Julia terbangun dari tidur, dahinya mengernyit merasakan sakit yang berdenyut. Perlahan dia membuka matanya, tersadar bahwa tempat itu asing untuknya.
Bergegas Julia bangkit dari posisinya, berdesis sembari memegangi kepalanya yang menjadi semakin sakit.“Aduh, Kenapa kepalaku sampai sesakit ini, sih?!” protes Julia. “Biasanya minum lebih banyak daripada semalam juga aku tidak akan sakit seperti ini, kan?”Mengulang, mengingat kembali apa yang dia ucapkan barusan Julia tersentak kaget.Siapa yang mengantarnya pulang semalam?Julia menelan ludahnya sendiri, perlahan dia menggerakkan kepalanya untuk melihat ke samping yang sepertinya juga ada seseorang.“Selamat pagi, Julia!” Sapa pria itu begitu Julia menoleh kepadanya. “Semalam kau mabuk sekali, jadi terpaksa aku membawamu ke apartemenku.”Julia memicingkan matanya, dia tidak bisa menatap dengan benar karena sakit kepalanya itu seperti membuat cara pandangnya tidak jAlenta dan juga Edward merasa sangat bingung karena begitu dia sampai di ruangan di mana Elea mendapatkan perawatan, tak ada satu orang pun di dalam sana. Elea terisak-isak, dengan segera Alenta berjalan mendekatinya, memeluk meski sebenarnya Elea juga terlihat menolak, dan waspada terhadap Alenta. “Kemana ibumu pergi, nak?” tanya Alenta menahan tangis sedihnya. Elea seolah bisa merasakan ketulusan yang diberikan oleh Alenta, perlahan-lahan pada akhirnya dia tak lagi terus merasa begitu waspada. Hanya menggelengkan kepalanya, sedang tangisan yang terisak itu tengah menguasai bibirnya. Melihat Elea tak ada satupun yang menjaga, Edward benar-benar menjadi kesal namun tetap harus menahan diri karena tidak mungkin menunjukkan kekesalannya langsung dihadapan Elea. Mengeraskan rahangnya, mengepalkan tangan, dan mencoba untuk sekuat tenaga menahan diri Hanya itu yang bisa dilakukan Edward saat ini. “A-Ayah....” panggil E
“Lihat sendiri kan bagaimana mengerikannya Julia dalam mendoktrin anaknya untuk membenci orang lain?” tanya Edward, matanya tertuju hanya kepada Herin saja saat ini. “Cacat, hanya Julia sajalah yang bisa menyebut hal sekejam itu tak perduli bahwa Alenta adalah adiknya. Aku yakin sekali, saat ini ibu mertua pasti benar-benar tidak menyangka, bukan?” ujar Edward, dia benar-benar marah sekali hanya saja tidak bisa mengekspresikan kemarahannya terhadap bocah 3 tahun yang ada di pelukannya itu. Alenta terdiam, dia benar-benar sangat terkejut hingga tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Sedih, tapi bukan karena makian Elea yang diberikan kepadanya. Namun, dia merasa begitu sedih karena Julia mengajarkan hal yang seharusnya tidak diajarkan. Herin tertunduk lesu, air matanya jatuh, dan dia merasa putus asa sendiri karena semakin hari dia semakin dibukakan matanya lebar-lebar untuk melihat keburukan Putri pertamanya yang begitu luar biasa. Sangat kejam, namun Herin juga sadar sikap Julia bi
“Apa yang kalian lakukan padaku, bajingan!” Julia berteriak frustasi. Begitu dia bangun dari tidurnya, dia benar-benar dikejutkan dengan tubuhnya yang polos tak mengenakan sehelai benang pun, dan hanya tertutupi selimut tebal yang ada di ranjang tidur. Lebih mengejutkannya lagi, ada 4 pria yang ada di sekitarnya, hanya mengenakan celana dalam saja. Tubuh Julia menjadi gemetar, dia mencengkram erat-erat selimut yang menutupi tubuhnya itu dengan perasaan frustasi yang begitu luar biasa. Mengingat kalau sebelum dia tak sadarkan diri adalah karena Helios yang menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhnya. “Helios!” Panggil Julia dengan nada bicara yang begitu tinggi karena dia benar-benar merasakan frustasi yang luar biasa. “Kenapa kau melakukan ini padaku?! Kalaupun benar kau ingin membalas dendam, ini benar-benar sudah sangat keterlaluan, Helios!” Julia mulai menangis sejadi-jadinya. “Nona, Aku benar-benar merasa sangat puas oleh tubuhmu. Ter
“Kenapa kau ada di sini, Sofia?” tanya Edward, sontak air mukanya nampak tak nyaman melihat keberadaan Sofia. Sementara itu, Alenta hanya diam menatap Sofia yang juga sekejap melihatnya dengan tatapan mata yang aneh. Seperti ingin bersiap untuk sesuatu, Alenta menjadi merasa waspada entah apa alasannya. Senyum manis terbit di bibir Sofia, matanya begitu terlihat sumringah setiap kali menatap wajah Edward. “Aku ingin pergi liburan, bagaimana denganmu, Edward?”Sejenak Edward terdiam, dahinya sedikit mengerut sembari berpikir ke negara mana Sofia akan pergi untuk liburan. Meski sebelumnya Sofia bekerja sebagai asisten sekretarisnya, Sofia tetaplah anak dari keluarga yang keuangannya cukup mapan sehingga tidak sulit baginya untuk bepergian ke luar negeri. “Kami ingin pergi ke tempat yang kami inginkan, permisi...” ucap Edward, dia menatap Alenta seolah mengatakan, “ayo!”Alenta menganggukkan kepalanya, gegas dia mulai melangkah
Prang!Alenta menjatuhkan sendok dan juga garpunya dengan kasar pada piringnya, membuat Edward, Ron, dan juga Sofia menatap ke arahnya dengan tatapan terkejut. Dengan jelas Alenta menunjukkan ekspresi wajahnya yang dingin dan juga kesal. Namun, semakin lama dia bisa menatap Sofia bibirnya tertarik membentuk senyuman. “Aku sungguh memahami jika kau ingin membuatku cemburu, mencoba untuk memercikan api. Tapi, mohon maaf sekali karena tidak ada gunanya memercikkan api di air terjun yang sedang mengalir deras.”Mendengar ucapan Alenta barusan, Sofia pun hanya bisa memaksakan senyum padahal hatinya tengah merasakan gemuruh kemarahan. “Kalau kau benar-benar ingin menggoda Edward, bagaimana kalau kau tunggu saja Kami selesai makan?” Peringat Alenta. Sofia membuang nafasnya, coba dia tersenyum padahal sebenarnya dia benar-benar merasa sangat kesal terhadap Alenta. Jelas dia jauh lebih baik daripada Alenta, tapi kenapa kesombongan yang dimiliki
Liburan yang terasa seperti bulan madu, menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Edward, Alenta, dan Ron. Tentu saja, utamanya adalah Alenta, dan Edward!Meski pergi liburan membawa Ron, mereka benar-benar memiliki banyak waktu untuk bermesraan. Apalagi, kalau membawa Ron ke pantai, dia menjadi sangat bersemangat bermain dengan pasir pantai sampai lupa kedua orang tuanya. “Berhentilah berjemur, Sayang!” Perintah Edward, namun menggunakan mimik yang memohon. “Apa kau tahu betapa kesalnya aku melihat mu memakai bikini, berbaring di sini, sedangkan sejak tadi ada begitu banyak pria yang lewat,” gerutu Edward. Meski berada di tempat yang lumrah begitu banyak wanita menggunakan bikini, ataupun pakaian renang mini karena mereka sedang di lantai, entah mengapa Edward merasa begitu rugi banyak harus membiarkan tubuh Alenta juga bisa dilihat oleh pria lain. Mendengar Edward bergumam seperti itu, Alenta hanya menghela nafasnya saja. Malas untuk menanggapi, l
Edward tersenyum menatap layar ponselnya, ada begitu banyak fotonya bersama dengan Alenta, dan juga Ron. Tak pernah ada dalam pikirannya bahwa masa seperti ini akan ada dalam hidupnya, sungguh ini terlalu membahagiakan!“Kau benar-benar terlihat sangat cantik saat tersenyum seperti ini, Sayang.” ucap Edward yang beberapa kali zoom foto Alenta, memperhatikan dengan detail wajah wanitanya itu. Sejenak Edward menoleh, dia kembali tersenyum kala mendapati Alenta tengah tertidur lelap, sementara Ron juga berada di pangkuan Alenta tertidur lelap pula. Tidak berani Edward mengambil Ron dari pangkuan ibunya, sudah bisa dipastikan kalau nanti Ron akan menangis dan mengamuk. “Kenapa mereka begitu sangat lucu?” gumam Edward pelan. Tidak ingin menyia-nyiakan momen tersebut, Edward menekan tombol kamera pada ponselnya, lalu memotret Alenta, dan juga Ron dalam posisi mereka saat itu. potret kedua, Edward mengarahkan kamera itu dan mengambil posisi agar wajahnya juga bisa bergabung dengan Alent
“Lama tidak berjumpa, Edward.” ucap Veronica yang membuat degup jantung Edward seperti ingin meledak saja. Senyum yang indah selalu saja tak berubah, seperti itu lah Veronica.Edward menggelengkan kepalanya, membuang nafasnya mengingat dia memiliki Elea, Ron, dan juga Alenta. Tidak perlu mencari masalah lagi, dia akan berusaha hanya fokus dengan keluarganya. Tapi, Veronica itu....“Ah, iya. Lama tidak berjumpa, senang melihatmu baik-baik saja. Aku harus menjemput putriku, maaf harus pergi sekarang.” ucap Edward dengan segera melangkahkan kakinya. Tak lagi ingin mengatakan apapun, Veronica hanya menatap punggung Edward yang semakin menjauh darinya. Dadanya terasa penuh, sesak, dan nyeri itulah kenapa dia hanya bisa memegangi dadanya sedang sorot mata pilu itu terus terarahkan kepada Edward. Sampai Edward tak terlihat lagi oleh matanya, Veronica menyenderkan tubuhnya pada dinding rumah sakit. Air matanya jatuh, ada ke
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y