemberontakan. Ehem. "Damara!" panggil Arron memperingatkan Wanita ja
Happy Reading.Bahagia. Itu hanya sementara saja, karena setelahnya Damara mendapatkan kado yang begitu spesial. Sampai ia tak bisa berkata apa-apa lagi saat menyaksikan senyuman dan harapan semua orang, yang ingin melihat ia bahagia.***Beberapa hari setelah hari ulang tahun Eos, Damara terlihat bahagia menghabiskan waktunya untuk bercanda dengan orang-orang di sekitarnya.Tidak menghindar, atau menatapnya dengan tatapan rendah, apalagi bersembunyi di balik pintu karena takut padanya."Hei Eos, kau menyimpan hadiahku kan?""Ya." Damara tersenyum senang. "Aku menyimpannya pada ibuku."Damara terkejut. "Ibumu?" Eos menganggukan kepalanya sebagai jawaban, menolehkan kepalanya ke arah ibunya. Emerald. Damara menghembuskan nafasnya kasar. sebelum tersenyum menepuk puncak kepala Eos dengan sayang. "Bermainlah!""Em."Lalu Damara pergi begitu saja, mendekat ke arah Emerald. "Belum cukup kau membuat anak dengan pria lain, kau juga memberikan namaku pada anak itu. Setelahnya merebut hadiah
Happy Reading."Damara?""Damara." Hah. Panggilan itu langsung menyadarkan Damara dari lamunannya. "Ada apa? Hm?" tanya Arron, ia kini merangkul pinggang ramping Damara yang sedang berdiri menangkupkan satu tangannya pada wajahnya menyandar pada peyangga di lantai dua. Yang menghadap langsung ke lantai dansa, di lantai satu.Sedang ada pesta."Kau terlihat resah?"Damara tersenyum pada Arron. Karena meski ia berhasil mendapatkan kepercayaan semua orang dan menyingkirkan ketakutan akan Faycon yang membahayakan, tapi bukan berarti itu menyelesaikan masalahnya."Arron," Damara ragu untuk mengatakannya. "Ada apa?""Tidak apa-apa."Pria itu tak memaksa, karena ia tahu kalau sejak saat Damara pingsan kondisi tubuhnya memburuk dan darah selalu menghiasi tempat tidur Damara. "Haruskah aku datang ke kamarmu malam ini Damara?""Tidak usah, aku … baik-baik saja."Arron mendengus, sebelum memeluk erat Damara. "Sebagai gantinya, jangan tolak aku saat kita menikah nanti."Lalu Damara menarik dir
Happy Reading.Apakah akan baik-baik saja? Bagaimana jika semua yang dipikirkan diawal tidak terjadi, dia tidak diterima justru dimusuhi? Apakah semuanya akan berakhir seperti sebelumnya."Damara," Arron kini menggenggam tangan Damara, menatap wanita dengan tatapan penuh percaya diri. "Semua akan baik-baik saja?"Tapi tentu saja Damara semakin cemas. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan diriku. Meski punya kamu, bayangan akan masa selalu ada. Aku adalah Faycon bagaimanapun bentukku Arron, dan dendam akan selalu ada dalam benakku—""Kecemasanmu sangat tidak berarti sekarang." timpal Lycus. "Lihatlah kami akan selalu berada di depanmu untuk menghalangi semua niatmu!"Sontak mata Damara langsung tertuju pada mereka semua, entah mengerti pada takdir atau sengaja dibuat mengerti padahal tidak tahu apa-apa tentang waktu yang sedang berjalan sekarang."Haruskah aku menciummu agar kau tenang?" Goda Arron. Kini wajahnya dan Damara ada dalam jarak yang cukup dekat.Malu. Tentu saja
Happy Reading."Karena aku, butuh obatku!" jawab Arron. Kemudian tersenyum melihat wajah cantik Damara, yang masih sama seperti pertama kali mereka bertemu.***Lama mengobrol, akhirnya mereka sampai di sebuah hutan belantara dengan bendera yang sudah usang."Tempat apa ini?" tanya Damara. Alisnya terus saja menyatu saat pandangannya mencoba menganalis sekitarnya.Bekas kurumput yang injak, sayatan pedang di pohon dan aroma amis darah yang telah menghitam, mengering di beberapa tempat.Damara menetralkan aura Fayconnya setelah berhasil mendapatkan jawaban dari kebingungannya barusan."Jadi, ada area seperti ini di tempat ini?""Ya. Kami membangunnya agar para kesatria dan para pemuda kota ini terlatih untuk menghadapi masalah yang besar, jauh dari perkiraan mereka sebelumnya." jelas Arron.Damara mengangguk-anggukan kepalanya sebagai respon. Lalu kemudian ia tersenyum seperti smile yang lumayan mengerikan jika di lihat terlalu lama."Lalu, apa maksudmu membawaku ke tempat ini? Boleh a
Happy Reading.Dia—Damara, kini di terima sebagai bagian dari anggota prajurit pertahanan dan namanya mulai semakin besar di kalangan masyarakat.Namun ada juga yang menatap Damara dengan tatapan tak suka, sebab ia mewarisi kekuatan Faycon yang harusnya sudah musnah.Seorang pria berkumis mendekat. "Entah keberuntungan atau anugrah, kami akan selalu mengawasiku." Teguran yang cukup berarti. Tapi Damara tak peduli akan apa yang mereka bicarakan sekarang tentangnya, karena yang ia tahu bahwa yang membelanya jauh lebih banyak dari yang membencinya.Sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. "Mikael?" Damara tersenyum pada pria yang sudah banyak berubah itu, dengan pakaian zirah dia tampak luar biasa sekarang."Haruskah ku potong lidahnya itu?"Deg! Damara membulatkan matanya singkat, sebelum memukul pelan Mikael. Tertawa singkat sebelum Damara menarik pedangnya. "Ide bagus." ucap Damara.Namun Lycus dan Draxan muncul disamping dua orang itu dan menghentikan mereka berdua. "Ekhem, jangan mac
Happy Reading."Kenapa?"Satu pertanyaan itu membuat Damara menarik tangannya dari tangan Arron, kini ia benar-benar malu. Karena arwahnya baru saja kembali ke dalam tubuhnya, yang otomatis sadar sepenuhnya."Kau?""Damara?"Kemudian menoleh ke arah sudut lainnya. "Kalian!" bingungnya saat melihat ruangan yang harusnya kosong, kini di penuhi oleh wajah-wajah yang begitu ia benci dan hindari selama beberapa saat yang lalu.Lalu pandangannya kini tertuju pada ornamen dinding dan papan tulis yang identik dengan karakter mereka masing-masing. "Ini … maaf masuk tanpa izin, saya permisi." Pamitnya.Namun sesaat sebelum ia melangkah pergi, Arrin tentu saja menghentikan Damara. Ia malah mengandeng tangan Damara dan membawanya ke kursi yang menghadap meja yang penuh dengan makanan juga es yang sudah mencair."Makan!" Titahnya. Sementara Damara hanya duduk memandang mereka dengan tatapan aneh.Hah. Lagi-lagi ditatap dengan tatapan yang sama. "Sampai kapan kalian akan menatapku dengan tatapan se
Happy Reading.Di ruangan Arron, Damara menatap tajam pria itu. "Kau pikir aku seekor anjing?" tanyanya marah pada Arron, sebab ia menarik tubuh Damara dengan kekuatan aura yang terlihat seperti sedang menjerat seseorang. "Hei, kenapa diam saja?""Damara, kau tidak mematuhiku." Damara mengerutkan keningnya. Lalu tersenyum sinis pada pria itu. "Mematuhi, sejak kapan perintahmu menjadi mutlak bagiku? Aku bukan wargamu, karena dari segi apapun aku berbeda. Tidaka kan pernah sama denganmu, jadi berhentilah mengekang seolah aku adalah milikmu.""Kau memang milikku sekarang."Deg! Damafa terpaku di tempatnya, pikiran dan perasaannya tiba-tiba saja menjadi aneh.Arron kini menatap Damara dalam-dalam. "Aku tidak suka kau bersama dengan orang lain selain aku?""Kau gila?""Ya.""Arron!" "Apa?" tanya Arron dengan suara lembut, tetapi mengapa tatapannya begitu tajam. Ia menatap Damara seperti melihat mangsa yang telah di lepaskan tapi malah mengigitnya diam-diam—perlahan Arron mendekati Damara
Happy Reading."Saat bersama dengan As, aku tidak menyaka kalau akan merasa berbeda. Seolah menjadi orang lain. Apa mungkin, hanya dia saja yang melihatku dengan tatapan penuh waspada dan menerima segala kekuranganku?" pikir Damara membatin.Jika kalian berkata kalau ini adalah cinta, maka jawabannya adalah tidak. Ini bukanlah cinta.***Dan itu adalah masalahnya. "Aku perhatikan, kau tidak betah di dalam istana? Ada apa?" tanya Arron, sibuk membalikan lembaran demi lembaran kertas di tangannya dengan teliti.Sementara Damara hanya menghembuskan nafasnya kasar. "Sejak kapan menjadi urusanmu?""Kau disini karena aku yang memintanya, jadi kau juga tanggung jawabku.""Aku tidak akan mati semudah itu!""Yang ku lihat tidak begitu."Damara tersenyum sinis. "Aha, apa sekarang Anda sangat cemas denganku? Mengingat aku hampir saja mati di tanganmu. Jangan pikir aku tidak mengingatnya, setiap mata yang menatapku seperti musuh. Naif sekali kalau kau sekarang mengkhawatirkanku!" terang Damara ta
Happy Reading.Melihat Arron dan kemungkinan Damara tidak bisa keluar dari tempat ini, Damara tersenyum sebelum menundukan kepalanya singkat pada Arron.Dan di setiap langkahnya, pegang muncul dari tangan Arron. Pedang yang membinasakan dengan aura, mungkin ini saatnya baginya untuk pergi ke neraka.Darah Mycana memang luar biasa ya. Namun di tengah ketegangan yang terjadi, seorang pria menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh dengan sihir.Deg! Emerald membelalakan matanya saat melihat suaminya muncul di tempat ini, dan terlihat tergesa-gesa."Jangan bunuh, tuan saya mohon!"Dia mengeluarkan sesuatu dalam tasnya, obat yang taruh dalam botol kecil dalam jumlah yang cukup banyak. "Nona saya berhasil." ujarnya dengan senyuman penuh ketakutan.Yap. Damara sudah merencanakan saat ini, dan untungnya pria menyebalkan yang ingin sekali ia bunuh itu datang tepat pada waktunya."Saya juga membawa surat cerai, jadi saya mohon. Lepas segel sihirnya, ya."Lycus kembali sebotol, lalu ia