“Aruna itu selalu saja terlihat tertekan. Dia tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya dia pikirkan dan juga rasakan, kadang kala membuatku merasa bingung, dan mencoba menebak-nebak.” ujar Reiner yang masih menceritakan tentang Aruna.
Violet menghela nafasnya, tahu benar jika apa yang dibicarakan oleh Reiner terhadap Aruna memang benar apa adanya. “Kakak Ku, dia adalah gadis yang pendiam sejak dia masih kecil. Tidak pernah dia bertindak sembarangan, bahkan juga selalu memikirkan bagaimana perasaan orang lain. Dia terlalu baik, tapi dia juga terlalu mengkhawatirkan masa depan yang kadang kala membuat langkahnya ragu-ragu, dan berakhir membuat kesalahan.” Violet pilu mengingat bagaimana kakaknya seringkali mengambil keputusan aneh karena perasaan ketakutan yang tidak jelas. Reiner menganggukkan kepalanya. “Sudahlah... Untuk apa terus membicarakan itu? Intinya, semua sudah berjalan, terjadi seperti seka“Lepaskan Aruna, cabutlah laporannya, dan kau jangan lagi mengungkit soal ini.” ucap Ron, saat ini dia tengah berada di rumah sakit tempat di mana Bram sedang mendapatkan perawatan. Mendengar itu, Bram pun tersenyum kesal. Padahal, tidak ada wanita manapun yang pernah melakukan hal semacam ini kepadanya. Bram merasa dirinya sangat berharga, seharusnya tidak ada yang boleh membuatnya terluka seperti sekarang ini. “Apa kau sedang bercanda, Ron? Kenapa aku harus mencabut laporan terhadap pelayan rumahmu itu? Dia cuma seorang pelayan rumah saja, apa pentingnya untukmu?” Bram tersenyum seolah tengah mengejek Ron. Tidak ingin banyak berdebat sebenarnya, namun Bram nampak keras kepala soal ini. Ron mencoba untuk menarik nafasnya, menghembuskan secara perlahan berharap itu akan memberikan ketenangan untuknya sehingga bisa berbicara dengan tenang. “Apa aku terlihat sedang bercanda denganmu, Bram?” Ron menunjukkan ekspresi wajahnya yang serius. Melihat itu, Bram masih tidak ingin
Ron berusaha keras untuk menahan amarahnya yang memuncak sepanjang malam. Ketika melihat Aruna yang begitu akrab dengan patuh, rasa muak dan kesalnya semakin menjadi-jadi. Sebagai bentuk pelampiasan kekesalan, Ron dengan sengaja memperlakukan Aruna layaknya manusia tanpa perasaan. Pertama-tama, Ron meminta Aruna untuk mencuci kakinya. “Kakiku masih gatal, tadi kau tidak menggosoknya dengan benar! Cepat, ambil air hangat, bersihkan kakiku!” Padahal sebelumnya, dia sudah meminta Aruna untuk memandikannya seperti bayi. Aruna merasa terhina, namun tak bisa menolak permintaan Ron. “Baik. Tunggu sebentar, aku akan ambil peralatannya.” jawab Aruna, bangkit untuk mendapatkan peralatan itu. Kembali ke kamar, Aruna sudah membawa baskom berukuran besar yang berisikan air hangat, juga handuk kecil sebagai penyeka nanti.
“Kau sangat tegas kepada Aruna, bukankah itu akan membuat orang yang bekerja di rumahmu menjadi trauma?” ujar James keheranan dengan sikap Ron yang berlebihan. Mendengar ucapan James, Ron tersenyum namun jelas ada kekesalan yang dia rasakan. “Aku terbiasa memiliki pegawai yang tertib dan tidak mengobrol saat sedang berada di waktu bekerja.” sahut Ron. James menghela nafasnya, merasa Ron pasti memperlakukan Aruna dengan sangat tidak baik. Cara Aruna memanggil nama Ron, sudah jelas bahwasanya Aruna bekerja sebagai pelayan rumah di sana. Namun, ekspresi wajah Ron yang menjelaskan kebencian terhadap Aruna seolah sangat jelas terlihat. James tidak ingin membicarakan tentang Aruna dulu, dia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Aruna yang sejatinya tidak kurang prestasinya selama sekolah justru bekerja sebagai pelayan rumah.
Ron menatap layar ponselnya dengan tajam, hatinya berdegup kencang melihat rekaman CCTV yang dikirim oleh penjaga gerbang rumahnya. James justru kembali ke rumah karena katanya ada barang yang tertinggal. Merasa sangat aneh, itulah alasan Ron melihat rekaman CCTV di rumahnya. Namun, yang paling mengejutkan adalah, James berbicara dengan sangat akrab bersama Aruna. Mata Ron menatap tajam, tangannya mengepal. “Berani sekali mereka? Sialan, Aruna bahkan bisa dengan leluasa melakukan kegiatan semacam ini, ya.” ucap Ron saat melihat Aruna digenggam tangannya oleh James. Adegan berikutnya dalam rekaman itu semakin membuat Ron merasa tercekat dalam kekesalan. James dengan lembut memeluk Aruna, seolah-olah dia adalah suami yang khawatir akan keadaan istrinya. Aruna tampaknya membiarkan pelukan itu, bahkan tampak menikmatinya, meski sebenarnya dia tidak bisa memastikan kesungguhanny
“Kenapa Kau hanya diam saja di sana?” tanya Ron, sorot matanya yang terlihat begitu aneh itu membuat Aruna gemetar gugup. Entah apa sebenarnya tujuan pria itu meminta dirinya menggunakan pakaian yang terbuka, lingerie. Saat menggunakan setelan lingerie itu, air mata Aruna benar-benar tidak berhenti menetes. Tidak tahu penghinaan apalagi yang akan diberikan Ron kepadanya, Aruna bahkan tidak berani memikirkannya. “Kemari lah...” titah Ron, nada bicaranya yang rendah itu justru membuat Aruna semakin tidak bisa berpikir tenang. Langkah kakinya mulai tergerak, meski berat dan juga ragu, nyatanya Aruna terus menguatkan dirinya sendiri. Aruna pikir, sama seperti yang Ron ucapkan sebelumnya bahwa James akan datang. Memastikan tidak ada keberadaan pria itu, Aruna bisa sed
“Kenapa kau begitu perhatian padanya, James?” Ron bertanya, namun jelas penghinaan begitu terasa. Mendengar pertanyaan itu, James pun tidak bisa lagi menahan dirinya. Sudah akan dia melajukan kakinya, ingin menarik Aruna menjauh dari pria yang seperti iblis itu. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar apa yang keluar dari mulut Ron. “Kenapa berhenti, hemm? Lanjutkan lagi, aku tidak suka kalau berhenti di tengah jalan seperti ini. Kau juga tidak mau seperti itu, kan? Cepat, setelah ini aku akan memuaskan sehingga kau tidak perlu merasa kekurangan kepuasan sampai-sampai menerima pelukan dari pria lain.” Ron menatap James dengan tatapan sinis. James mengepalkan tangannya hingga gemetar, rahang yang mengeras hingga giginya gemertak. “Kau memintanya untuk melakukan semua ini karena tahu aku memeluknya pagi tadi? Sungguh, hanya
Violet mengerutkan dahinya, entah mengapa ingin sekali menghubungi Aruna menjadi semakin sulit setiap harinya. Pesan yang begitu banyak dikirimkan oleh violet kemarin hanya mendapatkan balasan dari Aruna, “Tidak apa-apa, Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku tidak ada waktu untuk bermain ponsel, sibuk bekerja.” Violet sungguh merasa sangat penasaran, pekerjaan apa yang dijalani oleh Kakak perempuannya itu sampai-sampai tidak memiliki waktu sama sekali untuk membalas pesan, atau pun menerima panggilan telepon darinya. “Entah kenapa, aku merasa ada yang tidak beres dengan Kak Aruna. Tapi, Kenapa sulit sekali mendapatkan alamat tempat tinggal Kak Aruna sekarang?” gumam Violet. Selama ini, Violet sudah benar-benar sangat banyak berbohong kepada kedua orang tuanya karena tidak ingin mereka khawatir. Persis seperti yang diinginkan oleh Aruna, namun Viol
Aruna mengompres luka-luka lecet yang ada di tubuhnya dengan air hangat yang dia campurkan sedikit alkohol agar tidak membuat kulit kulitnya menjadi bernanah. Kegiatan seperti itu Aruna lakukan di setiap pagi dan juga malam menjelang tidur. Bukan tidak ingin kulitnya memiliki goresan yang zaman sekarang disebut kecacatan kulit, Aruna hanya tidak ingin ada bekas luka sedikitpun yang mana akan membuat orang tuanya khawatir jika suatu hari melihat bekas itu. “Semoga saja tidak meninggalkan bekas. Kalaupun nanti akan sedikit gelap, setidaknya seiring waktu berjalan bisa memudar,” harap Aruna sepenuh hatinya. Awalnya, Aruna pikir hanya ada di bagian atas saja, bahkan kedua kakinya juga memiliki luka lecet yang sama. “Ya Tuhan...” Aruna tak habis pikir, sebenarnya apakah sangat menyenangkan untuk menyakiti dirinya? Hanya bisa menggelengkan kepala, menyabarkan hatinya. Memang sangat tidak masuk akal jika mengingat kembal
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y