Ron menatap layar ponselnya dengan tajam, hatinya berdegup kencang melihat rekaman CCTV yang dikirim oleh penjaga gerbang rumahnya.
James justru kembali ke rumah karena katanya ada barang yang tertinggal. Merasa sangat aneh, itulah alasan Ron melihat rekaman CCTV di rumahnya. Namun, yang paling mengejutkan adalah, James berbicara dengan sangat akrab bersama Aruna. Mata Ron menatap tajam, tangannya mengepal. “Berani sekali mereka? Sialan, Aruna bahkan bisa dengan leluasa melakukan kegiatan semacam ini, ya.” ucap Ron saat melihat Aruna digenggam tangannya oleh James. Adegan berikutnya dalam rekaman itu semakin membuat Ron merasa tercekat dalam kekesalan. James dengan lembut memeluk Aruna, seolah-olah dia adalah suami yang khawatir akan keadaan istrinya. Aruna tampaknya membiarkan pelukan itu, bahkan tampak menikmatinya, meski sebenarnya dia tidak bisa memastikan kesungguhanny“Kenapa Kau hanya diam saja di sana?” tanya Ron, sorot matanya yang terlihat begitu aneh itu membuat Aruna gemetar gugup. Entah apa sebenarnya tujuan pria itu meminta dirinya menggunakan pakaian yang terbuka, lingerie. Saat menggunakan setelan lingerie itu, air mata Aruna benar-benar tidak berhenti menetes. Tidak tahu penghinaan apalagi yang akan diberikan Ron kepadanya, Aruna bahkan tidak berani memikirkannya. “Kemari lah...” titah Ron, nada bicaranya yang rendah itu justru membuat Aruna semakin tidak bisa berpikir tenang. Langkah kakinya mulai tergerak, meski berat dan juga ragu, nyatanya Aruna terus menguatkan dirinya sendiri. Aruna pikir, sama seperti yang Ron ucapkan sebelumnya bahwa James akan datang. Memastikan tidak ada keberadaan pria itu, Aruna bisa sed
“Kenapa kau begitu perhatian padanya, James?” Ron bertanya, namun jelas penghinaan begitu terasa. Mendengar pertanyaan itu, James pun tidak bisa lagi menahan dirinya. Sudah akan dia melajukan kakinya, ingin menarik Aruna menjauh dari pria yang seperti iblis itu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar apa yang keluar dari mulut Ron. “Kenapa berhenti, hemm? Lanjutkan lagi, aku tidak suka kalau berhenti di tengah jalan seperti ini. Kau juga tidak mau seperti itu, kan? Cepat, setelah ini aku akan memuaskan sehingga kau tidak perlu merasa kekurangan kepuasan sampai-sampai menerima pelukan dari pria lain.” Ron menatap James dengan tatapan sinis. James mengepalkan tangannya hingga gemetar, rahang yang mengeras hingga giginya gemertak. “Kau memintanya untuk melakukan semua ini karena tahu aku memeluknya pagi tadi? Sungguh, hanya
Violet mengerutkan dahinya, entah mengapa ingin sekali menghubungi Aruna menjadi semakin sulit setiap harinya. Pesan yang begitu banyak dikirimkan oleh violet kemarin hanya mendapatkan balasan dari Aruna, “Tidak apa-apa, Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku tidak ada waktu untuk bermain ponsel, sibuk bekerja.” Violet sungguh merasa sangat penasaran, pekerjaan apa yang dijalani oleh Kakak perempuannya itu sampai-sampai tidak memiliki waktu sama sekali untuk membalas pesan, atau pun menerima panggilan telepon darinya. “Entah kenapa, aku merasa ada yang tidak beres dengan Kak Aruna. Tapi, Kenapa sulit sekali mendapatkan alamat tempat tinggal Kak Aruna sekarang?” gumam Violet. Selama ini, Violet sudah benar-benar sangat banyak berbohong kepada kedua orang tuanya karena tidak ingin mereka khawatir. Persis seperti yang diinginkan oleh Aruna, namun Viol
Aruna mengompres luka-luka lecet yang ada di tubuhnya dengan air hangat yang dia campurkan sedikit alkohol agar tidak membuat kulit kulitnya menjadi bernanah. Kegiatan seperti itu Aruna lakukan di setiap pagi dan juga malam menjelang tidur. Bukan tidak ingin kulitnya memiliki goresan yang zaman sekarang disebut kecacatan kulit, Aruna hanya tidak ingin ada bekas luka sedikitpun yang mana akan membuat orang tuanya khawatir jika suatu hari melihat bekas itu. “Semoga saja tidak meninggalkan bekas. Kalaupun nanti akan sedikit gelap, setidaknya seiring waktu berjalan bisa memudar,” harap Aruna sepenuh hatinya. Awalnya, Aruna pikir hanya ada di bagian atas saja, bahkan kedua kakinya juga memiliki luka lecet yang sama. “Ya Tuhan...” Aruna tak habis pikir, sebenarnya apakah sangat menyenangkan untuk menyakiti dirinya? Hanya bisa menggelengkan kepala, menyabarkan hatinya. Memang sangat tidak masuk akal jika mengingat kembal
Setelah hari itu, Aruna jadi sering membalas pesan yang dikirimkan James. Alasan utamanya adalah karena Aruna tidak ingin James sampai tidak bisa tidur, dan terus mengkhawatirkan dirinya. Sudah dua hari sejak itu, James juga masih terus berupaya yang terbaik. “Aku akan datang ke kantornya Ron, ada beberapa pekerjaan yang akan kami bahas bersama. Nanti, aku akan coba bicara baik-baik dengan Ron, jika dia tidak bisa berlaku baik, maka aku juga terpaksa melakukan cara yang tidak baik.” Pesan itu dikirimkan James pagi tadi, sekitar pukul 7. Aruna tidak memberikan balasan, bingung harus merespon bagaimana. Padahal, Aruna sendiri tidak lagi perduli dengan nasibnya, tapi James seperti memberikan harapan-harapan itu padanya. Kembali Mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya, Aruna mengubur harapan itu meski James nampak bersungguh-sungguh. Sulit melawan Ron, Aruna jelas sudah memperingatkan hal itu kepad
Melihat dua pria paruh baya itu terlihat tidak merasa takut sama sekali, mereka pasti menganggap bahwa Aruna hanya mengancam saja. Air mata Aruna terjatuh, penghinaan semacam ini tentu akan menjadi beban kehidupan yang membuatnya semakin merasa putus asa. Dari pada harus merasakan semua itu, Aruna hanya bisa merelakan tubuh kecil yang tidak ada artinya itu menghilang dari muka bumi ini. Ron menatap Aruna dengan tatapan tajam, tidak menyangka kalau Aruna akan mengambil tindakan senekat itu. Sudah bersiap untuk membuka mulut, Ron ingin meminta Aruna untuk menjauhkan pecahan botol itu, dan meminta dua pria baru upaya itu menjauh dari Aruna. Namun, Ron terlalu terlambat untuk mengatakan semua itu. Sret..... Dua pria paruh baya itu sontak menghentikan langkah kakinya, tidak menyangka kalau Aruna akan benar-benar bertindak senekat itu. “Aruna!” teriak Ron.
Plak! Ron terdiam dalam kepasrahan saat Alenta tiba di rumah sakit, tanpa kata langsung saja melayangkan tamparan ke wajahnya. Tahu, Ibunya itu pasti sangat kecewa. “Berani sekali kau mengabaikan peringatan dari Ibu, Ron?” air mata air yang terjatuh oleh kekecewaan atas sikap putranya yang sangat tidak manusiawi. “Ternyata, aku adalah wanita yang gagal dalam mendidik kedua anakku, Aku gagal menjalankan peranku sebagai seorang Ibu!” Alenta menjadi sangat lemas. Memiliki sifat arogan dan juga benci, Alenta sudah mencoba untuk memakluminya karena mau bagaimanapun Ron adalah seorang manusia. Namun, yang tidak bisa diterima oleh Alenta adalah kegagalan sebagai seorang Ibu yang mendidik anaknya. Dia sudah berusaha dengan sangat keras mendidik putra-putranya menjadi pria yang lembut dan juga hangat, namun kenyataan mengatakan lain. Sangat berbanding terbalik, padahal Ron sejak kec
Selama beberapa hari Aruna berada di rumah sakit, Ron tak bisa sekalipun melihatnya. Semua itu karena Alenta yang membatasi geraknya. Ruangan Aruna dijaga oleh dua orang bodyguard utusan Alenta. Selama itu pula, Ron pun menyadari jika selalu diikuti oleh orang yang pasti juga suruhan Alenta. Tidak bisa berbuat seperti yang dia inginkan, Ron masih akan diam. Namun, siang hari saat Ron tengah mengadakan meeting bulanan yang jelas itu sangat penting, salah satu pihak rumah sakit yang minta untuk selalu memberikan kabar tentang perkembangan kondisi Aruna memberikan kabar yang sangat mengejutkan. “Selamat siang, Tuan Ron. Maaf, mungkin pesan ini saya kirimkan saat anda sedang melakukan aktivitas yang penting. Namun, saya merasa kabar yang akan saya berikan juga penting. Nona Aruna sudah meninggalkan rumah sakit, dan saya sendiri tidak dapat mengetahuinya. Keadaan Nona Aruna saat dibawa masih be
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y