Sudah menjadi kebiasaan Alenta, setiap pagi setelah menyiapkan sarapan dia akan menumbuk daun tumbuhan herbal hingga halus. Siangnya setelah Lien pergi ke toko obat herbal nya, Alenta menyibukkan diri untuk membersihkan pelataran rumah yang mulau di tumbuhi rumput kecil baru tumbuh. “Wah, buah juga sudah banyak yang berjatuhan,” gumam Alenta menyayangkan sekali. Padahal, harga buah kalau di kota cukup mahal, tapi di pedesaan justru terbuang begitu saja. Alenta memutuskan untuk mengambil buah-buah yang masih segar, niatnya ingin dia buat pie, dan juga selai. “Ck! kenapa tinggi sekali, sih?!” gerutu Alenta karena tak sampai. Tidak mungkin juga dia melompat, bahaya untuk bayinya. “Hai, Alenta? Perlu bantuan?” Sapa Benjamin, entah sejak kapan juga dia memperhatikan Alenta. Benjamin dengan segera berjalan mendekati Alenta, membuat Alenta semakin bingung. Bukankah jarak rumahnya dengan rumah Bibi Lien cukup jauh meskipun memang benar mereka bertetangga. Yah, maklum saja lahan milik Bib
Julia berjalan dengan lenggok yang menggoda, dia bahkan sengaja tidak mengenakan pakaian dalamnya. Mungkin, dia pikir akan lebih cepat dan tidak membuang-buang waktu. “Untuk apa kau datang ke sini lagi?” tanya Edward yang terlihat acuh. “Pakaian yang kau gunakan itu, apa kau sedang mencoba untuk menggodaku?” Edward masih enggan menatap Julia terlalu lama. Julia tersenyum, dia melakukan semua itu juga dengan perhitungan yang matang. Rumah tangganya yang coba ingin dia pertahankan akhirnya membuat Julia kembali melakukan sesuatu yang mungkin terbilang agak memalukan. Tapi, Edward adalah suaminya jadi itu hal yang wajar untuk mereka.Julia malai naik ke atas tempat tidur, dia mencoba untuk menaiki tubuh Edward dengan gerakan yang manja, dan menggoda. Namun, Edward bergegas bangkit sehingga membuat Julia tak bisa melanjutkan apa yang ingin dia lakukan. Edward menatap Julia yang bersimpuh di atas tempat tidur, tidak jauh darinya. “Apa kau pikir aku
Alenta meringis kesakitan saat kontraksi yang dia rasakan semakin menjadi-jadi. Awalnya, Alenta masih bisa bersikap santai seolah tidak masalah menahan sakit itu, tapi begitu kontraksi mulai mendekati pembukaan empat, Alenta menjerit kesakitan tak tahan lagi. “Ugh! Arrgh......”Suara Alenta memekik kesakitan terdengar jelas, membuat siapapun yang mendengar tahu kalau rasa sakit itu pastilah sangat luar biasa. Sudah tiga jam, Alenta masih harus berjuang lebih keras lagi untuk menahan sakit. Lien yang berada di sana mencoba untuk menguatkan, berharap benar Alenta bisa terus bersabar karena masih membutuhkan waktu untuk bisa sampai pembukaan kesepuluh.“Bersabarlah Alenta, Bibi tahu ini sangat menyakitkan. Tapi, cobalah fokus saja dengan keselamatan bayi yang akan kau lahirkan. Kau pasti tidak akan memikirkan dirimu sendiri, maka itu cobalah saja fokus dengan bayimu,” ucap Lien pelan berbisik kepada Alenta. Benjamin menunggu di
Edward menutup laptopnya, ada rasa berdenyut pada dada dan perutnya yang seolah terjadi secara bersamaan. Edward pikir, itu adalah gejala karena beberapa bulan terakhir dia benar-benar tidak makan dengan baik, dan terus mengkonsumsi alkohol untuk bisa menenangkan diri dan secara melupakan tentang kepedihannya karena belum menemukan Alenta. “Akh!” Pekik Edward saat rasa sakit itu menjalar bahkan sampai ke kepala. Edward bangkit dari duduknya sembari menahan sakit, tapi usahanya untuk bangkit itu membuat keringat dingin mulai bermunculan di sekujur tubuhnya. Entah mengapa, tubuhnya juga gemetar cukup hebat membuat Edward sendiri kebingungan harus melakukan apa. Bruk!Pada akhirnya, Edward ambruk begitu saja tak sadarkan diri. Edward kembali membuka matanya, dahinya mengernyit karena pusing yang dia rasakan masih ada. Namun, dia sudah tidak lagi berada di ruang kerjanya dan sudah berada di rumah sakit. Entah siapa yang membawan
“Levine Tyron Wels,” ucap Alenta, dia masih betah memandangi wajah putranya dengan perasaan bahagia. Lien dan Benjamin tersenyum lebar, mereka juga merasakan kebahagiaan yang sama apalagi setelah mendengar nama yang diberikan Alenta kepada putranya benar-benar sangat bagus. “Jadi, kita panggil dia siapa?” tanya Benjamin merasa begitu penasaran. Alenta kembali menatap putranya sembari terus mengusap Ibu putranya itu menggunakan jari telunjuknya. “Mari panggil dia dengan sebutan, Ron!”Benjamin kembali tersenyum, dia mengusap kepala Ron dengan lembut. “Hai, Ron?” Sapanya lembut. “Perkenalkan, aku adalah paman Benjamin! Tapi, kalau kau mau panggil Ayah Benjamin juga boleh, kok...” ujarnya, lalu terkekeh. Alenta berdecih, tak bersungguh-sungguh dia merasa tersinggung apalagi marah. Lien hanya bisa tersenyum menyaksikan semua itu. Tidak masalah apa yang akan terjadi kedepannya, hanya saja dia ingin Alenta dan bayinya yang bernama
“Ahhhh” Lenguh Julia menikmati benar penyatuannya bersama dengan seorang pria. Matanya terpejam erat, tak ingin membiarkan cahaya mempengaruhi keadaannya saat ini. Rasa tidak tahan mendera pikirannya, terasa seperti akan kehilangan kendali jika dia membuka mata. Bibir bawahnya digigit dengan penuh nafsu, tak ingin dilepaskan, karena begitu kuatnya rasa yang muncul dari dalam hatinya. Keringat dingin mengucur dari setiap pori-pori kulitnya, membentuk rintik-rintik yang membasahi tubuhnya. Dia merasa ingin segera lepas dari situasi yang tengah mengejarnya, namun tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas baginya. Sementara itu, matanya sebentar terbuka dan kembali memejam erat, berusaha menahan perasaan yang menguasai seluruh dirinya; rasa nikmat yang begitu hebat. Dalam hatinya, dia berharap rasa euforia itu tak segera berakhir, seolah ingin ia terus-menerus dibuai oleh kenikmatan yang telah berhasil menghanyutkan dirinya. Namun, sejauh mana ia bisa ber
“Pastikan lagi, aku tidak ingin ada kesalahan! Beberapa bulan lalu kau juga mengatakan pernah melihat Alenta, ternyata cuma gadis yang mirip Alenta saja!” Kesal Edward, berbicara melalui sambungan telepon dengan detektif bayarannya. Selama Alenta menghilang, sudah 14 detektif yang dia gunakan secara bergantian karena dia menganggap detektif itu tidak bisa bekerja secara totalitas hingga menemukan Alenta saja sangat sulit untuk dilakukan. Langsung mengakhiri sambungan telepon begitu saja, dia benar-benar tidak ingin terus diberikan harapan, karena yang dia inginkan hanyalah Alenta saja. Edward berniat bangkit dari duduknya, dia ingin coba keluar dari kantor sebentar karena rasanya dia benar-benar sesak dan pusing. Baru saja, tangannya menyentuh handle pintu, pelayan rumah yang diminta untuk menjaga Elea menghubungi Edward. “Ada apa?” tanya Edward begitu sambungan telepon di antara mereka terhubung. Deg!Edward terdiam membeku
Edward tertunduk lesu begitu dokter membacakan hasil pemeriksaan Elea. Benar, dugaan dokter tentang Leukimia benar-benar sedang bersarang di tubuh balita yang umurnya saja belum genap 3 tahun. Julia juga merasakan kesedihan yang sama, dia menyesali apa yang sudah dia lakukan terhadap putrinya. Andai saja dia akan lebih memperhatikan putrinya, andai saja dia tidak sibuk memikirkan dirinya sendiri, tentu saja putrinya tidak bagus mengidap penyakit yang sangat mematikan seperti itu. “Dok, kemoterapi jelas akan menyakiti putriku, bukan? Apakah ada jalan lain selain kemoterapi?” tanya Edward penuh harap.Tentu saja melihat putrinya menderita karena kemoterapi sungguh dia masih belum siap. Julia juga mengharapkan yang sama, namun karena perasaan sedih dan menyesal membuatnya tak bisa berkata-kata. “Jelas cara itu diperlukan juga, Tuan. Tapi, akan lebih efektif jika menggunakan transplantasi sumsum tulang belakang,” ujar dokter tersebut.
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y