Edward menutup laptopnya, ada rasa berdenyut pada dada dan perutnya yang seolah terjadi secara bersamaan. Edward pikir, itu adalah gejala karena beberapa bulan terakhir dia benar-benar tidak makan dengan baik, dan terus mengkonsumsi alkohol untuk bisa menenangkan diri dan secara melupakan tentang kepedihannya karena belum menemukan Alenta.
“Akh!” Pekik Edward saat rasa sakit itu menjalar bahkan sampai ke kepala.Edward bangkit dari duduknya sembari menahan sakit, tapi usahanya untuk bangkit itu membuat keringat dingin mulai bermunculan di sekujur tubuhnya. Entah mengapa, tubuhnya juga gemetar cukup hebat membuat Edward sendiri kebingungan harus melakukan apa.Bruk!Pada akhirnya, Edward ambruk begitu saja tak sadarkan diri.Edward kembali membuka matanya, dahinya mengernyit karena pusing yang dia rasakan masih ada. Namun, dia sudah tidak lagi berada di ruang kerjanya dan sudah berada di rumah sakit.Entah siapa yang membawan“Levine Tyron Wels,” ucap Alenta, dia masih betah memandangi wajah putranya dengan perasaan bahagia. Lien dan Benjamin tersenyum lebar, mereka juga merasakan kebahagiaan yang sama apalagi setelah mendengar nama yang diberikan Alenta kepada putranya benar-benar sangat bagus. “Jadi, kita panggil dia siapa?” tanya Benjamin merasa begitu penasaran. Alenta kembali menatap putranya sembari terus mengusap Ibu putranya itu menggunakan jari telunjuknya. “Mari panggil dia dengan sebutan, Ron!”Benjamin kembali tersenyum, dia mengusap kepala Ron dengan lembut. “Hai, Ron?” Sapanya lembut. “Perkenalkan, aku adalah paman Benjamin! Tapi, kalau kau mau panggil Ayah Benjamin juga boleh, kok...” ujarnya, lalu terkekeh. Alenta berdecih, tak bersungguh-sungguh dia merasa tersinggung apalagi marah. Lien hanya bisa tersenyum menyaksikan semua itu. Tidak masalah apa yang akan terjadi kedepannya, hanya saja dia ingin Alenta dan bayinya yang bernama
“Ahhhh” Lenguh Julia menikmati benar penyatuannya bersama dengan seorang pria. Matanya terpejam erat, tak ingin membiarkan cahaya mempengaruhi keadaannya saat ini. Rasa tidak tahan mendera pikirannya, terasa seperti akan kehilangan kendali jika dia membuka mata. Bibir bawahnya digigit dengan penuh nafsu, tak ingin dilepaskan, karena begitu kuatnya rasa yang muncul dari dalam hatinya. Keringat dingin mengucur dari setiap pori-pori kulitnya, membentuk rintik-rintik yang membasahi tubuhnya. Dia merasa ingin segera lepas dari situasi yang tengah mengejarnya, namun tidak ada jalan keluar yang terlihat jelas baginya. Sementara itu, matanya sebentar terbuka dan kembali memejam erat, berusaha menahan perasaan yang menguasai seluruh dirinya; rasa nikmat yang begitu hebat. Dalam hatinya, dia berharap rasa euforia itu tak segera berakhir, seolah ingin ia terus-menerus dibuai oleh kenikmatan yang telah berhasil menghanyutkan dirinya. Namun, sejauh mana ia bisa ber
“Pastikan lagi, aku tidak ingin ada kesalahan! Beberapa bulan lalu kau juga mengatakan pernah melihat Alenta, ternyata cuma gadis yang mirip Alenta saja!” Kesal Edward, berbicara melalui sambungan telepon dengan detektif bayarannya. Selama Alenta menghilang, sudah 14 detektif yang dia gunakan secara bergantian karena dia menganggap detektif itu tidak bisa bekerja secara totalitas hingga menemukan Alenta saja sangat sulit untuk dilakukan. Langsung mengakhiri sambungan telepon begitu saja, dia benar-benar tidak ingin terus diberikan harapan, karena yang dia inginkan hanyalah Alenta saja. Edward berniat bangkit dari duduknya, dia ingin coba keluar dari kantor sebentar karena rasanya dia benar-benar sesak dan pusing. Baru saja, tangannya menyentuh handle pintu, pelayan rumah yang diminta untuk menjaga Elea menghubungi Edward. “Ada apa?” tanya Edward begitu sambungan telepon di antara mereka terhubung. Deg!Edward terdiam membeku
Edward tertunduk lesu begitu dokter membacakan hasil pemeriksaan Elea. Benar, dugaan dokter tentang Leukimia benar-benar sedang bersarang di tubuh balita yang umurnya saja belum genap 3 tahun. Julia juga merasakan kesedihan yang sama, dia menyesali apa yang sudah dia lakukan terhadap putrinya. Andai saja dia akan lebih memperhatikan putrinya, andai saja dia tidak sibuk memikirkan dirinya sendiri, tentu saja putrinya tidak bagus mengidap penyakit yang sangat mematikan seperti itu. “Dok, kemoterapi jelas akan menyakiti putriku, bukan? Apakah ada jalan lain selain kemoterapi?” tanya Edward penuh harap.Tentu saja melihat putrinya menderita karena kemoterapi sungguh dia masih belum siap. Julia juga mengharapkan yang sama, namun karena perasaan sedih dan menyesal membuatnya tak bisa berkata-kata. “Jelas cara itu diperlukan juga, Tuan. Tapi, akan lebih efektif jika menggunakan transplantasi sumsum tulang belakang,” ujar dokter tersebut.
Julia hanya bisa menangis menatap Elea yang berbaring lemah di atas tempat tidur. Dia bingung dengan semua yang terjadi, sampai-sampai dia tidak tahu harus melakukan apa. Melihat Elea hatinya hancur, dia menyesali apa yang sudah terjadi. Meski dia bukan ibu yang baik, tetap saja kehilangan anak adalah hal yang sangat menakutkan. Kembali mengingat masa saat mengandung Elea, hati seorang Ibu seperti tersayat perih. “Bagaimana Ibu harus mengambil sikap, Elea? Haruskah Ibu benar-benar mempercayai ini?” tanya Julia frustasi. Bangkit dari posisinya saat itu, dia berjalan mendekati brankar rumah sakit di mana Elea berada. Ditatapnya lekat wajah Elea yang nampak begitu polos dan melas. “Maafkan Ibu, sayang...” ucapnya lirih. “Ibu pergi dulu sebentar, Ibu harus menemui seseorang yang bisa memberikan sumsum tulangnya untukmu,” ucapnya pilu. Begitu Julia ingin keluar dari ruangan, berbarengan dengan Herin baru saja tiba sehingga menjadi angin segar untu
“Ron, ini sudah malam jadi harus tidur, ya?” bujuk Alenta saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam. Benjamin hanya bisa merengut sedih, bagaimanapun dia ingin bermain bersama Ron lebih lama. Tapi, tidak boleh juga menganggu jam tidurnya Ron. Alenta tersenyum geli melihat tingkah Ron yang seperti anak-anak. “Bye bye, paman...” ucap Ron dengan gaya bicara balita yang masih cadel dan sulit bicara. “Bye, mimpi yang indah ya, Ron?” Benjamin melambaikan tangannya saat Ron melakukan yang sama. Benjamin menghela nafas saat Ron dan Alenta sudah masuk ke dalam kamar dan tidak terlihat lagi. “Tidak terasa, Ron sudah satu tahun lebih saja. Waktu memang benar cepat berlalu,” ujar Benjamin. Lien yang ada di sana juga hanya bisa terkekeh mendengar Benjamin bergumam. Sebenarnya, dia sendiri merasakan yang sama. Dia yang setelah kehilangan anak dan juga suaminya selalu saja berpikir akan menghabiskan waktu seorang diri, dan
Edward kembali ke rumah sakit setelah beberapa hari terakhir dia menghilang untuk menenangkan diri. Hatinya masih sakit, dia kesal, dan menyalahkan Julia untuk semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Hanya saja, sekarang Edward mulai menyadari bahwa, Elea bukanlah pihak yang bersalah. Elea tidak minta untuk dilahirkan, dia tidak minta untuk berpura-pura menjadi anaknya Edward selama ini. Walaupun benar rasanya sesak, tapi ini adalah kehidupan yang nyatanya selalu penuh dengan kejutan. “Ayah....” panggil Elea lirih saat Edward masuk ke dalam ruangan. Semua orang menoleh, termasuk Julia. Edward mencoba untuk tersenyum sebaik mungkin, tidak ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar sedang kacau saat ini. “Hei, sayang?” sahut Edward, bergegas menjalankan kakinya untuk mendekat kepada Elea. Sudah mengulurkan tangan kepadanya, tentu saja Edward langsung menyambut dengan hangat. Dia berikan kecupan hangat di dahinya, mengusap p
Alenta menepuk dadanya pelan beberapa kali, berharap gugup yang dia rasakan sedikit berkurang.Dia menggunakan topi, masker wajah berwarna hitam. Dia tidak ingin ada yang mengenalinya, dia tidak siap menghadapi orang yang ada di sana nanti. “Kau gugup untuk apa?” tanya Benjamin penasaran. “Aku akan ada di sini, jadi jangan terlalu gugup seperti ini, oke?” ucapnya mencoba menenangkan. Benjamin merangkul Alenta, menepuk pelan pundak Alenta berharap itu dapat membuat Alenta tak terlalu tegang. Melihat perlakuan Benjamin yang begitu perhatian, Alenta tersenyum lega. “Benar, aku datang bersama dengan Benjamin, kenapa aku gugup untuk sesuatu yang tidak asing untukku?” gumam Alenta di dalam hatinya. Pada akhirnya, Alenta mulai bisa kembali melangkahkan kakinya dengan berani bersama dengan Benjamin. Mereka berdua segera pergi ke resepsionis untuk menanyakan ruangan di mana Elea sedang mendapatkan perawatan. “Lantai 4, no 101.”
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y